Penulis: Ricardo Julio
TVRINews, Jakarta
Badai Siklon Tropis Senyar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memicu hujan ekstrem, banjir, dan angin kencang di berbagai wilayah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 10 Desember menyampaikan bahwa 969 orang meninggal dunia dan 262 orang dinyatakan hilang akibat bencana tersebut.
Badai ini merupakan satu dari dua tropical cyclone yang terbentuk di utara Indonesia. Fenomena tersebut menegaskan bahwa Indonesia berada pada jalur risiko hidrometeorologi yang kompleks dan membutuhkan mitigasi berbasis data ilmiah serta tata kelola ruang yang adaptif.
Menyikapi hal tersebut lembaga think tank independen Indonesia, Prasasti Center for Policy Studies menegaskan bahwa siklon tropis di wilayah utara Indonesia harus dipahami secara ilmiah dan historis.
“Jika kita melihat data lintasan badai selama 150 tahun, Sumatera bagian utara hingga Selat Malaka memang pernah dilintasi tropical storm. Ini menunjukkan bahwa fenomena seperti ini bukan anomali tunggal, melainkan bagian dari return period alam yang dapat berulang setiap beberapa puluh tahun,” ujar Board of Experts Prasasti Center for Policy Studies, Arcandra Tahar dalam keterangan yang diterima 11 Desember 2025.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan skala Saffir–Simpson, kejadian ini termasuk dalam kategori tropical storm.
“Kecepatan anginnya berada di kisaran 35 sampai 40 mph. Lebih kuat daripada tropical depression, tetapi belum mencapai kategori typhoon atau hurricane,” jelasnya.
Arcandra juga menilai bahwa perencanaan infrastruktur harus menyesuaikan risiko terbaru.
“Untuk memitigasi bencana dalam kondisi ekstrem, analisa meteorologi dan oseanografi dengan return period 100 tahun kita gunakan untuk mendesain bangunan laut dan pantai. Siklon tropis baru-baru ini mengingatkan kita bahwa ketangguhan infrastruktur, tata ruang, dan protokol tanggap darurat harus diperkuat di semua tingkatan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa perubahan iklim bukan satu-satunya faktor yang menentukan dampak bencana. Namun kerentanan DAS, degradasi hutan, dan konversi lahan sangat mempengaruhi besarnya dampak. Negara seperti Jepang, Taiwan, Cina, dan Filipina membuktikan bahwa disiplin tata ruang dan konservasi lingkungan sama pentingnya dengan teknologi meteorologi.
Executive Director Prasasti, Nila Marita, menilai bahwa Indonesia telah memasuki era risiko baru. Yakni Indonesia punya fondasi sistem peringatan dini yang kuat melalui BMKG, dan langkah berikutnya adalah memastikan data ilmiah, tata ruang, infrastruktur, komunikasi krisis, dan kesiapsiagaan daerah berjalan dalam satu kesatuan.
Nila juga menyoroti pentingnya komunikasi krisis yang lebih adaptif. “Informasi teknis dari BMKG harus diterjemahkan menjadi pesan operasional yang mudah dipahami masyarakat. Ketika terjadi bencana, kecepatan dan keselarasan pesan antar kementerian dan pemerintah daerah sangat menentukan efektivitas respons,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penguatan Crisis Communication Center perlu dipercepat. Pasalnya efektivitas pusat komunikasi dapat meminimalkan simpang siur data, memperkuat koordinasi antarinstansi, dan mengurangi potensi disinformasi.
Prasasti menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat ketahanan nasional, yaitu:
1. Mengadopsi teknologi pemantauan dan pemodelan badai seperti yang digunakan di Amerika Serikat.
2. Memperkuat integrasi data meteorologi dengan tata ruang dan perencanaan pembangunan.
3. Meninjau standar desain infrastruktur berdasarkan skenario ekstrem.
4. Menyelaraskan protokol komunikasi krisis lintas kementerian/lembaga serta memperkuat Crisis Communication Center di lokasi bencana.
5. Mendorong mitigasi berbasis ekosistem dan masyarakat melalui rehabilitasi DAS, restorasi pesisir, dan perlindungan hutan.
6. Memperluas dukungan bagi pemerintah daerah dalam menindaklanjuti peringatan dini hingga simulasi kesiapsiagaan komunitas.
Editor: Redaksi TVRINews


