FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Rektor nonaktif UNM, Prof. Karta Jayadi, menyebut bahwa saat ini pihak yang mendukungnya selalu diam dalam menghadapi proses hukum.
Hal ini diungkapkan Karta setelah dirinya terus dibanjiri dukungan moral dari loyalis hingga mahasiswa.
Setelah bentangan spanduk di pagar UNM Phinisi, baru-baru ini Forum Mahasiswa UNM terbang ke kantor Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdikdiksaintek) Jakarta.
Dalam aksinya di Jakarta, mereka membawa sejumlah tuntutan. Salah satunya, meminta agar Karta kembali menjadi Rektor UNM.
Hanya saja, dukungan demi dukungan yang mengalir ke Karta dianggap sebagai settingan.
Apalagi, yang mengaku korban dugaan pelecehan verbal oleh Karta menduga aksi unjuk rasa itu sengaja dirancang untuk menggiring opini publik.
“Selama ini kami diam agar proses hukum berjalan lancar tanpa tekanan,” ujar Karta kepada fajar.co.id, Jumat (28/11/2025).
Dikatakan Karta, semakin lama opini yang berkembang di Medsos terkesan tidak terkontrol.
“Makin tidak karuan dalam menyampaikan informasi dan banyak nitizen mudah percaya. Mungkin itu sebabnya yang selama ini diam mencoba bersuara,” sebutnya.
Mengenai dugaan aksi yang berlangsung di Jakarta dan Makassar ditunggangi, Karta membebaskan publik memberikan penilaiannya sendiri.
“Tergantung penilaian orang, apa drama, ditunggangi, bayaran. Tapi menurut saya itu panggilan nurani,” ucap Karta.
“Karena selama ini demo-demo hanya belasan orang tutup muka pake topeng entah dari mana,” sambung dia.
Karta bilang, aksi yang terjadi di Jakarta maupun di Jalan AP Pettarani merupakan jawaban dari aksi sebelumnya.
“Bahwa unjuk rasa mestinya jelas wajah dan identitas. Isu yang dibawakan juga jelas, tidak menyalahkan orang lain, tidak meghina orang lain,” tegasnya.
“Itu baru akademik, bukan penyebaran kebencian, bukan provokatif,” kuncinya.
Sebelumnya, Dosen berinisial Q (51) menyebut ada perbedaan besar dari segi penampilan dan biaya antara kedua jenis aksi itu.
Dikatakan Q, aksi yang mendukung korban terlihat sederhana dan dibuat sendiri oleh peserta.
“Kalau demo yang korban, mereka kasihan pakai stiker-stiker tambalan, mereka tulis sendiri. Dan juga spanduknya mereka tulis sendiri,” ujar Q kepada fajar.co.id, Jumat (28/11/2025).
Sementara itu, kata Q, aksi yang mendukung rektor nonaktif lebih terorganisir dan menggunakan bahan cetak profesional, sebuah indikasi adanya pembiayaan di baliknya.
“Tapi kalau demo yang pro rektor noaktif luar biasa, mereka cetak, wah luar biasa itu biayanya. Silahkan dianalisa sendiri, pasti butuh biaya untuk mencetak hal itu,” sebutnya.
Lebih jauh, Q mengajak publik untuk membaca regulasi yang relevan sebelum menilai peristiwa ini secara sepihak.
Ia menegaskan bahwa undang-undang dan peraturan menganjurkan penilaian yang matang terhadap tindakan yang diduga masuk kategori kekerasan seksual.
“Itu beda kalau yang mahasiswa, yang logika, yang pro dengan korban. Mereka tidak biaya karena mereka tulis sendiri,” ucapnya.
Q kemudian menyinggung dua payung hukum yang menurutnya penting dibaca.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022 dan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024.
Ia menilai kedua aturan itu memuat ketentuan yang luas mengenai bentuk kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual verbal dan elektronik.
“Untuk para pembela rektor nonaktif, silahkan kalian baca Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 yang mengatur tentang kekerasan seksual verbal maupun kekerasan seksual elektronik,” Q menuturkan.
“Kalau Anda baca itu, maka Anda tahu, oh bukan. Bukan cuma video saja, banyak hal yang ternyata yang membuat orang bisa kena Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tambahnya. (Muhsin/fajar)