Penjajahan, bagi banyak orang, selalu identik dengan perang, pengambilan wilayah, dan kekerasan fisik. Namun, tanpa kita sadari, penjajahan modern tidak lagi datang dalam wujud serdadu atau tank, melainkan meresap melalui cara kita berpikir, apa yang kita konsumsi, dan sistem global yang menata dunia. Ia senyap, tidak berdarah, tetapi efeknya panjang membelenggu pola pikir dan memperkuat hierarki yang timpang antarnegara.
Penjajahan, bagi banyak orang, selalu identik dengan perang, pengambilan wilayah, dan kekerasan fisik. Namun, tanpa kita sadari, penjajahan modern tidak lagi datang dalam wujud serdadu atau tank, melainkan meresap melalui cara kita berpikir, apa yang kita konsumsi, dan sistem global yang menata dunia. Ia senyap, tidak berdarah, tetapi efeknya panjang membelenggu pola pikir dan memperkuat hierarki yang timpang antarnegara.
Dalam kajian Hubungan Internasional, salah satu teori post-positivisme yang membahas fenomena ini adalah postkolonialisme. Teori ini menyoroti bahwa walau suatu negara telah merdeka secara politik, warisan kolonial dapat terus hidup dalam struktur ekonomi, budaya populer, sistem pendidikan, bahkan dalam produksi pengetahuan. Artinya, kemerdekaan administratif belum otomatis menjadi kemerdekaan epistemik. Kita mungkin telah bebas dari penjajahan geografis, tetapi belum sepenuhnya bebas dari penjajahan mental.
Ketimpangan ini nyata dalam ekonomi internasional. Banyak aturan perdagangan, lembaga finansial global, hingga relasi investasi yang secara sistemik lebih menguntungkan negara maju. Mekanisme produksi dan distribusi kekayaan di desain sedemikian rupa sehingga negara kaya tetap dominan, sementara negara miskin sering terjebak sebagai penyedia bahan mentah, pasar komoditas, atau tenaga kerja murah. Alhasil, kemiskinan tidak hanya menjadi kondisi ekonomi, melainkan efek dari sistem yang menormalisasi eksploitasi. Sebuah “kolonialisme baru” dengan wajah pragmatisme ekonomi. Penjajahan pola pikir bahkan hadir dalam keseharian kita. Ambil contoh restoran dan brand makanan di pusat perbelanjaan. Hampir semua memiliki estetika budaya Barat—dari desain interior, nama menu, gaya penyajian, hingga standar kemewahan yang dikonstruksi sebagai tolak ukur modernitas. Ironisnya, kita jarang mempertanyakan: mengapa representasi “maju” hampir selalu memakai simbol Barat? Mengapa kebanggaan global sering diukur dari seberapa mirip kita dengan budaya asing, bukan seberapa kuat kita merayakan identitas sendiri?
Tanpa sadar, kita sedang dicover oleh narasi bahwa Barat = berkualitas, sedangkan lokal = alternatif. Padahal, dominasi ini bukan sekadar soal selera pasar, tetapi soal hegemoni budaya dan produksi makna. Ketika ruang publik, konsumsi, dan aspirasi sosial dijejali simbol satu budaya tertentu, ia menjadi proses kolonisasi halus mengarahkan preferensi dan membentuk standar pikir generasi.
Bahaya sesungguhnya bukan sekadar dominasi yang terjadi, melainkan ketidaksadaran kita terhadapnya. Jika rantai eksploitasi dan hegemoni budaya ini terus dinormalisasi, kemerdekaan hanya akan menjadi seremoni tahunan, bukan realitas utuh. Untuk benar-benar merdeka, kita perlu mengkolonisasi ulang nalar kita sendiri menjadi sadar, kritis, dan berani menata sistem serta kebanggaan yang berdiri di kaki sendiri, bukan bayang-bayang masa lalu.