Beberapa tahun terakhir, dunia badminton bukan hanya diramaikan oleh turnamen besar atau nama-nama atlet nasional yang lagi naik daun, tapi juga oleh tren penggunaan raket tertentu yang mendadak jadi “wajib punya.” Di media sosial, raket yang dipakai atlet terkenal langsung viral, kemudian muncul di berbagai iklan, review TikTok, hingga diskusi komunitas badminton. Banyak pemain amatir, terutama pemula, merasa harus membeli raket mahal untuk bisa main lebih jago, seolah-olah skill ditentukan oleh harga dan brand yang mereka genggam.
Tidak bisa dipungkiri, raket memang punya daya tarik visual yang besar. Desain modern, warna mencolok, dan tampilan profesional membuat raket terlihat keren ketika dicoba di lapangan atau dipajang di raket bag. Dalam era ketika estetika dan gaya ikut menentukan rasa percaya diri, raket bukan lagi sekadar alat olahraga, tapi juga semacam simbol identitas. Rasanya seperti memakai sepatu basket signature pemain NBA: bukan hanya fungsinya yang dirasakan, tetapi juga sensasi “lebih pro” yang muncul saat memakainya.
Raket Mahal, Skill Ikut Naik? Atau Cuma Rasa Percaya Diri?
Kalau kita jujur, tidak semua orang benar-benar memahami karakteristik raket yang dibelinya. Ada raket yang lebih berat di kepala, ada yang lebih fleksibel, ada yang cocok untuk kontrol, ada yang dibuat untuk power. Namun banyak orang tetap membeli raket termahal atau yang paling sering dibahas di media sosial. Padahal, raket yang dipakai atlet profesional belum tentu cocok dipakai pemain amatir yang baru belajar footwork dasar.
Menariknya, rasa percaya diri sering kali menjadi faktor terbesar. Pemain merasa lebih mantap, lebih percaya diri, bahkan lebih semangat latihan ketika memegang raket yang terlihat keren atau memiliki label “high-end.” Ada yang merasa pukulannya lebih bertenaga hanya karena tahu raketnya dipakai atlet idolanya. Dalam banyak kasus, bukan raketnya yang membuat permainan membaik, tetapi mental penggunanya yang merasa lebih siap.
Tetapi ketika permainan mulai berjalan, kenyataannya muncul. Jika teknik dasar belum solid, raket semahal apa pun tidak akan membuat drop shot tiba-tiba presisi atau smash otomatis tajam. Sering terjadi, pemain membeli raket mahal, lalu merasa kecewa ketika performanya tidak berubah. Di titik ini, muncul pertanyaan penting: apakah raket benar-benar menentukan level permainan kita, atau kita hanya mengejar gengsi agar terlihat serius dan “niat” di lapangan?
FOMO dan Raket Badminton
Fenomena raket badminton ini sangat dekat dengan budaya FOMO. Ketika teman di klub memakai raket baru, atau ketika media sosial dipenuhi review “raket tercepat tahun ini,” kita merasa harus ikut membeli supaya tidak ketinggalan. Meski raket lama masih bagus, ada dorongan untuk upgrade demi mengikuti tren.
Banyak pemain baru akhirnya jadi kolektor dadakan, punya tiga sampai lima raket padahal skill belum stabil. Setiap ada model baru, muncul godaan untuk mencoba, seolah-olah raket lama tidak lagi efektif. Dalam kasus ini, raket tidak lagi menjadi alat olahraga, melainkan bagian dari status sosial. Rasanya lebih percaya diri ketika masuk lapangan sambil menenteng raket terbaru, meskipun teknik footwork masih sering terlambat setengah langkah.
Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan tren sepeda, sepatu lari, hingga keyboard gaming. Kita sering mengejar barang yang viral bukan karena kebutuhan sebenarnya, tetapi karena budaya ingin terlihat “update.”
Raket Canggih, Tapi Tekniknya Bagaimana?
Bicara soal pengaruh raket sebenarnya perlu konteks. Raket memang berperan, tetapi hanya setelah teknik dasar sudah cukup kuat. Pemain yang sudah paham gaya mainnya—apakah lebih defensif, agresif, suka rally, atau suka smash—baru bisa merasakan perbedaan signifikan antara raket satu dan lainnya.
Masalahnya, banyak pemain pemula belum berada di level ini. Mereka kesulitan menentukan racket head heavy atau head light, bahkan belum tahu apa bedanya shaft stiff dan medium. Akhirnya, mereka hanya mengikuti apa yang sedang populer. Bahkan ada yang membeli raket berat padahal stamina belum cukup, dan hasilnya permainan malah makin berat.
Di sisi lain, pemain yang sudah berpengalaman tahu bahwa raket hanya bagian kecil dari keseluruhan performa. Footwork, stamina, teknik swing, konsistensi latihan, dan pemahaman permainan jauh lebih memengaruhi skill dibandingkan sekadar raket baru. Raket bisa membantu, tetapi tidak bisa menggantikan latihan berjam-jam untuk memperbaiki teknik.
Estetika Raket di Era Digital
Media sosial punya peran besar dalam menguatkan tren raket. Video unboxing raket baru, slow motion smash pakai raket tertentu, atau vlog latihan di lapangan indoor dengan raket yang trendi membuat produk tersebut terlihat semakin menggoda. Banyak pemain mengaku hanya ingin membeli karena “warnanya keren,” atau karena ingin punya raket yang terlihat bagus ketika difoto.
Dalam banyak kasus, raket tidak lagi digunakan sepenuhnya untuk meningkatkan performa, melainkan sebagai bagian dari citra diri di komunitas badminton. Kata-kata seperti “biar makin kece di lapangan” atau “matchy sama sepatu Yonex baru” sering muncul. Dan tidak jarang, raket hanya dipakai beberapa kali sebelum akhirnya disimpan karena ternyata tidak cocok.
Skill atau Sekadar Simbol?
Pada akhirnya, pertanyaan kembali pada diri sendiri: apakah kita membeli raket karena benar-benar butuh untuk meningkatkan permainan, atau karena ingin terlihat lebih keren di lapangan? Tidak salah membeli raket bagus, bahkan tidak salah juga membeli yang mahal. Tapi penting untuk jujur pada diri sendiri soal alasannya.
Jika kita sudah tahu gaya main, rajin latihan, dan ingin raket yang sesuai karakter permainan, tentu raket berkualitas bisa memberikan efek nyata. Namun jika tujuan utama hanya mengikuti tren atau takut terlihat berbeda dari teman-teman klub, maka raket apa pun tidak akan membuat skill meningkat secara otomatis.
Raket akan selalu menjadi bagian dari permainan badminton, tetapi skill tetap dibangun dari latihan rutin, kedisiplinan memperbaiki teknik, dan pemahaman gaya permainan pribadi. Jika sudah memahami diri sendiri, raket apa pun bisa bekerja dengan baik—karena pada akhirnya, bukan raket yang menentukan kualitas permainan, tetapi pemain yang memegangnya.