Triliunan yang Tak Viral: Ketika Angka Tak Mampu Mendongkrak Citra

kompas.com
2 jam lalu
Cover Berita

PERNYATAAN Pejabat Negara tentang bencana banjir dan longsor di Sumatera Kembali menuai sentimen negatif. Anggota Komisi I DPR, Endipat Wijaya, dalam rapat kerja bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) Senin (8/12) lalu, mempertanyakan mengapa bantuan pemerintah bernilai triliunan rupiah kurang bergaung, sementara penggalangan dana masyarakat oleh Ferry Irwandi -yang disebutnya “cuma” Rp10 miliar- justru lebih viral dan diterima publik.

Endipat juga mengkritisi kurangnya amplifikasi informasi oleh Kemkomdigi mengenai kinerja negara terkait penanggulangan bencana. Hal tersebut menurutnya memicu persepsi bahwa pemerintah tidak cukup hadir dan pada akhirnya menggerus citra pemerintah.

Namun sebelum persoalan ini direduksi menjadi sekadar urusan “kalah viral”, hal pertama yang perlu diluruskan adalah perbandingan yang keliru sejak awal, sebuah apple-to-orange comparison ala Endipat. Menyandingkan apa yang memang menjadi mandat konstitusional negara dalam situasi bencana dengan gerakan solidaritas warga bantu warga jelas bukan perbandingan yang setara.

Dalam penanggulangan bencana, negara memiliki fungsi kompleks dan tanggung jawab besar. Ia berkewajiban melindungi keselamatan warganya melalui regulasi pengurangan risiko, koordinasi lintas sektor dalam respons darurat, penyediaan pendanaan dan logistik, pembangunan kapasitas institusi dan masyarakat, serta komunikasi publik yang cepat dan empatik, sehingga seluruh siklus kebencanaan dapat dikelola secara akuntabel (UU No. 24/2007; Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030; Haddow, Bullock & Coppola, Introduction to Emergency Management, 2017).

Di sisi lain, gerakan solidaritas publik, mulai dari donasi online sampai relawan yang turun langsung, biasanya muncul dari dorongan empati ketika melihat sesama terdampak bencana. Rasa pilu melihat penderitaan saudara sebangsa, membuat masyarakat bergerak cepat, bahkan sebelum negara selesai menyusun langkah formal. Ia bersifat spontan dan lahir dari hati, atas dasar kemanusiaan. Keduanya jelas berada pada spektrum yang berbeda, dan karenanya tidak layak dipadankan.

Kembali ke urusan “kalah viral” -seperti keresahan Endipat- fokus bahasan justru bergeser ke sini: sampai di mana negara tampil di mata publik, dan mengapa capaian yang dinilai hebat oleh Endipat tersebut, tetap gagal membangun citra positif pemerintah?

var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=bencana alam, bantuan pemerintah, ferry irwandi, Endipat Wijaya, banjir sumatera, komunikasi bencana, citra pemerintah, bantuan sukarelawan&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xMi8xMDE5MTg3MS90cmlsaXVuYW4teWFuZy10YWstdmlyYWwta2V0aWthLWFuZ2thLXRhay1tYW1wdS1tZW5kb25na3Jhay1jaXRyYQ==&q=Triliunan yang Tak Viral: Ketika Angka Tak Mampu Mendongkrak Citra§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `
${response.judul}
Artikel Kompas.id
`; document.querySelector('.kompasidRec').innerHTML = htmlString; } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } }); xhr.open("GET", endpoint); xhr.send();

Baca juga: Endipat Wijaya Vs Ferry Irwandi: Membangun Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Pernyataan Pemerintah versus Opini Publik

Pernyataan Endipat mengenai triliunan anggaran negara untuk penanggulangan bencana bukanlah klaim kosong. Data memang menunjukkan kapasitas negara sangat besar. BNPB bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat kebutuhan rekonstruksi dan pemulihan pascabanjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai Rp51,82 triliun, mencakup perbaikan infrastruktur vital dan rumah warga.

Sebelumnya, Kementerian PU juga menyiapkan anggaran tanggap darurat 2025 sebesar Rp351,83 miliar, mengerahkan lebih dari 3.455 personel, 5.755 alat berat, serta ratusan ribu material siap pakai. Kementerian Sosial menyalurkan bantuan awal senilai Rp66,7 miliar berupa logistik, dapur umum, dan kebutuhan dasar. Saat ini angkanya mungkin jauh lebih besar.

Selain itu, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Brigjen TNI Osmar Silalahi pada Minggu (7/12) mengungkapkan bahwa 30.864 personel TNI telah dikerahkan untuk membantu percepatan penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Negara juga menggerakkan 18 pesawat, 36 helikopter, dan 16 kapal laut untuk mendukung evakuasi, distribusi bantuan, serta membuka akses ke wilayah yang terisolasi.

