Bisnis.com, JAKARTA — Permintaan dan penerbitan kredit karbon sukarela pada November 2025 melanjutkan tren penurunan ketika negara-negara di dunia justru menyepakati sejumlah kemajuan untuk pasar karbon dalam konferensi perubahan iklim COP30 di Belem, Brasil.
Laporan yang diterbitkan BloombergNEF menunjukkan bahwa penerbitan (issuance) kredit karbon pada November 2025 hanya mencapai 15 juta ton setara karbon dioksida (CO₂e), turun 18% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
“Konsekuensinya, total penerbitan kumulatif sepanjang 2025 baru mencapai 188,9 juta, masih jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu ketika mencapai 207 juta kredit,” tulis BNEF.
Sejumlah proyek utama yang terbit sepanjang bulan lalu tercatat di American Carbon Registry. Sektor fugitive emissions mendominasi pasokan bulanan dengan porsi 34%, disusul oleh sektor permintaan energi sebesar 20%. Sementara itu, pasokan kredit dari pembangkit energi anjlok hingga separuhnya menjadi hanya 1,7 juta.
“Hal ini mencerminkan lemahnya sentimen permintaan dan koreksi pasar menuju pengurangan emisi berkualitas tinggi,” ungkap laporan tersebut.
AS kembali menjadi pasar terbesar dengan penerbitan mencapai 7,45 juta kredit, dengan sumber dari proyek kehutanan, pertanian, dan industri. Prancis untuk pertama kalinya muncul sebagai pemasok utama dengan proyek fugitive emissions sebesar 650.000 kredit.
Sementara itu, pemakaian (retirement) kredit karbon pada November hanya mencapai 6,5 juta, merosot 40% dibandingkan bulan sebelumnya. Dengan demikian, akumulasi kredit karbon yang dipakai atau dibeli sepanjang 2025 baru mencapai 125 juta, turun 15% dari periode yang sama tahun lalu yang menembus 147 juta ton CO₂e.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan volume pemakaian kredit terbesar sepanjang November 2025, yakni di peringkat kedua setelah AS. Selama bulan tersebut, volume kredit karbon yang dipakai berjumlah 870.000 di mana 85% di antaranya berasal dari proyek pembangkit energi, 11% dari reforestasi dan REDD+ sebesar 4%.
BNEF mencatat bahwa kredit dari sektor pembangkit energi menjadi yang paling diminati dengan kontribusi pada pemakaian bulanan sebesar 40%. Sebaliknya, penggunaan kredit karbon dari proyek berbasis REDD+ turun 45% dibandingkan Oktober, dengan volume hanya mencapai 1,2 juta atau sekitar seperlima dari total retirement bulanan.
Di pasar over-the-counter, harga kredit karbon relatif stagnan pada November dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kredit berbasis alam (nature-based removals) dari proyek blue carbon dan reforestasi tetap menjadi yang termahal, dengan harga rata-rata masing-masing US$23,6/ton dan US$11,36/ton. Harga kredit berlabel CCP terus naik sejak Juni, mencapai US$3,5/ton pada November, meningkat 78% sejak pertengahan tahun.
Hasil Negosiasi COPDi tengah perkembangan pasar yang tetap lesu, COP30 justru mencatat kemajuan dalam membangun pasar karbon global di bawah Pasal 6.4 Perjanjian Paris. Para pihak menyetujui standar kelayakan untuk kredit PBB, meski tingkat ketatnya bervariasi.
BloombergNEF menyebutkan bahwa negosiasi sempat terhenti akibat kekhawatiran pendanaan, tetapi akhirnya diatasi dengan mengalihkan sumber daya dari mekanisme lama Clean Development Mechanism (CDM) ke kelompok kerja Pasal 6.
Meski demikian, kesepakatan tersebut akan membuat tenggat waktu pengajuan kredit CDM untuk dipindahkan ke Pasal 6 diperpanjang. BNEF menilai hal ini berisiko memicu kelebihan pasokan dan berpotensi menurunkan integritas lingkungan dari mekanisme baru tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup sebelumnya menyebutkan bahwa Indonesia telah mengambil inisiatif awal dalam penerapan pasar karbon internasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 Perjanjian Paris.
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Kementerian Lingkungan Hidup, Ary Sudijanto mengemukakan pembahasan Pasal 6 Perjanjian Paris di COP30 di Belem, Brasil menghasilkan kesepakatan resmi yang positif. Salah satunya adalah mengenai pencatatan internasional (international registry) yang kini dinyatakan selesai.
“Para pihak menyepakati operasionalisasi dari ketentuan-ketentuan yang sebelumnya telah dirumuskan di Baku. Namun, Indonesia sebenarnya telah mengambil inisiatif lebih awal untuk menerapkannya,” kata Ary.
Dia memberi contoh pada penandatanganan Framework Agreement antara PT PLN (Persero) dan Global Green Growth Institute (GGGI), di bawah payung kerja sama bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia. Melalui perjanjian ini, Indonesia akan menyalurkan hasil mitigasi emisi sebesar 12 juta ton setara karbon dioksida (CO₂e) dari proyek energi terbarukan.
Penandatanganan tersebut menjadi bagian dari implementasi Generation-Based Incentive (GBI) Programme dan merupakan tindak lanjut konkret dari kerja sama Indonesia-Norwegia yang telah disepakati antara Kementerian Lingkungan Hidup bersama dengan Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia.
Penandatanganan Framework Agreement PLN-GGGI menjadi tonggak penting menuju kesepakatan Mitigation Outcome Purchase Agreement (MOPA) yang dijadwalkan akan ditandatangani pada akhir Desember 2025.
Implementasi MOPA ini akan menjadikan Indonesia negara pertama di dunia yang menjalankan perdagangan karbon internasional berbasis Article 6.2 Perjanjian Paris, sekaligus memperluas mekanisme pasar karbon nasional menuju sektor teknologi energi bersih. Selama ini, kerja sama bilateral Indonesia-Norwegia berfokus pada sektor Nature-Based Solutions (NBS) melalui skema Result-Based Contribution (RBC) Norwegia yang telah memberikan kontribusi hingga US$260 juta bagi kinerja pengelolaan hutan Indonesia.
“Hal ini menjadi poin penting bagi Indonesia karena kita dapat menunjukkan bahwa ketentuan yang sebelumnya disepakati di Baku sudah dapat diaplikasikan secara nyata,” lanjut Ary.
Meski kesepakatan tersebut bersifat bilateral, Ary menjelaskan bahwa perdagangan karbon Indonesia dan Norwegia menggunakan dasar yang dibangun melalui proses multilateral. Dengan demikian, Indonesia dapat menunjukkan bahwa operasionalisasi Article 6, meskipun baru tercapai hampir sepuluh tahun setelah Paris Agreement 2015, sudah dapat dilaksanakan secara konkret di lapangan.



