JAKARTA, KOMPAS.com - Esya baru berusia 21 tahun, tetapi ritme hidupnya setiap pagi menyerupai jutaan pekerja urban yang menggantungkan mobilitas pada Kereta Rel Listrik (KRL).
Rutinitasnya dimulai saat matahari belum tinggi, sekitar pukul 06.30 hingga 06.45, ketika ia melangkah keluar dari rumahnya di Depok dan menuju Stasiun Depok Baru.
Saat sebagian orang masih menyiapkan sarapan, ribuan penumpang seperti Esya sudah berebut ruang, waktu, dan kecepatan demi tiba tepat waktu di tempat kerja.
Baca juga: Bunga Selangit, Proses Sekejap: Jerat Bank Keliling yang Masih Diandalkan Warga Jakarta
Hari-hari Esya berlangsung dalam pola yang nyaris tak pernah berubah, yakni mengejar KRL pukul 07.04, kereta baru yang kini menjadi andalannya.
Jika perjalanan pulang-perginya dihitung, sekitar tiga jam hidupnya setiap hari terkunci dalam ritme perjalanan massal itu. Rutinitas yang melelahkan ini tak hanya dialami Esya.
PT KAI Commuter mencatat, rata-rata pengguna Commuter Line Jabodetabek hingga November 2025 mencapai 1.057.359 orang pada hari kerja dan 820.570 orang pada akhir pekan.
Angka tersebut menjadi cermin besarnya ketergantungan masyarakat terhadap moda transportasi ini dan beratnya tantangan yang dihadapi setiap harinya.
Di balik statistik itu, ada tubuh-tubuh yang saling bersenggolan, strategi-strategi kecil untuk mendapatkan tempat terbaik di peron, serta momen-momen yang membuat seseorang tetap bertahan menggunakan KRL meski tensinya terus menguji mental.
Perjuangan Pagi di PeronSetiap pagi, Stasiun Depok Baru menjadi salah satu titik kepadatan tertinggi di lintas Bogor. Tak butuh waktu lama bagi Esya untuk menyadari bahwa ia harus memiliki strategi agar bisa masuk gerbong KRL.
Begitu kereta mendekat, penumpang di peron mulai merapat, bahkan saling mendorong
“Siap-siap tas sudah berada di posisi depan, terus pas pintu sudah terbuka, langsung satset naik ke kereta, karena kalau enggak satset bisa kedorong-dorong (penumpang lain),” kata Esya, Rabu (10/12/2025).
Baca juga: Jatuh Bangun Generasi Sandwich: Menahan Keinginan dan Mimpi demi Keluarga
Sejak adanya kereta baru yang berangkat dari Stasiun Depok Lama, ia merasa sedikit terbantu. Titik awal perjalanan berada satu stasiun sebelum Depok Baru, sehingga gerbong masih relatif longgar ketika sampai di peronnya.
Namun kondisi ini tidak serta-merta mengurangi antrean karena Stasiun Depok Baru tetap menjadi magnet bagi ribuan komuter setiap pagi.
“Sangat ramai apalagi di stasiun Depok Baru dan Pondok Cina, banyak yang naik dari dua stasiun tersebut,” ujarnya.
Kendati demikian, Esya jarang terlambat sampai kantor. Pola kereta barunya cenderung stabil meski ia pernah mengalami kondisi sebaliknya saat sebelum ada kereta baru.
“Pernah juga ada kereta yang anjlok. Jadi perjalanannya terhambat dan waktu tempuhnya jadi lama,” katanya.
Kadang pula terdapat momen kecil dalam kereta yang membuatnya jengkel hampir setiap hari.
“Banyak penumpang yang masih acuh sama kursi prioritas khususnya untuk ibu hamil, ibu hamil sudah minta kursi, bahkan sampe diteriakin juga sama penumpang lainnya tapi yang duduk di kursi kaya pura-pura tidur," tuturnya.
KRL Pilihan RealistisPejuang KRL lainnya, Faisal, menyebut gangguan teknis, antrean kereta di jalur depan, atau rangkaian yang tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan seperti makanan sehari-hari.
Hal itu kadang membuat ritme harian yang sudah terjadwal rapi sering kali berantakan dalam sekejap.
Baca juga: Satu-satunya di Dunia, Bekas Gudang Rempah VOC di Jakut Beralih Jadi Rumah Warga