Jabaran angka ini menunjukkan bahwa negara memiliki struktur, SDM, dan instrumen hukum yang lengkap untuk bekerja dalam skala besar. Namun kapasitas besar tidak otomatis membentuk persepsi publik. Publik menilai dari apa yang mereka lihat, dengar, dan alami—bukan dari angka-angka dalam laporan pemerintah. Di sinilah terlihat jurangnya.

Analitik Drone Emprit menunjukkan perbedaan mencolok antara sentimen pemberitaan media online yang cenderung positif dan percakapan media sosial yang jauh lebih kritis. Sejumlah artikel media daring menampilkan sentimen positif terkait upaya penanganan (misalkan pelaporan distribusi logistik oleh instansi). Di sisi lain data analitik percakapan sosial menunjukkan proporsi negatif yang signifikan pada platform sosial, dengan keluhan tentang kecepatan respons, transparansi, dan akses bantuan menjadi topik utama.

Pemetaan percakapan mencatat perbedaan antara sentimen media massa online (cenderung lebih positif) versus media sosial (lebih beragam dan lebih banyak sentimen negatif). Perbendaan ini menunjukkan celah antara pemberitaan yang mengutip pernyataan institusi dengan narasi yang berkembang secara organik di masyarakat.

Media arus utama pada dasarnya bekerja berdasarkan pernyataan resmi, konferensi pers, data kementerian, atau keterangan instansi terkait. Informasi yang muncul di sana biasanya terstruktur, terverifikasi, dan bersifat top-down, karena itu framing-nya pun relatif lebih sejalan dengan narasi pemerintah.

Sebaliknya, media sosial memiliki cara kerja yang sama sekali berbeda. Di sana, opini publik mengalir tanpa filter: resonansi negatif terhadap pernyataan pejabat yang kurang empatik, keluhan soal penyaluran bantuan yang tak merata, hingga kesaksian warga terdampak yang membagikan kondisi lapangan secara langsung. Semua berlangsung real-time, membentuk medan diskusi yang jauh lebih dinamis dan sulit dikendalikan.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-for-outstream'); });
.ads-partner-wrap > div { background: transparent; } #div-gpt-ad-Zone_OSM { position: sticky; position: -webkit-sticky; width:100%; height:100%; display:-webkit-box; display:-ms-flexbox; display:flex; -webkit-box-align:center; -ms-flex-align:center; align-items:center; -webkit-box-pack:center; -ms-flex-pack:center; justify-content:center; top: 100px; }
LazyLoadSlot("div-gpt-ad-Zone_OSM", "/31800665/KOMPAS.COM/news", [[300,250], [1,1], [384, 100]], "zone_osm", "zone_osm"); /** Init div-gpt-ad-Zone_OSM **/ function LazyLoadSlot(divGptSlot, adUnitName, sizeSlot, posName, posName_kg){ var observerAds = new IntersectionObserver(function(entires){ entires.forEach(function(entry) { if(entry.intersectionRatio > 0){ showAds(entry.target) } }); }, { threshold: 0 }); observerAds.observe(document.getElementById('wrap_lazy_'+divGptSlot)); function showAds(element){ console.log('show_ads lazy : '+divGptSlot); observerAds.unobserve(element); observerAds.disconnect(); googletag.cmd.push(function() { var slotOsm = googletag.defineSlot(adUnitName, sizeSlot, divGptSlot) .setTargeting('Pos',[posName]) .setTargeting('kg_pos',[posName_kg]) .addService(googletag.pubads()); googletag.display(divGptSlot); googletag.pubads().refresh([slotOsm]); }); } }

Kesenjangan antara kinerja pemerintah dan persepsi publik bukan sekadar masalah “kurang publikasi”. Ia berakar pada perubahan lanskap komunikasi publik di era digital, di mana publik bisa membentuk dan menyebarluaskan narasinya sendiri, berdasarkan apa yang dialami dan dirasakan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Nyelonong Kerja Jadi Mekanik di Kosambi, WNA asal Cina Dideportasi Imigrasi Tangerang!
• 19 jam laludisway.id
thumb
Klasemen Sementara Runner-Up Terbaik SEA Games 2025: Vietnam Buka Pintu untuk Timnas Indonesia U-22
• 17 jam lalubola.com
thumb
Lyon vs Go Ahead Eagles, Lyon Kalahkan Go Ahead Eagles 2-1 di Liga Europa
• 6 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Hari Gunung Internasional 2025 Dan Pentingnya Kesadaran Mengenai Lingkungan
• 21 jam lalunarasi.tv
thumb
Meksiko Getok Tarif hingga 50% untuk Produk Indonesia Mulai 2026
• 5 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.