Center for Sharia Economic Development (CSED), bagian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti potensi besar Danantara untuk menjadi penggerak utama ekonomi syariah dan proses reindustrialisasi Indonesia.
Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Menakar Potensi Danantara sebagai Katalis Pertumbuhan Ekonomi Syariah Indonesia” yang digelar Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Senin (30/11/2025).
Para ahli menegaskan bahwa realisasi potensi ini sangat bergantung pada tata kelola yang kuat, mandat yang jelas, dan komitmen alokasi untuk sektor produktif.
Nur Hidayah, Kepala CSED INDEF, mengungkapkan bahwa meski Danantara merupakan salah satu entitas investasi terbesar di kawasan, porsi instrumen syariah dalam portofolionya masih di bawah lima persen. Padahal, Indonesia memiliki ekosistem ekonomi syariah yang berkembang pesat.
“Kita tidak sedang menagih retorika syariah, yang kita minta adalah alokasi, kuota, mandat, eksekusi. Kalau Danantara berani menempatkan syariah sebagai pusat strategi, maka ia bukan hanya superholding, tetapi akselerator kemakmuran umat,” tegas Nur Hidayah.
Baca Juga: Pertumbuhan Macet di 5%, INDEF Ingatkan Risiko Jangka Panjang!
Ia menambahkan, Danantara memiliki posisi strategis untuk memperkuat permodalan lembaga keuangan syariah, membiayai industri halal, serta mendorong pembiayaan di sektor prioritas seperti pangan, energi hijau, dan UMKM.
Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan terbesar terletak pada tata kelola, yang saat ini dinilai masih minim mekanisme audit dan pengawasan formal.
“Dengan skala aset yang besar dan mandat yang jelas, Danantara dapat menggerakkan pembiayaan yang lebih berkeadilan, memperluas inklusi ekonomi, dan meningkatkan daya saing nasional asalkan tiga fondasi utama yaitu governance yang kuat dan transparan, instrument syariah yang tepat dan berdampak, dan kolaborasi lintas stakeholder dijalankan dengan konsisten,” tegasnya.
Abdul Hakam Naja, Peneliti CSED INDEF, menekankan pentingnya peran Danantara dalam konteks reindustrialisasi Indonesia. Data menunjukkan kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) anjlok dari lebih dari 30% di awal 2000-an menjadi sekitar 19% pada tahun 2025.
“Danantara tidak boleh diposisikan hanya sebagai superholding finansial, tetapi sebagai ‘dirigen reindustrialisasi nasional’,” ujar Abdul Hakam.
Menurutnya, Danantara harus mampu mengorkestrasi hilirisasi industri, pemanfaatan sumber daya mineral kritis, penguatan riset dan inovasi, serta transisi energi hijau. Ia memperingatkan agar Danantara tidak hanya mengejar imbal hasil cepat, yang justru akan mengulangi kesalahan masa lalu.
“Kita tidak bisa bicara industri tanpa bicara lingkungan. Industri halal, industri hijau, dan mineral strategis harus menjadi satu ekosistem, bukan tiga agenda yang terpisah,” jelasnya.
Handi Risza Idris, Peneliti CSED INDEF, memaparkan peluang Indonesia dalam industri halal global. Meski kontribusi usaha dan pembiayaan syariah Indonesia terhadap PDB telah mencapai 46,72% pada 2024, posisi Indonesia masih sebagai importir besar di banyak kategori produk halal.
Sementara itu, konsumsi halal global terus tumbuh dan diperkirakan mencapai US$1,4 triliun. Handi menilai Danantara dapat menjadi pemain kunci dalam mengubah Indonesia dari konsumen besar menjadi produsen utama halal dunia.
“Ekosistem halal kita besar, tapi belum terhubung oleh pembiayaan jangka panjang. Jika Danantara masuk dengan mandat jelas, ia dapat menciptakan lompatan kapasitas produksi nasional,” ujarnya.
Pembiayaan dari Danantara, lanjut Handi, dapat diarahkan untuk pengembangan kawasan industri halal, industri pangan, logistik halal, dan harmonisasi standar halal internasional.
“Jika kita tidak memperkuat sisi produksi, kita akan tetap menjadi pasar, bukan pemain global,” tandasnya.
Baca Juga: Cost Overrun Rp19 Triliun, INDEF Nilai Risiko Fiskal Whoosh Meningkat
Dari seluruh rangkaian diskusi, disimpulkan bahwa Danantara berpotensi menyatukan tiga agenda strategis: penguatan ekonomi syariah, reindustrialisasi, dan transformasi energi.
Namun, seluruh potensi itu hanya akan terwujud dengan dukungan tata kelola yang kuat dan prioritas alokasi yang tepat. Diskusi juga menekankan perlunya integrasi kebijakan yang sinergis antara Kementerian Keuangan, BUMN, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).
Dengan desain kebijakan yang tepat, Danantara diharapkan dapat menjadi tulang punggung pembiayaan jangka panjang yang mendorong Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dan industri halal global, sekaligus memperkuat struktur ekonomi nasional.