Diskusi masyarakat Indonesia mengenai para tokoh yang memiliki jasa yang nyata menjadi perdebatan dalam ranah publik. Adapun anggapan bahwa mereka adalah “pahlawan” yang kisahnya berjasa, bahkan patut ditiru. Meskipun begitu, realita yang menyoroti sejarah dibalik itu semua memiliki kecenderungan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, juga konsekuensi dari manuver politis yang menyertainya.
Padahal, sejarah Indonesia itu sangat dinamis dan beragam, memperlihatkan kompleksitas dari kehidupan dalam berbagai zaman. Melihat kembali pada periode sebelum kemerdekaan yakni masa kolonial, sebuah penjajahan yang serba “hitam putih” justru menyimpan kisah tersendiri di balik zeitgeist-nya. Penelusuran lebih lanjut menguak sebuah cerita yang jarang diperlihatkan, kontroversial tapi kita dapat mengambil pelajaran penting darinya.
Ketika Belanda masih mendominasi Nusantara dari VOC hingga Hindia Belanda, kebudayaan Nusantara yang khas akan kekayaannya mengalami kontak budaya dengan Eropa. Para pendatang tersebut kemudian singgah sebentar atau menetap lama dan mau tidak mau menghadapi budaya etnis lokal. Hasil dari persilangan tersebut adalah suatu kebudayaan baru yang bernama Indis atau Indo-Eropa.
Percampuran ini menyatukan dua kultur yang berbeda melalui berbagai cara, salah satunya adalah pernikahan. Transformasi tersebut terlihat dalam berbagai wujud seperti: hubungan dengan masyarakat Eropa dan etnis lokal, cara berpakaian, bangunan, makanan, dan lain sebagainya.
Perkembangan selanjutnya hingga awal abad ke-20, ketika transportasi, teknologi, dan kesehatan semakin maju, orang-orang Eropa totok (tulen) dengan mudah datang ke Hindia Belanda, menunjukkan superioritas reputasi mereka. Ketika segregasi semakin diterapkan dan westernisasi kebudayaan mulai menyebar, masyarakat Indo-Eropa semakin terpinggirkan. Mereka lebih memilih mengaku sebagai Barat dan mulai meninggalkan segala bentuk budaya etnis lokal karena dianggap inferior, hasil kompleksitas kehidupan kolonial pada periode sebelumnya semakin redup karenanya.
Namun, transformasi ini tidak sia-sia begitu saja. Terdapat suara yang menolak ditelan oleh zaman yang kemudian dari kontribusinya membuahkan karya penting yang diakui dan menjadi rujukan di bidang kesehatan pada masanya dan ia adalah seorang perempuan berdarah Indo-Eropa.
Semua Berawal dari Rumah TanggaPerempuan tersebut bernama Johanna Maria Carolina “Jans” Kloppenburg-Versteegh. Seorang ibu rumah tangga yang berasal dari keluarga yang kaya, begitu juga dengan pernikahannya. Darah etnis lokalnya berasal dari sisi ibunya. Sebelum segregasi diterapkan dengan ketat, perempuan yang merupakan etnis lokal atau Indo-Eropa memang seringkali menikah dengan para laki-laki Eropa yang baru datang, karena rasio populasi masyarakat Eropa di Hindia Belanda memang lebih sedikit perempuannya.
Meskipun terkesan seperti “pernik”, para perempuan tersebut memiliki bargaining power terutama dari Indo-Eropa karena wawasannya terhadap kebudayaan Eropa dan etnis lokal. Sehingga praktik pernikahan di antara mereka untuk mempermudah meraih informasi Nusantara oleh bangsa Eropa merupakan hal yang lumrah pada masanya.
Peranan sebagai istri dan ibu rumah tangga tidak hanya mencakup keluarga, tetapi juga keberlangsungan hidup para pembantunya. Sehingga terdapat ekspektasi dan tugas yang besar untuk mereka dalam kehidupan kolonial.
Mengapa Kloppenburg-Versteegh bisa dikatakan berjasa besar pada masanya? Semua ini berawal dari putrinya yang meninggal, ketika hasil diagnosa dokter mempunyai 2 hasil yang berbeda dan kesehatannya tidak kunjung membaik. Kematiannya menjadi pendorong bagi Kloppenburg-Versteegh untuk meneliti pengobatan herbal sebagai alternatif dan kemudian menerbitkannya dengan judul Wenken en raadgevingen betreffende het geburik van Indische planten, vruchten enz., tindakannya juga termotivasi oleh iman Katolik sekaligus minatnya terhadap pengobatan herbal.
