Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintah segera menerapkan label peringatan pada bagian depan kemasan (front-of-pack warning label/FOPL) untuk produk tinggi gula, garam, dan lemak (GGL).
Dorongan ini disampaikan dalam diseminasi ringkasan kebijakan bertajuk “Urgensi Implementasi Label Depan Kemasan Berbasis Bukti dan Bebas Konflik Kepentingan” di Jakarta, Kamis (11/12).
CISDI menilai konsumsi produk ultra-proses tinggi GGL menjadi pendorong utama meningkatnya kasus penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia.
Chief Research and Policy Officer CISDI, Olivia Herlinda, mengatakan label peringatan yang sederhana dan mudah dibaca berperan besar dalam membantu konsumen mengambil keputusan yang lebih sehat.
“Penelitian menunjukkan konsumen hanya melihat kemasan sekitar tujuh detik sebelum membeli produk. Dalam waktu sesingkat itu, label peringatan menjadi instrumen penting untuk memberikan informasi yang jujur dan mudah dipahami,” ujar Olivia.
Konsumsi Tidak Sehat Melonjak
Euromonitor pada 2024 mencatat konsumsi pangan tidak sehat di Indonesia melonjak hampir dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. Kenaikan ini sejalan dengan meningkatnya prevalensi obesitas yang juga naik dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir. Ini pada akhirnya ikut memperbesar beban pembiayaan BPJS Kesehatan untuk penyakit terkait obesitas, diabetes melitus, dan hipertensi.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki kebijakan label depan kemasan seperti Guideline Daily Amount (GDA) dan logo Pilihan Lebih Sehat. Namun karena bersifat sukarela dan ambang batas GGL yang dinilai terlalu longgar, kebijakan tersebut dinilai belum efektif menekan konsumsi pangan tidak sehat.
Ika Nindyas Ranitadewi, Food Policy Analyst CISDI, menyebut Indonesia tengah mempertimbangkan beberapa model label, termasuk Nutri-Level hingga label peringatan.
“Di antara berbagai opsi tersebut, label peringatan yang jelas dan wajib diterapkan terbukti paling efektif menurunkan konsumsi produk tidak sehat serta mendorong reformulasi industri, seperti di Cile, Peru, dan Meksiko,” ujarnya.
Risiko Konflik Kepentingan
CISDI pun menyoroti adanya pelibatan aktor industri dalam proses penyusunan kebijakan yang dinilai berpotensi menimbulkan bias. Narasi ekonomi dan “hak konsumen memilih”, menurut Advocacy Officer for Food Policy CISDI Aliyah Almas Sa’adah, kerap dipakai industri untuk melemahkan kebijakan.
“Bukti global menunjukkan tidak ada dampak negatif label depan kemasan terhadap ketenagakerjaan. Peringatan Hari HAM mengingatkan bahwa informasi gizi yang jelas adalah bagian dari pemenuhan hak atas kesehatan,” kata Aliyah.
Aliyah pun menekankan pentingnya partisipasi publik untuk memastikan kebijakan berjalan transparan dan akuntabel, sebagaimana diamanatkan UU No. 12/2011 dan General Comment No. 14 Komite EKOSOB PBB.
Sebaliknya, di sisi lain, ia menegaskan pentingnya antisipasi untuk mencegah interferensi industri dalam penetapan kebijakan kesehatan publik.



