Asia Pacific Fiber (POLY) Menanti Restu Purbaya Percepat Restrukturisasi Utang

bisnis.com
9 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, JAKARTA — PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) atau APF tengah menantikan kepastian proses restrukturisasi utang perseroan kepada pemerintah yang mengalami status quo sejak 2005. Percepatan prosesnya kini berada di tangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. 

Direktur Utama APF Ravi Shankar mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Menkeu Purbaya untuk memperoleh dukungan percepatan dan win-win solution dalam penyelesaian restrukturisasi utang perseroan. 

“Rencana perusahaan kalau sudah perbaiki balance sheet kita, bisa ada dapat dukungan perbankan. Satu kita utilisasi kapasitas, kedua ada ekspansi pabrik baru filamen di Kendal, ini terkait restrukturisasi,” kata Ravi saat ditemui di Jakarta, Kamis (11/12/2025). 

Surat permohonan APF disebut telah diterima oleh Menkeu Purbaya dan diberikan disposisi ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Hal ini pun menjadi angin segar. 

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Saat ini, APF masih menunggu tindak lanjut dari pihak DJKN. Meski demikian, pihaknya tetap optimistis bahwa dengan adanya semangat reformasi dari menteri keuangan yang baru, DJKN akan menindaklanjuti secara konkret.

"Dengan adanya perubahan kebijakan yang diambil pemerintah saat ini, kami melihat adanya opportunity agar proses restrukturisasi utang segera selesai," ujarnya. 

Baca Juga

  • Pabrik Tekstil POLY di Karawang Tutup, Gempuran Produk Impor Jadi Biang Kerok
  • Rawan PHK, Produsen Plastik Desak Kepastian BMAD Produk Polypropylene
  • Daftar Pabrik Tutup dan PHK Massal 2025, Terbaru PT Asia Pacific Fibers

Adapun, nilai restrukturisasi utang APF mencapai US$82 juta atau sekitar Rp1,36 triliun (asumsi kurs Rp16.665 per US$). APF yang merupakan produsen serat dan benang poliester terkemuka di Indonesia, memulai restrukturisasi utangnya menyusul krisis ekonomi Asia 1997–1998. 

Saat itu, perusahaan yang kala itu bernama PT Polysindo Eka Perkasa di bawah Texmaco Group, kesulitan memenuhi kewajiban finansial dan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 2005.

Pada 2006, kreditur menyetujui konversi utang tanpa jaminan menjadi saham sebagai langkah awal mengurangi beban utang perusahaan. Beberapa tahun kemudian, pada 2009, perusahaan berekspansi dan memilih rebranding dengan nama APF. Namun demikian, beban utang berjaminan yang lebih besar masih tersisa.

Selama 2010-an, APF berulang kali mengajukan rencana restrukturisasi termasuk opsi debt–equity swap. Namun, negosiasi dengan kreditur besar seperti PT Perusahaan Pengelola Aset dan pemegang obligasi internasional tidak kunjung menemukan titik temu. Restrukturisasi berjalan lambat dan serangkaian usulan belum mendapatkan persetujuan akhir.

Sejak 2021, APF mulai terlibat dalam pembahasan dengan Satgas BLBI dan menyampaikan itikad baik termasuk pembayaran awal untuk memulai pembicaraan restrukturisasi. Hingga 2025, proses penyelesaian utang berjaminan masih berlangsung dan belum tuntas sehingga membatasi akses perusahaan terhadap pembiayaan baru serta menghambat ekspansi kapasitas produksi.

Akibat kondisi tersebut juga, pabrik poliester di Karawang akhirnya ditutup pada 2024 lalu hingga merumahkan 3.000 pekerja. Ravi menjelaskan, akibat berlarut-larutnya lebih dari 20 tahun tanpa kepastian restrukturisasi utang tersebut Perseroan mulai sulit mempertahankan going concern.

