Angin panas berembus dari arah sungai, membawa aroma lumpur yang mulai mengering. Debu-debu tipis beterbangan, menyelip di antara napas para pengungsi yang sejak beberapa hari terakhir bertahan di tenda-tenda darurat.
Aceh Tamiang, yang baru saja digulung banjir dan tanah longsor, belum benar-benar pulih. Di sudut-sudut jalan, lumpur setengah kering menempel di trotoar, sementara kayu gelondongan yang terseret banjir masih menumpuk di bawah jembatan.
Jejak air bah itu tampak seperti luka yang belum sempat dibersihkan.
Di Desa Sukajadi, Kecamatan Karang Baru, Kamis (11/12), deretan tenda putih dan oranye berdiri memanjang di sisi jembatan Kuala Simpang. Para pengungsi keluar masuk, mencari udara, istirahat, atau sekadar menenangkan diri.
Truk-truk air bersih berjajar, menyalurkan sedikit rasa aman bagi warga yang selama berhari-hari hidup tanpa kepastian. Beberapa meter dari sana, dapur umum TNI dan Polri berupaya memenuhi kebutuhan makan.
Namun, tidak semua duka terlihat dari permukaan. Di sebuah tenda pengungsian, seorang ibu muda, Sri Novita Rizki (20), duduk sambil menggendong bayinya, Aira Zahra Khalila Nasution.
Wajahnya pucat, sesekali ia menepuk-nepuk tubuh kecil yang meringkuk di lengannya. Sri menyebut putri pertamanya itu lahir 2 hari sebelum banjir menggulung rumahnya.
"[Lahir] Iya, pas banjir. Dia lahir tanggal 18, 18 bulan 1," kata Sri.
Ia bercerita bagaimana dua hari setelah melahirkan, air mulai naik hingga selutut. Dalam kondisi nifas, ia mengangkat tubuh mungil itu setinggi-tingginya, berjuang keluar dari rumah yang terendam air.
"Gimana ya, kan bawa bayi kan menyelamatkan bayi aja lah bisa menyelamatkan semuanya," katanya.
Namun perjalanan itu tak berakhir di sana. Selama beberapa hari awal, mereka terputus jalur bantuan. Tidak ada susu, tidak ada air bersih. Bahkan, Sri terpaksa harus memberikan anaknya air tajin sebagai pengganti susu.
"Gimana ya? Enggak ada air susu, netein gak ada netelah dia kasih air tajin karena gak ada susu. Karena enggak ada susu, enggak ada yang minum," jelas Sri.
Suaminya pun terjebak, tak dapat keluar untuk mencari bantuan.Akhirnya, sang ibu dan keluarganya mengungsi ke sebuah ruko di dekat kantor bupati, sebuah tempat yang lebih tinggi. Namun tempat itu pun tak membawa ketenangan.
"Itulah kejebak di sini gak bisa keluar. Kami di Jotun, samping Jotun ruko kan, karena anak kecil," terang dia.
Di sisi lain, Ibunda Sri, Suhaibah (38) menceritakan sisi lain dari perjuangan keluarga mereka. Dengan suara serak dan langkah yang sedikit gemetar, ia mengenang saat-saat gelap itu. Air yang awalnya hanya naik biasa, berubah menjadi bah setinggi pinggang dalam hitungan jam. Mereka naik ke lantai atas ruko Jotun, bertahan selama lima hari di sana.
"3 hari kami nggak makan," katanya lirih.
Suhaibah bercerita, bayi kecil yang baru lahir itu menangis tanpa henti, tak ada susu, tak ada air bersih. Dalam keadaan terdesak, mereka mengambil keputusan untuk berenang mencari bantuan cucu pertama yang dinantikan sejak lama itu bisa bertahan hidup.
"Jadi kami nekat-nekatlah berenang. Ini kakak dia kakak si adik yang melahirkan, ini kakaknya kami nekat berenang. Kami berenang naik-naik atap oranglah semua gitu kan," kata Suhaibah.
Mereka melewati semak-semak, berpegangan pada pohon, melawan arus yang deras. Sesekali mereka berhenti di pengungsian orang, meminta sekadar bubur lembek atau air tajin untuk menyelamatkan tiga keluarga. Makanan itu pun dibawa kembali ke ruko tempat bayi mereka menunggu dengan dibungkus plastik, disangkutkan di pinggang, lalu dibawa berenang kembali.
"Bawanya dimasukin plastik semua, di double-double plastiknya. Kami ikat di leher atau di pinggang. Nanti saya duluan berenang. Habis itu dia lempar makanan itu tadi, pakai tali nanti saya tarik," imbuh dia.
Di luar tenda, suara air truk bersih yang menyembur terdengar seperti hiburan sementara. Anak-anak berlari tipis melewati lumpur yang mulai keras. Namun kisah-kisah di bawah kain tenda itu jauh lebih pekat dari yang tampak.
Di Aceh Tamiang, luka itu masih basah. Lumpur mungkin akan mengering, kayu-kayu akan dipindahkan, jembatan akan dibersihkan. Tetapi trauma para pengungsi, terutama para ibu dan anak, akan tinggal jauh lebih lama dari sisa air yang surut.
Dan di tengah tenda-tenda itu, tangis bayi kecil masih terdengar.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5408219/original/084871800_1762766172-Menteri_ESDM_Bahlil_Lahadalia-2.jpg)



