Tak Ada Tombol Ulang: Hanya Aku dan Penyesalan Itu

kumparan.com
1 jam yang lalu
Cover Berita

Ada masa-masa ketika hidup terasa seperti ruang yang terlalu sunyi. Di antara kesibukan yang dibuat-buat dan tawa yang dipaksakan, ada satu hal yang terus kembali mengetuk: penyesalan. Ia datang tanpa permisi, bahkan saat kita merasa sudah baik-baik saja. Tiba-tiba muncul di tengah malam, dalam perjalanan pulang, atau di saat-saat kita paling rapuh.

Penyesalan itu tidak selalu besar. Terkadang hanya berupa pilihan-pilihan kecil: kata yang seharusnya tidak diucapkan, kesempatan yang dilepaskan begitu saja, atau keputusan yang dulu terasa benar namun kini justru membekas sebagai luka. Tetapi sekecil apa pun bentuknya, penyesalan punya kemampuan untuk menusuk di bagian yang paling dalam.

Yang membuat penyesalan menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia berkaitan langsung dengan diri kita sendiri. Tidak ada yang bisa disalahkan, tidak ada yang bisa dituduh. Pada akhirnya, kita hanya bisa menatap cermin dan sadar bahwa semua rasa itu bersumber dari keputusan yang pernah kita buat. Lalu muncul pertanyaan yang sulit dihindari: “Seandainya aku bisa mengulang waktu, apakah semuanya akan berbeda?”

Namun hidup tidak pernah menyediakan tombol ulang. Kita dipaksa untuk terus berjalan sambil membawa sensasi perih yang kadang muncul, kadang mereda, tetapi tidak pernah benar-benar hilang. Penyesalan itu akhirnya menjadi seperti bayangan, ia mengikuti ke mana pun kita pergi, meski sinar matahari sudah semakin terang.

Sisi lain yang jarang dibicarakan adalah bagaimana penyesalan bisa membuat seseorang menjadi terlalu keras pada dirinya sendiri. Kita menghukum diri, merasa tidak cukup baik, atau menganggap diri gagal hanya karena satu fase hidup pernah berjalan tidak sesuai rencana. Padahal manusia memang ditakdirkan untuk salah. Kita belajar dari kerumitan, bukan dari kesempurnaan.

Yang sering terlupakan adalah bahwa penyesalan juga bisa menjadi guru. Ia mengajarkan batas, mengingatkan kita tentang apa yang tidak ingin diulang, dan mendorong kita menjadi sedikit lebih bijak dari versi diri kita yang dulu. Meski terasa berat, penyesalan bisa menjadi kompas yang mengarahkan kita ke keputusan yang lebih baik.

Tetapi memahami itu tidak membuat rasa sakit hilang begitu saja. Kita tetap butuh waktu. Butuh keberanian untuk menerima bahwa masa lalu memang tidak bisa diubah, tetapi masa depan masih bisa diperbaiki. Butuh ketulusan untuk memaafkan diri sendiri, meski prosesnya tidak sesederhana kata-kata motivasi.

Pada akhirnya, mungkin inti dari perjalanan hidup bukanlah menghapus penyesalan, melainkan berdamai dengannya. Menempatkannya sebagai bagian dari cerita, bukan inti dari segalanya. Kita tidak harus melupakan apa yang pernah terjadi, tetapi kita bisa memilih untuk tidak lagi hidup di bawah bayang-bayangnya.

Penyesalan akan datang dan pergi, itu pasti. Namun setiap kali ia mengetuk pintu, kita bisa menyambutnya dengan lebih lembut: “Aku sudah belajar. Aku tidak sempurna. Tapi aku masih terus berjalan.” Dan mungkin, di titik tertentu, itu sudah lebih dari cukup.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.