Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani mengungkap satu masalah penting yang bisa menghambat peringatan dini bencana alam, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Katanya, selain fenomena alam Siklon Senyar, ada persoalan alat yang belum lengkap.
"Ya, siklon ini sendiri kemudian, nah ini tadi bisa kita lihat bagaimana radar yang menangkap, radar cuaca yang menangkap begitu masifnya awan hujan dan hujan yang terjadi pada daerah perbatasan antara Sumatera Utara dan Aceh," kata Teuku Faisal dalam rapat dengan Komisi V DPR, Senin (1/12).
"Dan BMKG saat ini, Bapak Pimpinan, memiliki 44 radar cuaca di Indonesia," sambungnya.
Dari 44 radar itu, Aceh Tengah belum memilikinya. Padahal wilayah tersebut menjadi yang paling terdampak banjir hingga longsor.
"Yang dibutuhkan pada dasarnya adalah 75 radar, tapi baru terpenuhi 44. Jadi di Aceh bagian tengah itu juga tidak ter-cover oleh radar cuaca sebenarnya," jelas dia.
Jembatan Beutong Ateuh Banggalang putus diterjang banjir bandang. Posisinya di jalan lintas tengah Nagan Raya-Aceh Tengah di Desa Kuta Teugong, Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, Aceh,
Kata dia, fenomena Siklon Senyar ini sejatinya sudah disampaikan ke Pemerintah Daerah sebelumnya. Namun karena ada anomali, Siklon Senyar ini berputar terlalu lama di Selat Malaka sehingga menyebabkan bencana yang luar biasa.
Faisal menuturkan, hasil analisis pada 25-27 November, cuaca di Aceh masuk kategori sangat ekstrem.
"Bahwa tertangkap curah hujan pada 25 November, 26 November, hingga 27 November itu sampai hitam warnanya, itu sangat ekstrem. Bahkan tertinggi ada yang 411 mm per hari di Kabupaten Bireuen. Ini bahkan lebih tinggi dari hujan bulanan di sana, mungkin 1,5 bulan ya. Jadi ini tumpah dalam satu hari dan bayangkan itu terjadi selama 3 hari," kata Teuku.
"Nah, ini yang menyebabkan bencana hidrometeorologi memang sangat masif terjadi karena tanah kemudian tidak mampu atau lahan tidak mampu dalam menahan tumpahan air hujan yang demikian banyak hingga terjadilah banjir bandang, longsor, dan banjir," tambah dia.