LHOKSEUMAWE, KOMPAS - Sekitar dua pekan setelah bencana hidrometeorologi melanda Aceh, sejumlah akses jalan darat masih putus. Salah satunya Jembatan Krueng Tingkeum yang merupakan penghubung utama Jalan Nasional Banda Aceh-Medan di kawasan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh. Untuk melakukan mobilitas, warga mengandalkan perahu nelayan untuk menyeberangkan orang maupun sepeda motor.
Warga Kuta Blang, M Nazar (38), saat menunggu giliran menaiki perahu nelayan di pinggiran Krueng/Sungai Tingkeum, Rabu (9/12/2025), mengatakan, putusnya satu bentang Jembatan Krueng Tingkeum sangat merepotkan. Sebab, jembatan itu menjadi urat nadi kehidupan masyarakat.
Selama ini, Nazar bermukim di kawasan Kuta Blang yang berada di sisi barat Jembatan Krueng Tingkeum. Namun, sesekali Nazar yang berprofesi sebagai buruh bangunan mendapatkan pekerjaan di kawasan Kuta Blang yang berada di sisi timur jembatan tersebut.
Kali ini, Nazar kembali mendapatkan pekerjaan di kawasan Kuta Makmur, Bireuen, yang berada di sisi timur Jembatan Krueng Tingkeum. Karena terdesak, mau tidak mau Nazar harus memanfaatkan jasa perahu nelayan untuk menyeberangkan dirinya dan sepeda motornya.
Biaya yang harus dikeluarkan Nazar untuk sekali menyeberang Rp 90.000, terdiri dari Rp 10.000 untuk ongkos penumpang per orang dan Rp 80.000 untuk ongkos sepeda motor per unit. Bagi Nazar yang bekerja serabutan, kondisi itu sangat memberatkan.
Jika setiap hari harus pulang-pergi dari Kuta Blang ke Kuta Makmur, Nazar harus mengeluarkan ongkos transportasi mencapai Rp 180.000 per hari. "Kalau keadaan normal saat jembatan tersambung, Rp 180.000 itu cukup untuk ongkos transportasi saya sebulan," ujar Nazar.
Selain sangat menyulitkan secara ongkos, Nazar pun tidak bisa beraktivitas dengan leluasa. Sebab, jadwal penyeberangan dengan perahu nelayan hanya pukul 07.00-18.00 WIB. Padahal, jadwal kerjanya tidak pasti. Terkadang, dia baru bisa pulang pada malam hari.
Oleh karena itu, Nazar akhirnya memutuskan untuk sementara bermukim di rumah orangtuanya di kawasan Kuta Makmur hingga jadwal pekerjaannya tuntas. "Kalau menyeberang tanpa sepeda motor, itu akan lebih irit. Tapi, itu justru menyulitkan saya ke mana-mana. Jadi, pilihan terbaik adalah tinggal sementara di rumah orangtua saya di Kuta Makmur," kata Nazar.
Zulfan (33), nakhoda salah satu perahu nelayan yang membuka jasa penyeberangan di Krueng Tingkeum, mengakui, pada awal-awal bencana, sempat ada pihak yang aji mumpung. Maksudnya, ada pemilik perahu yang memasang tarif ratusan ribu rupiah bagi penumpang dan sepeda motor yang ingin menyeberang.
Akan tetapi, hal itu hanya terjadi selama dua hari. Setelah itu, para pemilik perahu dikumpulkan oleh instansi terkait dan diputuskan kesepakatan harga yang berlaku hingga sekarang, yakni ongkos penumpang Rp 10.000 per orang dan sepeda motor Rp 80.000 per orang.
Pemilik perahu pun diberi aturan khusus untuk memastikan keselamatan warga, antara lain wajib menyediakan jaket pelampung dan hanya beroperasi sepanjang pukul 07.00-18.00 WIB per hari.
Bagi Zulfan, ongkos penyeberangan yang ditetapkan itu sudah sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan oleh pemilik perahu. Saat ini, tersedia 22 perahu yang khusus menyeberangkan penumpang dan empat perahu untuk menyeberangkan sepeda motor.
