Bisnis.com, JAKARTA — Selama empat dekade terakhir, Indonesia memperlihatkan paradoks klasik negara berkembang yang menjadikan sumber daya alam sebagai tumpuan: pertumbuhan ekonomi yang impresif dibangun di atas erosi ekologis skala masif.
Deforestasi yang baru menjadi isu publik sejak awal 1970-an ketika penebangan komersial dibuka dalam skala besar telah berkembang menjadi proses struktural yang ditopang oleh konfigurasi politik, ekonomi, dan kelembagaan yang saling menguatkan.
Data historis menunjukkan bahwa hilangnya tutupan hutan Indonesia bukan sekadar konsekuensi dari ekspansi industri. Laporan dalam beberapa dekade yang dirilis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan hasil dari tata kelola yang korup, perizinan yang permisif, dan model akumulasi yang melihat hutan sebagai stok untuk diekstraksi, bukan ekosistem untuk dijaga.
Lonjakan Deforestasi 1980–1997Mengutip laporan FWI dan Global Forest Watch, tutupan hutan Indonesia pada 1985 yang mengacu pada survei RePPProT adalah sebesar 119 juta hektare. Luas ini merefleksikan penurunan sebesar 27% dibandingkan dengan 1950.
Laju deforestasi pada 1970-an hingga awal 1990-an diperkirakan antara 0,6–1,2 juta hektare per tahun. Namun pemetaan tutupan hutan 1999 oleh Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia mengungkap gambaran yang jauh lebih suram, deforestasi pada 1985–1997 diperkirakan mencapai rata-rata 1,7 juta hektare per tahun, dengan total kehilangan lebih dari 20 juta hektare atau sekitar 17% hutan 1985. Sulawesi, Sumatra, dan Kalimantan kehilangan lebih dari 20% tutupan hutan mereka.
Jika klasifikasi hutan mengecualikan perkebunan, laju deforestasi periode ini bahkan dapat mencapai 2,2 juta hektare per tahun. Analisis Bank Dunia menunjukkan percepatan tajam setelah 1996, naik menjadi lebih dari 2 juta hektare per tahun.
Kebakaran masif 1997–1998, krisis ekonomi, serta runtuhnya kewenangan politik memperdalam laju kehilangan hutan dan memperlihatkan kerentanan struktural tata kelola kehutanan Indonesia saat itu.
Hilangnya tutupan hutan Indonesia selama periode ini tak terlepas dari pemberian konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) dalam skala luas selama Orde Baru. Meski izin diberikan untuk skema tebang pilih, lemahnya pengawasan membuat banyak perusahaan melanggar hak adat dan mengeksploitasi hutan hingga terdegradasi.
Data yang dihimpun FWI dan GFW menunjukkan hampir 30% konsesi HPH yang disurvei telah berada dalam kondisi terdegradasi, sehingga membuka pintu bagi konversi ke hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan melalui mekanisme legal yang direkayasa.
Sekitar 9 juta hektare dialokasikan untuk HTI, hanya 2 juta hektare yang benar-benar ditanami. Sisanya, 7 juta hektare, berubah menjadi lanskap terbuka yang rentan terbakar dan tidak produktif.
Bersamaan dengan itu, lonjakan perkebunan kelapa sawit menghasilkan pembukaan hampir 7 juta hektare hingga 1997, tetapi yang benar-benar dikonversi hanya 2,6 juta hektare. Sekitar 3 juta hektare bekas hutan kemudian dibiarkan terlantar.
Illegal logging turut memperburuk kerusakan. Antara 50–70% pasokan kayu ke industri dipenuhi dari pembalakan ilegal dengan jumlah hutan rusak diperkirakan sekitar 10 juta hektare. Dengan produksi legal yang tidak mencukupi kebutuhan industri, mekanisme ilegal ini berkembang menjadi komponen inti rantai pasok kehutanan nasional.
Kebakaran menjadi pemicu deforestasi paling destruktif selanjutnya. Pada 1994, lebih dari 5 juta hektare hutan terbakar, disusul 4,6 juta hektare pada 1997–1998. Sebagian lahan terbakar ini kemudian berubah menjadi semak belukar, sebagian kecil dikelola petani, dan hampir tidak ada upaya restorasi sistematis.
Periode 2000–2009: Intensifikasi dalam Izin dan Produksi KayuPada 2009, tutupan hutan Indonesia tersisa 88,17 juta hektare atau 46,33% daratan nasional. Papua menyumbang 38,72% dari total tutupan hutan tersebut. Dalam satu dekade (2000–2009), deforestasi mencapai 15,16 juta hektare, dengan Kalimantan menyumbang hilangnya tutupan hutan terbesar di angka 36,32% atau 5,50 juta hektare.
Berdasarkan kategori, deforestasi terbesar terjadi di Areal Penggunaan Lain (APL), dengan luas mencapai 4,34 juta hektare. Hutan lindung menyusul dengan angka hilangnya tutupan hutan sebesar 2,01 juta hektare dan kawasan konservasi sebesar 1,27 juta hektare.
Sementara itu, konsesi HTI meningkat dari 9 unit pada 1995 menjadi 229 unit 2009. Kemudian luas areal kerja naik dari 1,13 juta hektare menjadi 9,97 juta hektare.
Seiring dengan perkembangan ini, produksi kayu hutan tanaman melonjak dari 7,32 juta meter kubik (m³) pada 2004 menjadi 22,32 juta m³ pada 2008.
