Walhi Tantang Pernyataan Bobby Nasution soal Banjir Sumut: Ini Fakta Sebenarnya

wartaekonomi.co.id • 1 jam yang lalu
Cover Berita
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Rianda Purba, menegaskan bahwa pernyataan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang menyebut banjir dipicu hidrometeorologi tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan.

Ia menilai penyebab utama bencana bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan persoalan mendasar berupa degradasi lingkungan yang berlangsung lama dan dibiarkan terus terjadi.

Dalam satu dekade terakhir, Walhi mencatat lebih dari 2.000 hektare hutan hilang akibat alih fungsi menjadi kawasan non-hutan. Hilangnya tutupan hutan secara masif ini melemahkan daya dukung ekologis Sumatera Utara dan menjadikan bencana seperti banjir sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan.

Baca Juga: Walhi Tegaskan Banjir Sumatera sebagai Bencana Ekologis

“Jadi kita menyangkal ya pernyataan dari Gubernur Sumatera Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem. Tapi pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini, pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan,” ujarnya dalam konferensi pers Siklon Senyar, Bencana Ekologis dan Masa Depan Kita di Jakarta, Senin (1/12/2025).

Bencana paling parah, lanjutnya, melanda wilayah yang berada di bentang Ekosistem Harangan Tapanuli (Batang Toru)—Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga—yang selama bertahun-tahun mengalami tekanan berat. Antara 2016 hingga 2024, ekosistem Batang Toru telah kehilangan 72.938 hektare hutan akibat aktivitas 18 perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut.

Rianda menjelaskan bahwa alih fungsi lahan terjadi secara sistematis sejak 2014, terutama melalui perubahan kebijakan seperti SK 579/2014 yang mengubah sebagian kawasan menjadi APL (Areal Penggunaan Lain). Perubahan status ini membuka pintu bagi masuknya investasi berskala besar, yang kemudian mendorong pengubahan bentang alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.

Baca Juga: Presiden Prabowo Pastikan Penanganan Infrastruktur Terdampak Banjir di Aceh Tenggara

Proyek-proyek besar yang menekan kawasan Batang Toru antara lain pembangunan PLTA North Sumatera Hydro Energy (NSHE), perluasan konsesi Tambang Emas Martabe (Agincourt) sejak 2020, ekspansi HTI PT Toba Pulp Lestari (TPL), serta pembukaan perkebunan sawit oleh PT Sago Nauli Plantation dan PTPN III Batang Toru Estate. Deretan proyek ini berkontribusi langsung pada percepatan hilangnya tutupan hutan yang selama ini menjadi penyangga ekologis penting.

“Kenapa ini terjadi? Karena status hukumnya sebagian besar wilayah-wilayah yang rusak itu menjadi non-hutan atau areal penggunaan lain. Sehingga orang-orang ataupun pemegang hak atas tanah ataupun oknum-oknum itu melakukan transaksi jual beli lahan di yang sejatinya secara fakta itu adalah hutan,” jelasnya.

Rianda juga membantah anggapan bahwa masyarakat lokal turut menjadi penyebab kerusakan hutan. Ia menekankan bahwa warga justru merupakan pihak yang paling memahami fungsi hutan sebagai sumber air dan perlindungan alami terhadap banjir.

Baca Juga: Transisi Hijau atau Transaksi Hijau? WALHI Kritik Keras Agenda Iklim Indonesia

“Apakah kontribusi masyarakat untuk pengrusakan ada? Tidak ada kalau kita katakan. Karena kita lihat langsung, masyarakat justru sampai saat ini mereka sadar bahwa hutan tersebut punya fungsinya untuk menopang kehidupan,” katanya.

Di wilayah Selatan, Tengah, dan Utara Tapanuli, masyarakat masih mempraktikkan kearifan lokal seperti lubuk larangan serta berbagai mekanisme adat untuk menjaga keseimbangan ruang dan air. Sistem pengelolaan berbasis kearifan lokal ini telah berjalan ratusan tahun, menunjukkan bahwa masyarakat bukan pelaku kerusakan, melainkan penjaga alam.

“Jadi proses partisipatif itu dalam pengelolaan ruang di wilayah desa-desa yang saat ini terdampak itu sudah berlangsung lamanya, bahkan ratusan tahun,” tutupnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.