Dalam sehari, setiap perahu maksimal hanya melayani sekitar 10 penyeberangan. Untuk memenuhi kebutuhan operasional tersebut, mereka setidaknya perlu 70 liter bahan bakar minyak (BBM) untuk mesin disel. Adapun BBM mesin diesel yang bisa dibeli hanya jenis Pertamina Dex seharga Rp 14.800 per liter.
BBM itu pun cuma bisa dibeli di SPBU. Karena pasokan BBM sempat terganggu akibat banyak akses jalan darat di Aceh terganggu hingga putus, BBM itu juga sempat sulit didapat. Pemilik atau pekerja perahu harus mengantre panjang di SPBU demi mendapatkan BBM yang sesuai kebutuhan.
Selain itu, setiap perahu setidaknya butuh empat pekerja untuk membantu menaikkan dan menurunkan penumpang maupun sepeda motor. Dengan semua komponen tersebut, Zulfan mengaku, setiap pekerja perahu itu hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 100.000-Rp 150.000 per hari.
"Jadi, kami tidak ada niat mengambil keuntungan dalam musibah ini. Kami hanya sekadar mengalihkan pendapatan ke sini. Lagi pula, kami belum bisa melaut karena hasilnya tidak ada yang beli. Itu akibat banyak warga terdampak sehingga tidak sanggup beli ikan," tutur Zulfan.
Selain penumpang lokal seperti Nazar, banyak pula warga dari luar daerah yang menyeberang Jembatan Krueng Tingkeum untuk melanjutkan perjalanan dengan kendaraan umum. Kebanyakan dari mereka adalah penumpang travel dari arah Banda Aceh ataupun Medan.
Mereka berhenti di depan Jembatan Krueng Tingkeum untuk naik perahu penyeberangan. Sesampai di sisi berbeda jembatan tersebut, mereka kembali naik travel dari perusahaan sama yang sudah menunggu.
Ribuan warga Aceh dari arah Banda Aceh dan sebaliknya dari arah Medan menjalani aktivitas itu selama Jembatan Krueng Tingkeum putus. Hal itu terjadi karena Jalan Nasional Banda Aceh-Medan merupakan akses paling sibuk di Aceh.
Juru Bicara Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh Murthalamuddin meminta para penyedia jasa penyeberangan dan angkutan darat, laut, dan udara di Aceh tidak memberlakukan harga yang tidak wajar serta memberatkan masyarakat.
"Kita sedang dirundung bencana, mohon harga yang ditetapkan tidak di atas batas kewajaran dan tidak memberatkan karena ini juga akan menjadi penilaian negatif terhadap penanganan bencana Aceh," ujarnya.
Murthalamuddin menyatakan, keberadaan jasa penyeberangan sungai yang dikelola warga dengan perahu nelayan sejatinya sangat membantu masyarakat. Namun, harga yang dibebankan tetap harus wajar.
Selain itu, dia meminta para penyedia jasa angkutan udara, darat dan laut menetapkan harga pada batas kewajaran. Salah satu tujuannya agar pihak-pihak yang datang untuk membantu korban bencana di Aceh tidak terbebani dengan biaya transportasi yang mahal.
"Kami minta agar ongkos yang diberlakukan tidak berlebihan karena tindakan memberlakukan harga terlalu mahal menodai rasa kemanusian," katanya.
Kita sedang dirundung bencana, mohon harga yang ditetapkan tidak di atas batas kewajaran dan tidak memberatkan karena ini juga akan menjadi penilaian negatif terhadap penanganan bencana Aceh
Terakhir, Murthalamuddin mengajak semua pihak untuk bahu-membahu membantu proses penanganan bencana. Dia pun meminta para pemilik sewa mobil tetap memberlakukan harga wajar dan tidak berlebihan terutama bagi lembaga dan berbagai pihak yang terlibat dalam proses penanganan bencana.
"Hari ini, semua pihak membantu Aceh yang luluh lantak akibat banjir dan tanah longsor, mari kita sama-sama mendukung, termasuk memberikan harga dengan sewajarnya," tutur Murthalamuddin.


:quality(80):format(jpeg)/posts/2025-12/11/featured-addbfcb1f94be6def19e301e3985c9e0_1765432056-b.jpg)
