Sebelum kamera media tiba, sebelum pernyataan diplomatik dirilis, dan sebelum peta klaim dibahas ulang, ada sekelompok orang yang lebih dulu merasakan denyut konflik di Laut Cina Selatan. Mereka bukan diplomat, bukan analis militer, dan bukan pejabat pemerintah. Mereka adalah nelayan yang setiap hari menarik jaring di perairan yang kini menjadi salah satu kawasan paling sensitif di Asia.
Ketika kapal asing mendekat, merekalah yang pertama melihat, pertama merasakan, dan pertama harus memutuskan apakah harus tetap bertahan atau segera kembali ke daratan. Tidak ada sirene peringatan. Tidak ada informasi intelijen. Hanya naluri bertahan hidup.
Di Natuna Utara, cerita semacam ini sudah bertahun-tahun terjadi. Banyak nelayan bercerita bagaimana mereka melihat kapal asing berukuran besar melintasi jalur tangkap, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa pun selain menghindar. Mereka tidak memiliki peralatan navigasi yang canggih atau jalur komunikasi cepat.
Ada yang pulang dengan tangan kosong, ada yang pulang dengan ketakutan, dan ada pula yang memilih untuk tidak bercerita karena khawatir akan membawa masalah baru. Dalam dinamika ini, terlihat jelas bahwa nelayan Indonesia berada di antara dua tuntutan: menjaga mata pencaharian dan menjaga keselamatan diri. Dan keduanya semakin sulit dipertahankan bersamaan.
Di Filipina dan Vietnam, kisahnya hampir sama. Para nelayan di kedua negara itu sering menjadi saksi langsung ketika ketegangan meningkat. Ada yang mengaku diusir dengan pengeras suara, ada yang melihat cahaya lampu sorot diarahkan ke perahu mereka, dan ada yang akhirnya memilih untuk menghindari wilayah tangkap yang sudah mereka kenal sejak kecil.
Konflik geopolitik yang dibahas dalam forum tinggi ternyata berlapis menjadi konflik ekonomi di tingkat rumah tangga. Semakin sempit ruang tangkap, semakin besar tekanan biaya hidup. Bagi sebagian keluarga, ini bukan lagi soal sengketa wilayah, melainkan soal dapur yang harus tetap menyala.
Ironinya, para nelayan inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian terbesar. Mereka membawa informasi awal yang sangat berharga tentang perubahan aktivitas maritim. Ketika kapal yang tidak dikenal muncul, ketika pola patroli bergeser, atau ketika suasana laut terasa berbeda, nelayan adalah orang pertama yang menyadarinya. Mereka adalah saksi yang tidak selalu terlihat oleh radar negara.
Namun dalam praktiknya, suara mereka sering baru terdengar setelah sebuah insiden besar terjadi dan menjadi sorotan media. Ini menunjukkan adanya jarak yang cukup besar antara pengalaman lapangan dan proses pembuatan kebijakan.
Dalam banyak pembahasan tentang Laut Cina Selatan, fokus utama selalu tertuju pada militerisasi, politik kekuatan besar, dan debat panjang mengenai hukum laut. Ketiganya memang penting, tetapi semua itu tidak bisa menjadi satu-satunya cara memahami situasi kawasan.
Jika konflik ini ingin ditangani secara lebih manusiawi dan berkelanjutan, pengalaman nelayan perlu diangkat sebagai bagian dari percakapan regional. Ketika negara-negara berbicara tentang perlindungan masyarakat pesisir, narasi yang dibangun menjadi lebih inklusif. Pembicaraan tidak hanya berhenti pada batas peta, tetapi menyentuh kehidupan nyata.
Indonesia memiliki kesempatan besar untuk membawa sudut pandang ini ke meja dialog regional. Narasi tentang nelayan bukan hanya narasi domestik, melainkan narasi kawasan. Indonesia bisa mendorong pendekatan yang menempatkan keamanan manusia sebagai bagian dari stabilitas maritim.
Ini bukan sekadar upaya untuk memperlunak konflik, melainkan cara untuk memperkuat diplomasi dengan perspektif yang sering terabaikan. Ketika negara besar bersandar pada kekuatan, negara menengah sering kali justru mampu menawarkan empati sebagai strategi.
Pada akhirnya, pertanyaan pentingnya sederhana: Siapa yang melindungi mereka yang berada paling dekat dengan konflik? Jawaban ini tidak bisa hanya dibebankan pada satu institusi. Diperlukan koordinasi antara aparat maritim, pemerintah daerah, dan kebijakan pusat untuk memastikan nelayan memiliki informasi, perlindungan, serta dukungan yang memadai.
Bahkan, pelatihan sederhana tentang bagaimana menghadapi situasi berisiko dapat membuat perubahan besar. Keberadaan mereka tidak boleh dianggap remeh karena mereka secara tidak langsung membantu mempertahankan kehadiran negara di wilayah laut.
Di tengah meningkatnya tensi di Laut Cina Selatan, kita perlu mengingat bahwa konflik bukan hanya terjadi di ruang diplomasi atau dek kapal perang, melainkan juga di atas perahu-perahu kecil yang setiap hari berlayar tanpa jaminan pasti.
Para nelayan inilah yang mengingatkan kita bahwa isu keamanan bukan hanya soal kekuatan negara, melainkan juga soal keselamatan mereka yang mencari nafkah di tengah ketidakpastian. Mereka bukan aktor pinggiran; mereka merupakan bagian dari cerita besar yang kerap tidak ditulis. Jika negara ingin memastikan stabilitas kawasan, melindungi mereka adalah langkah yang tidak bisa ditunda.


/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F22%2Fc80e64ad-00fa-4f0b-b60e-96f20267ae4f_jpg.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5341948/original/073912100_1757341527-Timnas_Indonesia_vs_Lebanon_-01.jpg)

