jpnn.com, JAKARTA - Rumah Mediasi Indonesia (RMI) menggelar diskusi publik dan media bertema “Menelisik Program Pemerintah Prabowo: Perspektif Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”. Diskusi yang digelar di Hotel Akmani, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/12) itu dalam rangka peringatan Hari HAM Internasional.
Forum itu menyoroti berbagai program unggulan Presiden Prabowo dalam kaitannya dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
BACA JUGA: Menelisik 10 Tahun Terakhir Perjuangan Menjaga Indonesia dari Penyelundupan Narkoba
Para peserta memberikan apresiasi terhadap keinginan luhur Presiden Prabowo Subianto melalui Asta Cita yang relevan dan dinilai memiliki nuansa HAM yang kuat.
Selain itu, forum ini juga memberi berbagai catatan terkait langkah yang harus diambil oleh Pemerintah untuk memperbaiki tata kelola lingkungan agar hak-hak dasar masyarakat terlindungi
BACA JUGA: LSAK Desak KPK Aktif Menyelisik Dugaan Korupsi Bansos DKI
Direktur Eksekutif RMI Ifdhal Kasim menyampaikan sejarah bagaimana konsep HAM diturunkan oleh PBB sebagai ukuran pencapaian peradaban suatu negara.
“Dalam perkembangannya ada dua kovenan utama di PBB yaitu terkait Hak Sipil dan Politik (Sipol) serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob),” kata dia dalam siaran persnya, Kamis (11/12).
BACA JUGA: Dari Pakistan, Prabowo Kunjungi Rusia untuk Bertemu Vladimir Putin
Ada interdependensi antara keduanya, karena tidak mungkin bicara hak-hak politik tanpa melalui pemenuhan hak-hak ekonomi. Jika dikaitkan dengan pemerintahan Prabowo, banyak program pemerintah saat ini yang sebenarnya sangat pro-rakyat seperti MBG, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih, namun belum dilihat oleh publik sebagai bagian dari pemenuhan HAM.
Oleh karena itu, diskusi semacam ini diperlukan untuk mengkritisi program-program pemerintah, sambil memberi pemahaman yang lebih luas kepada publik agar tidak hanya fokus pada isu hak sipil dan politik, namun juga dari sisi Ekosob. Dengan demikian, bisa adanya peningkatan secara progresif (perlahan) dalam upaya pemenuhan HAM oleh pemerintah.
Ahli ekosob Muhammad Anshor menyampaikan bahwa sekitar 80 persen program Prabowo itu berkaitan dengan hak Ekosob, namun kelompok masyarakat cenderung mengkritisi dari sisi negatif. “Hal ini wajar karena sebagian besar publik memang tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang konsep-konsep HAM,” kata dia.
Oleh karena itu, diskusi seperti ini diharapkan dapat mengarus utamakan hak-hak Ekosob dalam perumusan kebijakan publik dan berkembang menjadi sebuah gerakan.
Di sisi lain, pemerintah masih cenderung menggunakan pendekatan teknokratis yang menekankan efisiensi, angka, dan capaian indikator makro, namun kurang menempatkan perspektif HAM sebagai dasar analisis maupun perumusan kebijakan.
Program-program pemerintah untuk pemenuhan Hak Ekosob seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, Program Magang, Sekolah Rakyat, Sumah Subsidi, Cek Kesehatan Gratis, dan lain-lain perlu dielaborasi sebagai bentuk pemenuhan terhadap Hak-Hak Ekosob.
M. Ridha Saleh (Aktivis Lingkungan, Wakil Ketua Komnas HAM 2006 – 2012) menyampaikan program MBG dan sekolah rakyat harus diapresiasi karena hal ini menunjukan ada tindakan yang memaksa dari negara untuk memenuhi hak-hak dasar.
Namun program-program strategis tersebut belum dibahasakan sebagai bentuk pemenuhan hak fundamental. Di sisi lain, negara juga wajib memastikan adanya pemenuhan minimum core obligations yang tidak boleh ditunda, terutama dalam konteks krisis ekologi dan ancaman terhadap kehidupan dasar warga.
Roichatul Aswidah (Wakil Ketua Komnas HAM 2012-2017) menyampaikan bahwa Hak Ekosob sering dianggap kelas dua jika dibandingkan dengan Hak Sipol, padahal keduanya interdependent dan sama pentingnya dengan hak sipil-politik.
Dia juga mengakui program Presiden Prabowo yakni Asta Cita, 17 program prioritas, dan 8 PHTC telah mengandung dimensi hak Ekosob, seperti program MBG telah mengakomodir hak atas pangan dan kesehatan; sekolah rakyat yang mengakomodir hak atas pendidikan; dan program rumah subsidi yang mengakomodir hak atas perumahan.
Meskipun demikian, kritik-kritik yang membangun juga diperlukan untuk mendukung program tersebut. Salah satunya terkait narasi pemerintah yang masih cenderung bersifat teknokratis, bukan berbasis HAM.
Robertus Robet (Rektor UNJ, aktivis HAM Senior) menyampaikan bahwa salah satu hal yang fundamental dalam diskusi ini adalah bagaimana kebijakan pemerintah dalam tata kelola serta penataan kembali industri pertambangan dan perkebunan sawit.
Tentu ada beberapa persoalan dalam implementasinya, namun jika manajemennya bisa dibuat lebih akuntabel, bisa memberikan perubahan yang cukup signifikan bukan hanya dari sisi ekonomi namun juga keadilan ekologis. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ismahi Gelar Diskusi Publik Tentang Dominus Litis Dalam RUU KUHAP
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5234789/original/061815800_1748401343-heitinga.jpg)