Mengapa Kita Sibuk pada Tumbler Ketika Sumatera Tenggelam?

detik.com • 7 jam yang lalu
Cover Berita

Sebuah video yang beredar dari Sibolga, Sumatera Utara, memperlihatkan air berwarna cokelat pekat mengalir deras dan merendam rumah hingga hanya menyisakan atap. Dua orang mengenakan kaos dan celana pendek duduk di atap salah satu rumah. Di seberang mereka, beberapa orang tampak berdiri dan duduk di atap rumah lain, menunggu pertolongan.

Video lain memperlihatkan air yang meluap dari sungai, menerjang ke jalan, membuat warga berlarian menghindari arus. Rekaman-rekaman lain menunjukkan kayu-kayu besar dibawa banjir, sementara beberapa orang dengan tubuh berlumuran lumpur berusaha menembus jalan yang tertutup material.

Tak lama berselang, gambar-gambar lain datang dari Aceh. Air cokelat pekat, dengan ketinggian hampir mencapai atap rumah, mengalir deras membawa perabotan rumah warga. Jalan-jalan di Langsa terendam air, mobil-mobil tenggelam, dan seorang perempuan berjilbab dengan payung di tangan berjalan hati-hati di genangan setinggi dada.

Visual serupa muncul dari Sumatera Barat. Arus air yang deras menghanyutkan sebuah mobil. Ketika air surut, kendaraan terbenam lumpur, dan jalanan dipenuhi batang pohon serta material longsor.

Tiga tragedi besar ini terjadi hampir bersamaan pada November ini. Namun ketika Sumatera berjuang melawan banjir dan longsor, percakapan publik di dunia digital justru terpusat pada isu jauh lebih ringan, yakni hilangnya sebuah tumbler di KRL.

Fenomena ini sering dibaca sebagai tanda krisis empati, tetapi mungkin yang terjadi justru sebaliknya, yakni masyarakat sedang mengalami kelelahan di dunia nyata. Saat ini, publik menghadapi tekanan ekonomi yang nyata, dengan daya beli menurun dan 59,40 persen pekerja Indonesia masih berada di sektor informal, yakni sebuah kondisi yang rapuh secara finansial.

Di sisi lain, beban mental kerja semakin berat. Riset 2023 menunjukkan bahwa pekerja di Jabodetabek menghabiskan waktu hingga dua jam untuk mencapai kantor. Waktu tempuh itu belum termasuk kepadatan kereta pada jam berangkat dan pulang. Video-video yang menunjukkan sesaknya rangkaian KRL pada jalur Jakarta Kota-Bogor, Bekasi-Kampung Bandan, hingga Tanah Abang-Rangkasbitung memperlihatkan betapa melelahkannya rutinitas sehari-hari.

Dalam kondisi demikian, publik cenderung mencari pelarian pada isu yang lebih ringan dan mudah dicerna seperti drama tumbler. Jadi, masalahnya bukan ketiadaan empati, melainkan keterbatasan energi emosional kolektif.

Masyarakat sebagai kelompok memiliki kapasitas terbatas untuk merespons peristiwa berat yang berulang, seperti bencana alam, konflik, atau krisis ekonomi. Kita membutuhkan energi emosional yang besar menghadapi berita banjir besar, sementara drama tumbler menyediakan "hiburan konflik" yang sederhana.

Selain kelelahan, terdapat faktor lain yang membuat isu trivial lebih menarik perhatian. Pertama, algoritma media sosial mendorong konten yang sarat emosi tetapi sederhana untuk dipahami. Kasus tumbler jauh lebih sesuai dengan logika algoritma dibanding berita kerusakan infrastruktur atau kebutuhan pengungsi.

Kedua, kelelahan bencana (disaster fatigue). Bencana hidrometeorologi terjadi hampir setiap tahun. Ketika bencana menjadi "normal", perhatian publik bergeser ke isu yang tampak baru dan dramatis meski tidak lebih penting.

Ketiga, komunikasi publik pemerintah yang buruk. Pada hari-hari ketika banjir melanda Sumatera, hampir tidak ada "komando narasi" dari pemerintah yang memimpin percakapan publik.

Dalam beberapa hari pertama, video-video banjir justru lebih banyak beredar dari akun warga, bukan kanal resmi pemerintah. Tidak ada pesan naratif yang menggabungkan data, visual, dan instruksi tindakan.

Tidak ada pernyataan nasional yang menunjukkan skala krisis. Tidak ada juru bicara yang muncul secara reguler dengan pembaruan terbaru. Tidak ada kampanye komunikasi darurat yang mengarahkan empati publik. Akibatnya, ruang informasi digital dipenuhi isu sampingan. Dalam konteks bencana, kemampuan mengarahkan perhatian publik sama pentingnya dengan kecepatan mengirim bantuan.

Pemerintah harus memahami bahwa publik tidak punya kapasitas emosional untuk memilah isi berita sendiri. Publik membutuhkan informasi yang ringkas, jelas, rutin, dan memandu mereka memahami urgensi bencana.

Di sinilah letak fungsi vital komunikasi pemerintah, yakni menyederhanakan informasi, mengarahkan perhatian, dan memrioritaskan pesan yang benar-benar penting. Ketika fungsi ini tidak dijalankan, publik mengikuti arus algoritma. Akibatnya, isu tumbler menjadi pusat percakapan, sementara bencana Sumatera tenggelam dalam kebisingan media sosial. Tragedi besar terasa jauh, sedangkan drama kecil terasa dekat.

Ketiadaan komunikasi terpimpin membuat bencana gagal tampil sebagai prioritas bersama. Negara absen sebagai penjaga ingatan kolektif dan pengarah empati publik. Banjir di Sibolga, Aceh, dan Sumatera Barat tidak hanya menenggelamkan rumah dan jembatan, tetapi juga menenggelamkan percakapan nasional tentang apa yang penting.

Jika kita ingin publik memperhatikan bencana besar, pemerintah harus terlebih dahulu menunjukkan perhatian yang sama melalui komunikasi yang jelas, rutin, dan memimpin. Tanpa itu, kisah tumbler akan terus mengalahkan kisah Sumatera.

Ratna Puspita. Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya (UPJ). Ia mengampu mata kuliah yang berkaitan dengan jurnalisme, dan komunikasi massa.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.