Ia berharap apa yang dilakukannya dapat dibaca oleh orang lain dan memberikan manfaat yang besar untuk membantu kesehatan mereka. Buku ini berisi mengenai berbagai macam penyakit, obat-obatan dari tanaman dan rempah, jamu, serta berbagai informasi kesehatan yang berasal dari etnis lokal.
Menurutnya, pengobatan Nusantara dapat menjadi alternatif karena manfaatnya, meskipun banyak yang dibalut dalam mistisme lokal. Peranannya ingin menjadi jembatan yang menghubungkan “kesenjangan antara sains dan pengalaman (cerita rakyat)” dalam sebuah kacamata ilmu kesehatan Barat yang lebih sistematis dan ilmiah.
Kloppenburg-Versteegh tidak hanya mengambil wawasan pengobatan lokal yang diturunkan dari sisi ibunya sebagai generasi pendahulunya, tetapi juga dari pasar, informan yang tepercaya, tabib atau dukun, dokter, bahkan para peneliti dan praktisi kesehatan bereputasi di Hindia Belanda seperti W. G. Boorsma dan H. F. Tillema.
Apa yang dilakukannya bisa tergolong sukses, bukunya menjadi rujukan pengobatan rumah tangga dengan harga yang tidak terlalu mahal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Jawa. Beberapa dokter dan praktisi kesehatan juga mengutip karyanya seperti yang dilakukan oleh J. Kreemer Jr. pada tahun 1915 dalam jurnal artikel Volksheelkunde In den Indischen-Archipel.
Meskipun begitu, masih terdapat kritikan baik terhadap Kloppenburg-Versteegh dan bukunya dengan beragam alasan: latar belakang penulis yang bukan berasal dari dunia kesehatan, informasi yang tidak terverifikasi melalui pengujian, atau gambar yang membingungkan.
Pelajaran Penting dari Sebuah IroniDemikian kisah dari misinya untuk memahami wawasan pengobatan herbal yang beredar luas dan digunakan oleh masyarakat lokal. Meskipun penelitiannya terdengar seperti tindakan yang mulia dengan memetakan pengetahuan tersebut menjadi sebuah data yang sistematis untuk manfaat yang lebih besar, ia tetaplah “produk” dari zaman kolonial.
Kloppenburg-Versteegh tidak sepenuhnya mengadaptasi dan menyejajarkan dirinya dengan masyarakat lokal, prasangka buruk ala kolonial terhadap mereka dengan anggapan bahwa kontak langsung yang terjadi secara konsisten dapat mengancam kesehatan keluarga dan kebudayaan karakteristik Belandanya.
Sehingga cukup ironi ketika membicarakan kisah ini, dia dikenal sebagai orang Indo-Eropa di mana dua kebudayaan yang berbeda bergabung menjadi satu, kemudian mengangkat wawasan herbal Nusantara untuk digunakan sebagai alternatif dalam membantu penyembuhan dengan kacamata ilmiah Barat.
Namun, pengangkatan tersebut juga disertai dengan segregasi antara dirinya dengan masyarakat yang dituju, benar-benar mencabut identitas kebudayaan Nusantara yang bahkan mengalir di dalam darahnya.
Kisah Kloppenburg-Versteegh merupakan cerita khas zaman kolonial, apabila kita mengatakannya sebagai “pahlawan” yang mengangkat obat herbal dalam perspektif bangsa dan negara Indonesia, tentunya akan kontroversial. Hal itu sebaiknya dibahas di forum lain atau kembali lagi ke perspektif masing-masing.
Akan tetapi, kita dapat memetik pelajaran penting darinya. Identitas Nusantara atau Indonesia sekarang, memiliki wawasan tradisional dengan manfaat yang beragam. Hanya karena dibalut dengan mistisme, bukan berarti budaya tersebut harus ditinggalkan.
Kloppenburg-Versteegh memberitahu kita untuk melihatnya dengan kacamata yang ilmiah dan sistematis. Jika ia bisa melakukannya, begitu juga dengan kita yang mengaku memiliki identitas Indonesia.