jpnn.com, JAKARTA - Pelarangan truk sumbu 3 untuk beroperasi pada libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 berpotensi akan berdampak signifikan terhadap sopir-sopir truk.
Mereka bisa kehilangan pendapatan selama periode larangan berlangsung dan mengalami tekanan untuk menyelesaikan pengiriman sebelum atau sesudah masa larangan.
Ketua Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT), Angga Firdiansyah mengatakan kebijakan pelarangan beroperasinya truk sumbu 3 saat Nataru nanti jelas sangat merugikan bagi para sopir.
BACA JUGA: Industri Semen Minta Pemerintah Tak Larang Truk Sumbu 3 Beroperasi Saat Nataru
Hal itu mengingat hilangnya pendapatan selama periode larangan tersebut berlangsung. Apalagi, menurutnya, jika pelarangan itu diberlakukan dalam waktu yang cukup lama.
“Karena banyak sopir yang mengandalkan perjalanan rutin untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan larangan ini jelas mengganggu stabilitas keuangan kami para sopir,” ujarnya.
Tidak itu saja, menurutnya, pelarangan terhadap beroperasinya truk sumbu 3 itu juga mempersulit para sopir untuk membayar angsuran kendaraan kepada perusahaan leasing.
BACA JUGA: Pengusaha Ritel Minta Tak Ada Pembatasan Operasional Truk Sumbu 3 Saat Libur Maulid Nabi
Karena, dia mengutarakan sebanyak 95 persen sopir yang tergabung di GSJT masih mengangsur kendaraan ke leasing.
“Karena sopir di kita itu bukan sopir perusahaan tapi langsung yang memiliki truknya. Jadi, kalau kita dilarang narik saat Nataru nanti apalagi waktunya agak lama, maka penghasilan kita jadi berkurang dan akan menyulitkan kita membayar angsuran,” tuturnya.
Jadi, dia menegaskan jika kebijakan pelarangan truk sumbu 3 saat Nataru nanti jelas merugikan para sopir.
BACA JUGA: ALFI: Pembatasan Operasional Truk Sumbu 3 Saat Libur Maulid Nabi Hambat Kelancaran Distribusi Barang
Karenanya, dia berharap pelarangan itu diberlakukan minimal pada H-2 dari Natal dan pada 26 Desember bisa kerja lagi sampai H-2 Tahun Baru Baru, dan pada 3 Januari bisa beraktivitas normal.
“Jadi, waktu pelarangan saat Nataru nanti tidak terlalu lama seperti yang dilakukan saat libur Lebaran lalu yang membuat kami terpaksa berteriak dan turun aksi ke jalan,” ucapnya.
Selain itu, lanjutnya, kebijakan pelarangan itu juga membuat sopir seringkali harus betul-betul mengatur lagi jadwal pengiriman mereka, karena harus mempercepat perjalanan sebelum pelarangan atau menunda hingga larangan dicabut.
“Hal ini menciptakan tekanan kerja yang tinggi dan jadwal yang tidak menentu,” katanya.
Karena itu, menurutnya, sopir juga harus diberikan pengecualian untuk posisi yang arah balik. Misal dari pengiriman ke Jakarta atau ke Bali itu arah baliknya harus ditoleransi.
“Karena biasanya teman-teman kan ngejar bongkaran supaya tidak terjebak liburan. Setelah bongkaran itu langsung balik pulang pas dilakukan pelarangan. Nah, kami meminta agar saat balik itu kami diberikan toleransi agar bisa pulang. Karena kalau tidak, para sopir itu akan terjebak di jalan dan tidak bisa pulang,” tukasnya.
Ketua Asosiasi Sopir Logistik Indonesia, Slamet Barokah juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, para sopir juga harus memikirkan kelangsungan hidup keluarga mereka. Apalagi menurutnya, biaya hidup sehari-hari untuk makan saja saat ini sangat mahal. Belum lagi biaya angsuran kendaraan yang harus dibayar para sopir setiap bulan.
“Apakah pemerintah mau memberi makan keluarga para sopir dan membayar angsuran mereka yang terpaksa tidak bisa bekerja hanya karena dilarang menarik truk sumbu 3 saat libur Nataru nanti. Apalagi kalau pelarangan itu waktunya sangat lama,” ucapnya.
Koordinator Pengemudi Wilayah Jawa Timur dan Lombok dari Aliansi Perjuangan Pengemudi Nusantara (APPN), Vallery Gabrielia Mahodim alias Inces berharap agar pemerintah memikirkan nasib mereka juga sebelum mengeluarkan kebijakan pelarangan saat Nataru nanti. Menurutnya, jika peraturan tersebut dilakukan otomatis para sopir itu akan menganggur dan tidak memperoleh penghasilan sama sekali.
“Jika kami yang membawa truk logistik sumbu tiga dilarang beroperasi saat Nataru nanti, jelas kami akan jadi pengangguran. Keluarga kami kan juga butuh makan. Jadi, tolong pikirkan nasib kami juga,” ujarnya.
Menurutnya, dengan adanya pelarangan truk barang sumbu tiga beroperasi saat Nataru nanti, pemerintah sama saja mematikan mata pencaharian mereka yang belum tentu bisa mereka dapatkan setiap hari. “Apalagi momen Nataru itu justru kesempatan bagi kami para sopir untuk bisa menambah penghasilan lebih,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Dani, salah satu koordinator sopir truk wilayah Jawa Barat. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah seharusnya juga mempertimbangkan dampaknya terhadap nasib para sopir truk logistik sebelum membuat aturan pelarangan terhadap truk sumbu tiga saat Nataru nanti.
“Pemerintah mau tidak memberikan kompensasi sebagai ganti rugi terhadap sopir yang berhenti kerja jika peraturan itu diterapkan. Sebab, kalau kami libur, keluarga kami mau dikasih makan apa? Apalagi saat Nataru itu biasanya kesempatan bagi kami para sopir untuk mendapatkan penghasilan lebih,” tuturnya.
Jadi, katanya, jika mau membuat peraturan, pemerintah seharusnya juga melihat dampak-dampak yang ditimbulkan dari peraturan tersebut terhadap masyarakat. “Jangan seenaknya membuat peraturan sementara ada pihak-pihak yang dirugikan seperti kami ini,” katanya.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean



