FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Juru Bicara PDIP, Mohamad Guntur Romli, menyinggung aktivitas para Kepala Negara saat purna tugas.
Dikatakan Guntur, ada perbedaan yang terbilang jauh di antara aktivitas para mantan Kepala Negara.
“Kegiatan sehari-hari Presiden Republik Indonesia ke-5, 6, dan 7 setelah purnatugas,” ujar di X @GunRomli (1/12/2025).
Ia memulai dari Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri. Guntur mengatakan bahwa putri Presiden pertama itu belakangan ini rajin tanam pohon dan menjadi pemerhati lingkungan.
Jika Megawati sibuk mengurus lingkungan, kata Guntur, Presiden ke-6 memilih menghabiskan siswa waktunya dengan melukis.
Adapun Presiden ke-7, Jokowi, Guntur melihatnya belakangan ini sibuk memberikan klarifikasi.
Mulai dari proyek peninggalannya yang diduga sarat masalah hingga dugaan ijazah palsu miliknya yang terus berpolemik.
Teranyar, Jokowi disebut sebagai sosok yang paling bertanggungjawab atas adanya bandara yang diduga ilegal di Morowali.
“Semoga semuanya diberi kesehatan, kekuatan, dan umur panjang untuk terus melakukan kegiatan masing-masing,” tandasnya.
Polemik yang paling melelahkan bagi Jokowi salah satunya terkait ijazah. Hingga saat ini Roy Suryo Cs belum menyerah dalam perdebatan tersebut.
Baru-baru ini, Pengacara Roy Suryo cs, Ahmad Khozinudin, menanggapi wacana penyelesaian kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7, Jokowi melalui mekanisme mediasi penal maupun abolisi.
Ia menganggap usulan tersebut tidak bisa diterapkan karena perkara ini merupakan ranah hukum publik, bukan sengketa personal.
Ahmad menjelaskan ada perbedaan karakteristik yang sangat jelas antara perkara perdata dan pidana.
Perdata bersifat privat dan penyelesaiannya bergantung pada kesepakatan para pihak, sementara pidana merupakan persoalan publik yang penegakannya menggunakan instrumen kekuasaan negara melalui paksaan.
“Ada perbedaan karakteristik perkara perdata dengan pidana, dimana perdata sifatnya privat dan penyelesaiannya sangat bergantung pada kesepakatan para pihak,” ujar Ahmad kepada fajar.co.id, Minggu (30/11/2025).
“Sementara pidana, berkaitan dengan hukum publik yang cara penegakannya dilakukan dengan paksaan melalui instrumen alat kekuasaan (Negara),” tambahnya.
Ia mengaku heran dengan pernyataan mantan Hakim Agung, Prof Gayus Lumbuun, yang menyebut perkara pidana wajib melalui tahapan mediasi.
Bahkan disebut telah ada Peraturan MA (PERMA) yang mewajibkan seluruh perkara pidana melewati proses mediasi.
“Saya agak heran dengan pernyataan Prof Gayus Lumbuun, yang menyatakan perkara pidana wajib melalui tahapan mediasi,” tegasnya.
Dikatakan Ahmad, mediasi yang diatur oleh Mahkamah Agung hanya berlaku untuk perkara perdata, sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kemudian, PERMA Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik, serta PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
Jika yang dimaksud adalah mediasi penal, lanjutnya, mekanismenya tidak diatur melalui PERMA melainkan melalui ketentuan internal kepolisian, yakni Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, serta Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang penerapan keadilan restoratif.
“Mediasi penal ditempuh dengan tujuan utama mencapai kesepakatan antara pelaku dan korban untuk memulihkan keadilan,” jelasnya.
Lanjut Ahmad, produk akhir dari mekanisme itu adalah SP3 atau penghentian penyidikan.
Namun, ia memastikan opsi itu tidak dapat diterapkan dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi.
“Mediasi model ini sudah pasti tak dapat dilakukan dalam kasus ijazah palsu Jokowi. Alasannya, perkara Roy Suryo cs bukanlah perkara pribadi mereka. Melainkan perkara publik,” imbuhnya.
Ia menuturkan, damai justru berpotensi menimbulkan fitnah dan memunculkan persepsi bahwa Roy Suryo cs mengakui kesalahan dan ijazah Jokowi terbukti asli.
“Damai yang ditempuh dapat menimbulkan fitnah. Karena damai itu dapat dimaknai pengakuan ijazah Jokowi asli dan Roy Suryo cs mengakui kesalahan sekaligus meminta maaf,” katanya.
“Damai tidak menyelesaikan pokok perkara ijazah palsu. Damai tidak bisa mengubah barang yang palsu menjadi asli,” lanjutnya.
Ahmad mengingatkan bahwa rakyat menginginkan kejelasan hukum, bukan kompromi.
“Damai tidak dapat menghentikan kegeraman seluruh rakyat atas kepastian ijazah yang dimiliki Jokowi,” terangnya.
(Muhsin/fajar)