Kreditur yang sebelumnya mendukung kelangsungan usaha Perseroan saat ini mulai kehilangan kepercayaannya. Hal itu membuat Perseroan menghentikan operasi pabrik di Karawang dan mengurangi utilisasi pabrik di Kaliwungu jadi tinggal 30%. 

"Kondisi seperti ini sebenarnya menunjukkan industri TPT [tekstil dan produk tekstil] di Indonesia masih menghadapi tantangan berat. Ini menjadi alarm bagi pemerintah bahwa restrukturisasi bisnis dan keuangan di sektor TPT ini mendesak diselesaikan," terangnya. 

Bila tidak segera dilakukan, dikhawatirkan gelombang kebangkrutan perusahaan TPT bisa berlanjut. Akibatnya, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri TPT semakin tak terbendung dan pada gilirannya bisa berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.

Senada, Direktur Keuangan APF Deddy Sutrisno menambahkan, bila restrukturisasi utang kepada pemerintah bisa segera selesai, Perseroan berkode saham POLY ini berencana melakukan investasi untuk meningkatkan produksi benang dan serat poliester. 

“Sehingga kami bisa bangkit kembali beroperasi bahkan siap melakukan investasi," katanya.

Pasalnya, dengan restrukturisasi utang selesai nantinya, APF berkomitmen dapat memperbaiki neraca keuangan dan mendapatkan modal kerja baru untuk peningkatan kapasitas produksi Perseroan di pabrik Kaliwungu, Kendal.

Pihaknya pun berharap bisa kembali mempekerjakan karyawan yang terkena PHK dan menyerap tenaga kerja lainnya. Selain itu, Perseroan juga bisa berkontribusi bagi industri TPT nasional dalam menyediakan bahan baku tekstil.

Sebagaimana diketahui, Perseroan merupakan salah satu manufaktur benang poliester sebagai bahan baku utama tekstil dengan pangsa pasar nasional sebelumnya pernah mencapai 21%. Ini sekaligus menjadikan APF sebagai produsen poliester terbesar kedua di Indonesia. Meski demikian, Deddy belum bisa menyebutkan nilai investasi yang dibutuhkan nantinya.

"Kami masih hitung berapa kebutuhan nilai investasinya, tapi yang pasti para kreditur siap mendukung bisnis Perseroan," tuturnya.

Selain itu, dengan kondisi bisnis perusahaan yang terus menurun saat ini pihaknya menargetkan penjualan mencapai US$44,5 juta atau turun sekitar 76,6% dari tahun 2024 sebesar US$190,15 juta, atau turun sekitar 84,57% dari penjualan tahun 2023 sebesar US$ 288,55 juta.

Meski demikian, dengan adanya efisiensi usaha Perseroan berhasil menekan kerugian usaha atau EBITDA negatif yang diproyeksikan menjadi US$3,4 juta pada akhir 2025 dibanding periode sama 2024 minus US$7,67 juta.

Per September 2025, Perseroan telah membukukan penjualan sebesar US$33,38 juta atau turun sekitar 80% dibanding periode sama tahun lalu sebesar US$166,74 juta. Akibatnya, Perseroan mencatat EBITDA negatif sebesar US$2,55 juta per September 2025.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Agus Pambagio: Pemulihan Listrik di Aceh Bakal Bertahap, Begini Alasannya
• 11 jam lalujpnn.com
thumb
WWF Indonesia Buka Suara soal Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera
• 2 jam laluokezone.com
thumb
NASA JPL Luncurkan ROC untuk Misi Penjelajah Bulan dan Mars
• 8 jam lalumediaindonesia.com
thumb
21 Orang Terluka akibat Ditabrak Mobil, Termasuk Siswa dan Guru SD Cilincing
• 19 jam lalukompas.com
thumb
Jika Tak Ingin Tersisih dari Sea Games, Garuda Muda Harus Menang Telak Lawan Myanmar
• 16 jam lalufajar.co.id
Berhasil disimpan.