Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada 25-27 November 2025 merupakan tragedi ekologis, bukan murni fenomena alam. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara tegas menuding masifnya deforestasi dan kerentanan lingkungan akibat kebijakan pemerintah yang memfasilitasi investasi ekstraktif sebagai pemicu utama.
WALHI merilis data yang menyebutkan bahwa dalam rentang waktu 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektare hutan di ketiga provinsi tersebut telah terdeforestasi, terkait dengan aktivitas 631 perusahaan pemegang berbagai izin konsesi.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menekankan kondisi ini menunjukkan alam sudah tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan korporasi.
Baca Juga: Sapa Anak-anak dan Dengarkan Keluhan Warga, Presiden Prabowo Tinjau Posko Pengungsian Banjir di Aceh Tenggara
"Bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang," kata Solihin dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/12/2025).
Konsesi Merusak di Hulu Bukit Barisan
Analisis WALHI merinci bahwa kerusakan hutan terparah terjadi di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) besar di bentang Pegunungan Bukit Barisan. Data WALHI menunjukkan izin yang paling dominan dalam merusak kawasan tersebut adalah eksplorasi hutan (268.177 hektare), disusul Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan (183.483 hektare), dan izin tambang (25.832 hektare).
Data ini diperkuat oleh Sistem Informasi Monitoring Nasional (NFMS/SIMONTANA) Kementerian Kehutanan, dulu KLHK
Data menunjukkan, tutupan hutan alam pada sebagian besar DAS di Sumatera kini tersisa kurang dari 25 persen, menempatkan fungsi hidrologi dalam status kritis. Konversi besar-besaran hutan alam yang merupakan ekosistem krusial resapan air menjadi perkebunan monokultur telah mengurangi kapasitas tanah menahan air dan memicu limpasan permukaan saat hujan.
Baca Juga: Walhi Tegaskan Banjir Sumatera sebagai Bencana Ekologis
Di Aceh, dari 954 DAS, 20 di antaranya sudah dinyatakan kritis. Degradasi tutupan hutan yang ekstrem terekam di wilayah DAS Peusangan dengan Kerusakan mencapai 75,04% dan DAS Singki dengan Degradasi sebesar 66% dalam 10 tahun terakhir.
Titik Kritis di Batang Toru dan Aia Dingin
Di Sumatera Utara, bencana terparah melanda Ekosistem Batang Toru, yang mengalami deforestasi 72.938 hektare (2016-2024). Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, mengkritisi legalisasi aktivitas eksploitasi, termasuk proyek PLTA Batang Toru dan pertambangan emas, di kawasan strategis tersebut.
"Semua aktivitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang," ungkap Rianda, yang menyimpulkan proses perizinan yang korup menjadi akar masalah.
Sementara itu, di Sumatera Barat, Direktur Eksekutif WALHI Sumbar, Andre Bustamar, menyoroti kerusakan parah di hulu DAS Aia Dingin, Kota Padang.
Baca Juga: Transisi Hijau atau Transaksi Hijau? WALHI Kritik Keras Agenda Iklim Indonesia
"Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS. Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung," jelas Andre, seraya menegaskan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab penuh.
Kondisi bencana yang makin sering muncul di Sumatera mengindikasikan urgensi pengendalian alih fungsi hutan alam dan pemulihan ekosistem hulu. Tanpa intervensi yang kuat, penurunan kualitas DAS dikhawatirkan akan menjadikan banjir bandang sebagai fenomena rutin.