Periode 2009–2013: Kerusakan Lahan GambutAnalisis Forest Watch Indonesia menunjukkan kehilangan tutupan hutan alam sekitar 4,50 juta hektare dalam 2009–2013, dengan laju 1,13 juta hektare per tahun. Provinsi dengan kehilangan terbesar adalah Riau (690.000 hektare), Kalimantan Tengah (619.000 hektare), Papua (490.000 hektare), Kalimantan Timur (448.000 hektare), dan Kalimantan Barat (426.000 hektare).
Hilangnya tutupan di lahan gambut memperlihatkan tren yang lebih buruk selama periode ini. Dalam kurun empat tahun, 1,1 juta hektare hilang, di mana Provinsi Riau menyumbang kehilangan lahan gambut terbesar dengan luas 500.000 hektare.
Kawasan produksi menyumbang deforestasi tertinggi (1,28 juta hektare), diikuti APL dan HPK. Lebih dari 2,3 juta hektare kehilangan tutupan hutan terjadi di wilayah berizin, sementara 2,2 juta hektare terjadi di luar izin formal.
Sampai 2013, terdapat 22,8 juta hektare kawasan produksi berada di bawah 272 unit HPH berizin, tetapi hanya 115 yang aktif.
2014–kini, Nestapa Hilangnya Tutupan Hutan RISatu dekade terakhir memperlihatkan bagaimana akumulasi kehilangan tutupan hutan sejak 1980-an telah menciptakan risiko ekologis yang berulang dan makin intens.
Kebakaran hutan dan lahan 2015 menjadi salah satu yang terburuk sepanjang sejarah, dengan total area terbakar mencapai lebih dari 2,61 juta hektare berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kajian World Bank menyatakan bahwa krisis asap 2015 tersebut menimbulkan kerugian ekonomi lebih dari US$16,1 miliar. Angka ini lebih besar daripada kerugian gabungan akibat gempa Yogyakarta 2006 dan tsunami Mentawai 2010. Kebakaran kembali melonjak pada 2019 dengan area terbakar menembus lebih dari 1,6 juta hektare.
Efek akumulatif dari hilangnya hutan juga tampak dalam meningkatnya risiko banjir bandang dan longsor di Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Laporan BNPB dalam Data Informasi Bencana Indonesia yang dirilis pada 2024 memperlihatkan bahwa bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrem selalu mendominasi kejadian bencana pada 2014–2023.
Sebagai contoh, banjir yang melanda Kalimantan Selatan pada 2021 dan menenggelamkan 11 kabupaten turut dikaitan oleh para peneliti dengan penurunan luas tutupan hutan lebih dari 62% dalam 30 tahun terakhir.
Fenomena serupa kembali terulang dalam bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat pada akhir November 2025.
Data yang dihimpun Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa total lahan kritis di areal daerah aliran sungai (DAS) terdampak di tiga provinsi menembus 464.598 hektare. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan penanganan lahan kritis di kawasan hutan akan mengandalkan skema reboisasi, sementara skema Kebun Bibit Rakyat (KBR) dipakai pada areal penggunaan lain (APL).
Raja Juli juga menyebut bahwa tingkat deforestasi di ketiga provinsi terdampak banjir di Sumatra pada 2025 mengalami penurunan jika dibandingkan pada 2024.
Raja Juli mengatakan tingkat deforestasi nasional mencapai 166.450 hektare per September 2025, turun 23,01% dibandingkan dengan 2024 yang mencakup areal seluas 216.216 hektare.
"Penurunan deforestasi tersebut juga teridentifikasi pada tiga provinsi terdampak banjir," kata Raja Juli Antoni.
Untuk wilayah Aceh, terjadi penurunan 10,04% dari 11.228 hektare pada 2023–2024 menjadi 10.100 hektare pada periode 2024 sampai September 2025.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Sumatra Utara yang mengalami penurunan 13,98% dari 7.141 menjadi 6.142 hektare. Sedangkan di Sumatra Barat turun 14% dari 6.634 menjadi 5.705 hektare.
Namun pada saat bersamaan, terjadi perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi nonhutan di wilayah terdampak banjir yang dinaungi puluhan DAS.
Hasil identifikasi menunjukkan setidaknya terdapat 70 titik banjir masuk dalam 31 DAS di Provinsi Aceh dengan luas total 3,05 juta hektare dan menjangkau 15 kabupaten/kota.
Adapun perubahan tutupan lahan di provinsi ini mencapai 21.476 hektare dalam kurun 2019–2024, terdiri dari 12.159 hektare di dalam kawasan hutan dan 9.317 hektare di luar kawasan hutan. Kemenhut juga mengidentifikasi 217.301 hektare kawasan yang masuk dalam kategori lahan kritis atau 7,1% dari total 31 DAS terdampak banjir di Aceh.
Sementara itu di Sumatra Utara, areal terdampak banjir setidaknya mencakup 92 titik yang masuk dalam 13 DAS. Total luas 13 DAS tersebut mencapai 1,40 juta hektare dan meliputi 11 kabupaten/kota.
Dalam kurun 2019–2024, perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi nonhutan di wilayah tersebut mencapai 9.424 hektare, di mana 3.427 hektare berada di dalam kawasan hutan dan sisanya 5.997 hektare berada di luar kawasan hutan.
Khusus di wilayah DAS terdampak di Sumatra Utara, total lahan kritis mencapai 207.482 hektare atau 14,7% dari total luasan.
Di Sumbar, lanjut Raja Juli, terdapat kurang lebih 56 titik banjir yang masuk dalam 13 DAS. Area terdampak dan berstatus lahan kritis mencapai 39.818 hektare atau 7,0% dari total luas DAS yang mencapai 570.235 hektare.
Adapun perubahan tutupan lahan di area ini pada kurun 2019–2024 mencakup 1.444 hektare di dalam kawasan hutan dan 377 hektare di luar kawasan hutan.





