Bisnis.com, JAKARTA - China memberi sinyal tetap menjaga dukungan kebijakan tetapi tidak berencana menambah stimulus besar pada 2026. Sinyal itu menandai pergeseran fokus dari merespons tekanan tarif AS menuju penguatan pertumbuhan jangka panjang.
Dalam pernyataan resmi usai Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (Central Economic Work Conference), pimpinan negara menyatakan akan menggunakan pemangkasan suku bunga dan rasio cadangan wajib (RRR) secara fleksibel dan efisien guna menjaga likuiditas memadai.
"Pemerintah juga akan mempertahankan tingkat defisit anggaran dan belanja fiskal yang diperlukan pada 2026," demikian pernyataan tersebut dilansir dari Bloomberg pada Jumat (12/12/2025).
Bahasa kebijakan yang disampaikan mencerminkan keinginan untuk menjaga stimulus tetap terukur setelah China relatif tidak terdampak perang dagang dengan AS, berkat lonjakan ekspor ke berbagai negara.
Hal tersebut menunjukkan Pemerintah China puas dengan kerangka saat ini, sehingga dapat mempertahankan strategi pertumbuhan berbasis manufaktur sambil mendorong konsumsi.
Konferensi yang dihadiri Presiden Xi Jinping tersebut menetapkan arah kebijakan ekonomi untuk tahun mendatang. Pemerintah berjanji untuk menghentikan penurunan tajam investasi, menstabilkan pasar properti yang melemah, serta mengatasi penurunan jumlah kelahiran.
Sinyal kebijakan terbaru ini muncul ketika ekonomi terbesar kedua dunia tersebut menutup tahun 2025 dengan kinerja yang lebih tangguh dari perkiraan. Kekuatan ekspor mendorong pertumbuhan, dengan surplus perdagangan barang tahunan menembus US$1 triliun untuk pertama kalinya.
“Kebijakan ekonomi berada dalam mode darurat setahun lalu akibat ketidakpastian eksternal. Tahun ini, kebijakan lebih berorientasi jangka panjang. Tidak ada alasan untuk membuat kebijakan lebih ekspansif," ujar Ding Shuang, Kepala Ekonom Greater China dan Asia Utara Standard Chartered Plc.
Namun, ketergantungan pada permintaan global dinilai semakin berisiko seiring banyak negara mulai menolak banjir produk murah dari China.
Tantangan domestik juga meningkat. Investasi aset tetap mengalami penurunan terbesar dalam sejarah pada paruh kedua 2025, memperdalam kekhawatiran lemahnya permintaan dalam negeri. Untuk mengatasinya, pemerintah berjanji meningkatkan belanja anggaran pusat untuk proyek-proyek investasi.
China dinilai akan lebih efektif mendorong investasi infrastruktur, mengingat dampak subsidi konsumsi terhadap penjualan ritel mulai berkurang. Konferensi itu menyebutkan kebijakan subsidi akan dioptimalkan, yang mengindikasikan ruang terbatas untuk ekspansi.
Sejumlah ekonom memprediksi program tersebut dapat diperluas ke sektor jasa, seiring meningkatnya perhatian pemerintah pada sektor tersebut.
Pemerintah juga berkomitmen menangani tekanan fiskal daerah dan mempercepat penyelesaian risiko utang pemerintah daerah secara aktif namun teratur. Berbagai langkah akan ditempuh untuk menurunkan risiko operasional dari kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV).
Kekhawatiran lain datang dari sektor properti, setelah pengembang besar China Vanke mengejutkan pasar dengan usulan penundaan pembayaran obligasi. Pemerintah menetapkan mandat jelas untuk mengurangi stok hunian, termasuk mendorong pembelian properti tak terjual untuk dialihfungsikan menjadi rumah terjangkau.
“Penekanan yang lebih kuat pada stabilisasi properti menjadi kejutan positif,” ujar Michelle Lam, Ekonom Greater China di Societe Generale SA. “Meski belum jelas seberapa besar kebijakan baru akan berdampak, setidaknya pembuat kebijakan menyadari risiko penurunan sehingga dapat membantu meredam tekanan harga properti.”
Kebijakan Fiskal & Moneter ChinaPembuat kebijakan juga kembali menegaskan komitmen menjaga stabilitas nilai tukar yuan. Ini menandakan keengganan terhadap perubahan besar, meski ada dorongan agar China memperkuat yuan guna menekan surplus perdagangan dan mendukung pergeseran ke konsumsi domestik.
Pemerintah juga kembali menegaskan kebijakan fiskal lebih proaktif, meski defisit anggaran melebar ke 8,7% dari PDB dalam tiga kuartal pertama tahun ini — tertinggi sejak 2010.
Banyak ekonom memperkirakan Beijing akan mempertahankan target defisit resmi sekitar 4% dari PDB, sama seperti 2025, yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari tiga dekade.
Konferensi juga menyebutkan bahwa kebijakan moneter akan ditujukan untuk memulihkan harga secara wajar, mengakui tekanan dari lemahnya permintaan domestik dan deflasi yang persisten.
Namun meski ada janji pelonggaran, bank sentral China (PBOC) cenderung lebih berhati-hati. Pemangkasan suku bunga yang dilakukan tahun ini mengecewakan pasar, dan dalam laporan November, PBOC menurunkan urgensi perlambatan kredit sekaligus menegaskan pendekatan lebih sabar dalam transisi ekonomi.
“Konferensi memang menyebut penurunan suku bunga, tetapi ekspektasi pasar tetap rendah. Saya tidak melihat pertemuan ini akan secara signifikan meningkatkan ekspektasi pemangkasan suku bunga tahun depan,"ujar Zhang Zhiwei, Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management.




