Harimau: Sosok yang Diam-Diam Menjaga Moral Orang Sumsel

kumparan.com • 13 jam yang lalu
Cover Berita

Banyak wilayah di Sumatera Selatan seperti Muar Enim, Lahat, Pagar Alam dan beberapa wilayah lainnya. Menganggap harimua bukan hanya sekedar hewan buas penghuni hutan Sumatera. Dalam masyarakat, ia hidup sebagai sosok yang lebih dari sekedar hewan buas, ia dihormati, disegani, sekaligus dianggap dan diyakini memiliki peran dalam membentuk bagaimana cara seseorang bersikap, terlebih lagi cara bersikap ketika berada di alam terbuka.

Bagi orang Sumsel, harimau menempati posisi unik: semacam penjaga moral yang diam-diam hadir lewat cerita rakyat, pantangan, nasihat orang tua, hingga aturan adat.

Di wilayah Sumsel terlebih pada daerah Uluan, kisah tentang harimau hampir selalu muncul dalam beragam bentuk: “harimau jadi-jadian”, “puyang”, “subat” atau interpretasi leluhur. Yang dipercaya menjaga desa atau kampung, harimau tidak semata-mata dianggap sebagai predator, tetapi sebagai makhluk yang memiliki martabat yang dimana hanya akan menyerang jika batasan yang ditentukan dilanggar. Pandangan yang ditanamkan ini, menumbuhkan rasa hormat, harimau dianggap memiliki atura, dan mampu “mengajarkan” manusia untuk berperilaku dengan beradab dan tidak semena-mena.

Banyak petuah moral yang melekat pada sosok harimau. Sejak kecil banyak anak-anak di Sumsel tumbuh dengan petuah dari orang tua seperti: “Jangan main ke arah hutan nanti di ambil puyang (harimau)”. Pesan-pesan itu bukan sekadar menakut-nakuti. Harimau digunakan sebagai simbol kontrol sosial, sebagai pengingat bahwa ada batas perilaku yang tidak boleh dilewati. Dalam cerita lisan, harimau sering muncul sebagai penegur, seolah-olah alam dan para leluhur ikut mengawasi.

Lalu bagaiman alasan logisnya, kenapa harimau ini begitu dianggap sebagai hewan yang dihormati, dan juga disegani? Setidaknya ada tiga alasan utama: Yang pertama perilaku harimau dianggap mencerminkan nilai yang ideal, harimau merupakan hewan yang tidak berisik namun bergerak tegas jika diganggu, hal ini yang diangkat menjadi contoh ketegasan. Kedua kehidupan pada zaman dahulu sanagat dekat dan intens dengan hutan, diamana harimau merupakan penguasa rimba jadi dengan menghormati harimau sama dengan menghargai alam dan batasan-batasannya. Terakhir yang ketiga karena kuatnya kepercayaan masyrakat di Nusantara ini terhadap leluhur harimau dipercaya sebagai perwujudan roh penjaga atau tokoh masa lalu yang melindungi desa. Gabungan ketiga faktor ini membuat harimau bukan cuma hewan nyata, tetapi simbol moral yang hadir dalam keseharian masyarakat.

Kesakralan harimau terlihat jelas dalam seni dan budaya Sumsel: dari syair lama, hingga teater. Salah satu contohnya adalah pementasan teater yang menggambarkan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai “harimau yang tak dapat dijinakkan”, simbol pemimpin yang kuat, teguh, dan tidak tunduk pada ketidakadilan. Harimau, dalam konteks ini, menjadi lambang pemimpin ideal: berani, menjaga rakyat, dan tahu kapan harus menunjukkan taring.

Di balik citra tegasnya, harimau juga dianggap simbol keseimbangan. Ia mengingatkan bahwa manusia tidak boleh merasa paling berkuasa atas alam. Melalui cerita-cerita sakral, masyarakat diajarkan agar tidak sembarangan menebang hutan, memburu hewan, atau merusak lingkungan. Dengan kata lain, harimau tidak hanya menjaga moral antar-manusia, tetapi juga moral ekologis, bagaimana manusia memperlakukan alam sekitarnya.

Kini, ketika harimau Sumatera berada di ambang kepunahan, cerita-cerita ini justru makin penting untuk diingat. Kesakralan harimau bukan sekadar kisah mistik yang harus ditinggalkan, melainkan kearifan lokal yang mengajarkan bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam. Nilai hormat, batasan, dan tanggung jawab yang dulu disampaikan lewat cerita tentang harimau adalah pengingat bahwa alam memiliki aturannya sendiri. Dalam konteks hari ini, kisah-kisah itu menjadi refleksi: apakah manusia masih menjaga keharmonisan itu, atau justru melanggarnya hingga harimau, simbol kewibawaan dan penjaga moral, kian hilang dari hutan Sumatera?

Sudah puluhan hingga ratusan generasi masyarakat Sumsel menempatkan harimau sebagai penjaga moral. Bukan karena rasa takut semata, tetapi karena mereka memahami bahwa di balik lebatnya rimba ada sosok yang diam-diam mengingatkan manusia agar tetap berjalan di jalan yang benar. Dalam pandangan orang-orang tua dulu, harimau bukan hanya makhluk liar, tetapi “pengawas” yang hadir ketika manusia mulai bertindak melewati batas. Sebab itulah sikap hormat dan hati-hati ketika berada di alam terbuka bukan sekadar kebiasaan, melainkan warisan nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.