Bisnis.com, JAKARTA- Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra membuka tabir kerusakan parah hutan, aksi pembabatan jauh kebablasan. Kini korporat yang dituding jadi biang keladi mulai ditindak.
Catatan Forest Watch Indonesia (FWI) harus jadi peringatan bagi semua pihak. Dalam laporannya, FWI merekam isu deforestasi Indonesia telah berlangsung selama lima dekade, sewaktu izin komersial hutan diberikan semasa Orde Baru.
Hingga kini, Indonesia terus kehilangan tutupan hutan. Di balik ekspansi industri yang membabat pohon-pohon hutan, FWI mencatat adanya tata kelola yang korup, obral perizinan, serta cara pandang terhadap hutan sebagai stok ekonomi ekstraktif.
Pada era awal komersialisasi hutan itu, Indonesia telah kehilangan sekitar 119 juta hektare tutupan hutan. Hampir 30% dari total tutupan hutan pada 1950.
Rezim Hak Pengusahaan Hutan/HPH mempercepat degradasi hutan. Data FWI dan GFW menyimpulkan hampir 30% konsesi HPH tidak diperbaiki, malah dibuka sebagai lahan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Sementara itu, Analisis Forest Watch Indonesia menunjukkan kehilangan tutupan hutan alam sekitar 4,50 juta hektare dalam 2009–2013, dengan laju 1,13 juta hektare per tahun. Provinsi dengan kehilangan terbesar adalah Riau (690.000 hektare), Kalimantan Tengah (619.000 hektare), Papua (490.000 hektare), Kalimantan Timur (448.000 hektare), dan Kalimantan Barat (426.000 hektare).
Baca Juga
- Trase Earth Ungkap Keterkaitan Royal Golden Eagle dan Grup Sinar Mas dalam Deforestasi HTI
- Jejak Deforestasi dalam 4 Dekade, Bibit Kerusakan Ekologis di Balik Geliat Ekonomi RI
- Komitmen Astra Agro (AALI) soal Nol Deforestasi
Sementara itu, Menteri Kehutanan mengklaim Raja Juli juga menyebut bahwa tingkat deforestasi di ketiga provinsi terdampak banjir di Sumatra pada 2025 mengalami penurunan jika dibandingkan pada 2024.
Raja Juli mengatakan tingkat deforestasi nasional mencapai 166.450 hektare per September 2025, turun 23,01% dibandingkan dengan 2024 yang mencakup areal seluas 216.216 hektare. "Penurunan deforestasi tersebut juga teridentifikasi pada tiga provinsi terdampak banjir," kata Raja Juli Antoni.
Untuk wilayah Aceh, terjadi penurunan 10,04% dari 11.228 hektare pada 2023–2024 menjadi 10.100 hektare pada periode 2024 sampai September 2025. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Sumatra Utara yang mengalami penurunan 13,98% dari 7.141 menjadi 6.142 hektare. Sedangkan di Sumatra Barat turun 14% dari 6.634 menjadi 5.705 hektare.
Namun pada saat bersamaan, terjadi perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi nonhutan di wilayah terdampak banjir yang dinaungi puluhan DAS. Hasil identifikasi menunjukkan setidaknya terdapat 70 titik banjir masuk dalam 31 DAS di Provinsi Aceh dengan luas total 3,05 juta hektare dan menjangkau 15 kabupaten/kota.
Adapun perubahan tutupan lahan di provinsi ini mencapai 21.476 hektare dalam kurun 2019–2024, terdiri dari 12.159 hektare di dalam kawasan hutan dan 9.317 hektare di luar kawasan hutan. Kemenhut juga mengidentifikasi 217.301 hektare kawasan yang masuk dalam kategori lahan kritis atau 7,1% dari total 31 DAS terdampak banjir di Aceh.
Sementara itu di Sumatra Utara, areal terdampak banjir setidaknya mencakup 92 titik yang masuk dalam 13 DAS. Total luas 13 DAS tersebut mencapai 1,40 juta hektare dan meliputi 11 kabupaten/kota.
Dalam kurun 2019–2024, perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi nonhutan di wilayah tersebut mencapai 9.424 hektare, di mana 3.427 hektare berada di dalam kawasan hutan dan sisanya 5.997 hektare berada di luar kawasan hutan.
Khusus di wilayah DAS terdampak di Sumatra Utara, total lahan kritis mencapai 207.482 hektare atau 14,7% dari total luasan. Di Sumbar, lanjut Raja Juli, terdapat kurang lebih 56 titik banjir yang masuk dalam 13 DAS. Area terdampak dan berstatus lahan kritis mencapai 39.818 hektare atau 7,0% dari total luas DAS yang mencapai 570.235 hektare.
Adapun perubahan tutupan lahan di area ini pada kurun 2019–2024 mencakup 1.444 hektare di dalam kawasan hutan dan 377 hektare di luar kawasan hutan.
Belakangan, Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) melakukan penindakan terhadap entitas usaha yang terindikasi melanggar pidana kehutanan dan berkontribusi pada banjir di Sumatra.
Terbaru, Ditjen Gakkum Kehutanan melakukan penyegelan terhadap tiga subjek hukum yang diduga melakukan pelanggaran terkait tata kelola kehutanan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Tiga perusahaan ini adalah pemegang hak atas tanah (PHAT) dan masing-masing berinisial JAS, AR, dan RHS. Selain itu, Tim Ditjen Gakkum Kehutanan juga melakukan verifikasi lapangan dan olah TKP di lokasi operasional PT Tri Bahtera Srikandi (TBS), anak perusahaan PT Sago Nauli Plantation (SNP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batangtoru yang dikelola PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE).
“Saat ini total Subjek Hukum yang sudah dilakukan penyegelan dan/atau verifikasi lapangan oleh Kementerian Kehutanan berjumlah 11 entitas yaitu empat korporasi yakni PT TPL, PT AR, PT TBS/PT SN dan PLTA BT/PT NSHE dan 7 PHAT yakni JAM, AR, RHS, AR, JAS, DHP, dan M,” kata Raja Juli Antoni dalam siaran pers, Kamis (11/12/2025).





