JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan teknologi layanan transportasi daring idealnya bisa menanggung iuran jaminan sosial para mitra pengemudi secara bertahap. Skema ini dapat disesuaikan dengan kondisi keuangan perusahaan, sekaligus menunjukkan tanggung jawab mereka terhadap kesejahteraan para mitra pengemudi.
“Keuangan perusahaan teknologi layanan transportasi daring atau ride hailing dipertimbangkan. Selain itu, realitanya banyak juga mitra pengemudi yang sebenarnya sudah memiliki pekerjaan di tempat lain. Saya kira, proses perusahaan teknologi ride hailing menanggung iuran jaminan sosial mitra pengemudi bertahap dulu,” ujar Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, Jumat (12/12/2025), di Jakarta.
Perusahaan teknologi ride hailing bisa memakai pendekatan meritokrasi, alias menyasar ke pengemudi yang memiliki kinerja atau tingkat aktif yang lebih baik dibanding lainnya. Apabila mereka ”dipaksa” oleh pemerintah untuk menanggung iuran semua mitra pengemudi tanpa ada penahapan, dia khawatir perusahaan malah tidak mau mengikuti.
Regulasi yang ada yaitu pasal 32 ayat (2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2021 mewajibkan pekerja dengan status di luar hubungan kerja, seperti orang-orang yang bekerja sebagai mitra pengemudi ride hailing, mengikuti program jaminan JKK dan JKM.
Lalu, pasal 34 Permenaker Nomor 5 Tahun 2021 menyebutkan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja dengan hubungan kemitraan harus dapat dipastikan oleh penyedia jasa layanan.
“Apabila pemerintah jadi mengeluarkan peraturan presiden tentang perlindungan pengemudi ride hailing, regulasi itu kami harap mampu memberi kepastian hukum aplikator membayar iuran JKK–JKM dan iuran JKN untuk pengemudi. Langkah seperti ini mendukung proses ” ’formalisasi’ pekerja sektor informal,” kata Timboel.
Sementara itu, Analis Indonesia Labor Institute Rekson Silaban mengatakan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial telah mengatur besaran kontribusi iuran jaminan sosial dari pekerja dan perusahaan.
Kalau statusnya disebut pekerja/karyawan, maka mereka wajib berkontribusi terhadap iuran jamian sosial ketenagakerjaan 3 persen dari gaji dan sisanya yang 8 persen dibayar pengusaha.
Dalam konteks di industri layanan ride hailing, perusahaan teknologi masih tidak mengganggap dirinya sebagai pemberi kerja, sehingga mitra pengemudi harus membayar semuanya. Kebanyakan pengemudi merasa tidak sanggup membayar iuran sendiri dan mereka juga menganggap perusahaan teknologi sebagai pemberi kerja.
Untuk melindungi semua mitra pengemudi lewat jaminan sosial butuh sistem data yang akurat, karena ada juga mitra pengemudi yang bekerja untuk perusahaan teknologi lain sehingga lebih pas kalau perusahaan teknologi membayar secara bertahap. ”Cuma perlindungan jaminan sosial bagi pekerja itu seharusnya tugas negara sebagaimana dijamin konstitusi, bukan jadi tanggung jawab swasta,” ujar dia.
Sebelumnya, Rabu (10/12/2025), perusahaan teknologi di bidang layanan transportasi daring PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) mengumumkan program Apresiasi Mitra. Salah satu sub program penting di dalamnya ialah GoTo akan menanggung iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dan jaminan sosial kesehatan bagi mitra pengemudi, tetapi hanya mitra yang dinyatakan berprestasi.
GoTo akan menanggung iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) mitra. Untuk BPJS Kesehatan, kepesertaan dalam program ini akan diberikan secara opsional. Iuran anggota keluarga mitra pengemudi bukan menjadi tanggungan GoTo.
Sebagai langkah awal, inisiatif itu dimulai dengan menjangkau 100.000 orang mitra pengemudi yang masuk kategori sebagai Mitra Juara di Surabaya.
Adapun kategori Mitra Juara memiliki kriteria seperti keaktifan mitra, tingkat kinerja, serta tingkat layanan. Mitra driver Surabaya yang tergabung dalam kategori Mitra Juara dapat mendaftarkan diri di aplikasi Gojek Driver mulai tanggal 11 Desember 2025, di mana kepesertaan akan berlaku mulai tanggal 2 Januari 2026.
Sementara itu, bagi Mitra Juara di luar Surabaya, proses pendaftaran akan dibuka mulai tanggal 1 Januari 2026, dengan kepesertaan berlaku mulai tanggal 2 Februari 2026.
Chief Operating Officer GoTo, Hans Patuwo, mengklaim, program tersebut sesuai arahan pemerintah dan Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi mitra pengemudi. Program ini diharapkan menjadi langkah berkelanjutan agar mitra dapat terus mencari nafkah dengan lebih aman, tenang, dan sejahtera.
Namun, pengumuman program GoTo itu segera menuai protes dari sejumlah kelompok mitra pengemudi. Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia Raden Igun Wicaksono, misalnya, mengatakan, langkah selektif GoTo justru berpotensi menciptakan ketidakadilan sistemik. Sebab seluruh mitra pengemudi baik yang masuk kategori berprestasi maupun reguler sama-sama memberikan bagi hasil kepada perusahaan aplikator.
Kebijakan tersebut dianggap tidak sejalan dengan prinsip perlindungan menyeluruh yang telah diamanatkan dalam regulasi.
Program GoTo itu tidak sejalan dengan ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan beserta turunannya dalam Keputusan Menteri Perhubungan KP 1001 Tahun 2022. Melalui keputusan ini, seluruh mitra pengemudi, tanpa terkecuali, sudah dipotong 5 persen dari penghasilannya oleh perusahaan aplikator untuk kebutuhan asuransi.
”GoTo seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan seluruh mitra, bukan hanya mereka yang diberi label ‘terbaik’,” ujar Igun, Kamis (11/12/2025) malam, di Jakarta.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, sebanyak 1,75 juta pengemudi transportasi daring atau ojek online (ojol) belum menjadi peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan. Sejauh ini, baru sekitar 250.000 pengemudi transportasi daring menjadi peserta program tersebut (Kompas.id, 8/5/2025).




