Pada tanggal 4 Desember 2021 menjadi bulan yang tidak akan dilupakan masyarakat Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, salah satu wilayah yang paling merasakan dampak erupsi Semeru. Sekitar sore hari, langit yang biasanya cerah berubah mendadak menjadi kelabu pekat. Suara gemuruh dari puncak Semeru terdengar semakin keras, seperti tanda yang tidak bisa lagi diabaikan. Beberapa warga bahkan mengira suara itu hanya aktivitas gunung seperti biasanya, sebelum akhirnya awan panas meluncur cepat dan menutup hampir seluruh pandangan.
Dalam beberapa menit, desa yang semula tenang berubah menjadi kepanikan. Abu panas turun seperti hujan, pepohonan mengering seketika, dan udara sulit dihirup. Banyak warga tidak membawa apa pun, tidak tas, tidak dokumen, tidak pakaian. Mereka hanya berlari, memeluk anak-anak, dan berpegangan tangan agar tidak terpisah. Di tengah kabut abu yang menutup langit, mereka hanya bergantung pada insting untuk menjauh sejauh mungkin dari bahaya.
Ketika awan mulai mereda, suasana berubah menjadi hening yang aneh. Tanah basah oleh abu, udara masih berbau belerang, dan matahari tampak samar di balik debu yang melayang. Warga yang selamat mulai kembali perlahan ke desa mereka untuk melihat apa yang tersisa. Yang mereka temukan bukan lagi Supiturang yang mereka kenal.
Rumah-rumah roboh, perabot penuh debu, dan pepohonan yang sebelumnya rimbun kini hanya menyisakan batang-batang kering yang seakan ikut mati bersama datangnya bencana. Banyak warga terdiam lama di depan rumah mereka, mencoba memahami bagaimana sesuatu yang dibangun bertahun-tahun bisa hilang dalam hitungan menit. Namun keheningan itu hanya sebentar. Tidak lama kemudian, mereka mulai berteriak memanggil nama anggota keluarga, tetangga, atau siapa pun yang mungkin masih hidup.
Hari-hari pertama setelah erupsi menunjukkan bagaimana masyarakat menjadi penolong bagi dirinya sendiri. Warga Supiturang, tanpa menunggu datangnya relawan, langsung membentuk kelompok kecil untuk mengevakuasi korban, mencari orang hilang, dan memberikan pertolongan seadanya. Para lelaki mengangkat puing dan membuka akses jalan, sementara perempuan memasak makanan darurat, mencari pakaian, dan merawat anak-anak yang ketakutan. Meskipun sama-sama dilanda trauma, mereka tetap memilih bergerak.
Pengungsian menjadi titik awal kebangkitan mereka meski penuh keterbatasan. Di tenda-tenda darurat, warga harus berbagi tempat tidur, selimut, bahkan makanan. Rasa cemas masih terasa setiap kali suara gemuruh kembali terdengar dari puncak gunung. Namun, justru dari ruang sempit itu, tumbuh rasa kebersamaan yang lebih kuat. Mereka saling menghibur, saling meminjamkan barang, bahkan saling menyuapi anak-anak yang kehilangan orang tua.
Di tengah kehidupan di tenda-tenda, pemerintah mulai menyiapkan rencana pemindahan warga terdampak paling berat. Supiturang termasuk desa yang mendapatkan prioritas pembangunan huntara (hunian sementara). Bangunan-bangunan darurat ini menjadi tempat tinggal baru bagi warga yang rumahnya tidak bisa direnovasi atau wilayahnya masuk zona merah. Meskipun sederhana, huntara menjadi ruang aman pertama yang memberi warga kesempatan untuk bernafas lega setelah berminggu-minggu hidup di bawah terpal.
Huntara dibangun berjejer dengan struktur kayu dan dinding sederhana. Banyak warga menyebut bahwa tempat ini bukan sekadar tempat tidur, tetapi awal dari upaya menata hidup dari nol. Di sana, mereka mulai merapikan barang-barang yang masih tersisa, menata dapur kecil, hingga membuat halaman mungil di depan bilik mereka.
Beberapa bulan setelahnya, pemerintah melanjutkan dengan pembangunan huntap (hunian tetap) bagi warga yang kehilangan rumah total. Pemindahan ini bukan proses singkat. Warga harus didata ulang, lahan huntap harus disiapkan, dan pembangunan memerlukan waktu berbulan-bulan. Namun bagi warga Supiturang, kehadiran huntap menjadi tanda nyata bahwa mereka tidak akan selamanya hidup dalam ketidakpastian.
Huntap dibangun lebih layak dan kokoh, dengan struktur permanen yang mampu menampung satu keluarga lengkap. Banyak warga mengaku merasa lega ketika akhirnya mendapatkan kunci rumah baru, walau harus meninggalkan lokasi rumah lama yang penuh kenangan. “Rumahnya memang baru dibangun, tapi rasanya seperti pulang kembali,” begitu ungkapan beberapa warga yang akhirnya menetap di huntap.
Kehadiran huntara dan huntap tidak hanya menjadi solusi fisik, tetapi juga simbol pemulihan psikologis. Bagi banyak keluarga, memiliki ruang tetap kembali berarti memiliki tempat untuk menyusun masa depan: menghidupkan kompor untuk memasak, menata ruang untuk anak belajar, hingga menanam sayuran kecil di halaman.
Ketika struktur hunian semakin stabil, warga mulai memikirkan kembali pekerjaan mereka. Sebagian petani kembali menggarap lahan yang tersisa, sementara yang lain membuka usaha kecil seperti warung kopi, kedai makanan, atau penjualan hasil olahan desa. Anak-anak mulai bersekolah kembali, baik di tenda maupun bangunan darurat.
Selain pemulihan fisik dan ekonomi, dukungan sosial terus berjalan. Pengajian, selawatan, doa bersama, dan tradisi desa menjadi ruang untuk saling menyembuhkan luka batin. Banyak warga menyebut bahwa tanpa kegiatan keagamaan dan kebersamaan semacam ini, beban mental pascabencana akan jauh lebih berat.
Kini, meskipun bekas erupsi masih terlihat di beberapa sudut, Desa Supiturang perlahan bangkit. Kehidupan ekonomi berdenyut kembali, dan warga mulai menemukan ritme baru setelah kehilangan besar. Butuh waktu panjang, tetapi perlahan sangat perlahan mereka kembali memegang kendali atas hidup mereka.
Bagi masyarakat Supiturang, erupsi Semeru bukan hanya tragedi alam. Ia adalah perjalanan panjang tentang ketahanan, solidaritas, dan keberanian untuk bangkit dari abu. Dari tenda pengungsian, ke huntara, lalu ke huntap, mereka belajar bahwa bencana sebesar apa pun tidak cukup kuat untuk mematahkan harapan ketika dihadapi bersama.