Warga Sumatra Barat resmi mengajukan notifikasi Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/CLS) atas dugaan kelalaian negara dalam mencegah dan menangani bencana ekologis yang terjadi sejak akhir November 2025.
Tim Advokasi Keadilan Ekologis bertindak sebagai kuasa hukum masyarakat korban yang terdiri dari Kota Padang, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Solok.
Perwakilan Tim Advokasi Keadilan Ekologis, Adrizal, mengatakan bencana yang menimpa Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh tidak bisa dianggap akibat faktor alam semata.
“Melainkan sebuah bencana yang terencana akibat eksploitasi terhadap kawasan hutan yang secara brutal dan tanpa adanya sebuah evaluasi dan pengawasan,” kata Adrizal dalam keterangannya, dikutip Jumat (12/12).
Gugatan ini dikirimkan kepada seluruh instansi terkait melalui pos dan pengantaran langsung oleh Tim Lawyer Advokasi Keadilan Ekologis, pada Rabu (10/12). Jika dalam 60 hari kerja tidak ada tindakan nyata terhadap tuntutan warga, gugatan akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Padang.
Lewat gugatan ini warga meminta negara melakukan evaluasi kinerja perizinan, menghentikan praktik yang melanggar tata ruang, serta melaksanakan pemulihan yang layak dan berkeadilan.
Gugatan ditujukan kepada pejabat pemerintahan yang memiliki kewajiban hukum dalam pengawasan ruang, mitigasi, pencegahan bencana, perencanaan pembangunan, dan penegakan hukum, yaitu: Presiden Republik Indonesia, Menteri Kehutanan , Menteri Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Gubernur Sumatera Barat, Walikota Padang, Bupati Agam, Bupati Tanah Datar, Bupati Solok.
Lewat gugatan ini warga menyatakan negara telah gagal memenuhi kewajiban konstitusional untuk melindungi keselamatan rakyat dan menjaga keberlanjutan ekosistem, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU PPLH, UU Penataan Ruang, UU Penanggulangan Bencana, hingga instrumen HAM internasional seperti ICESCR dan Paris Agreement.
Padahal, kata dia, dalam Laporan Dinas kehutanan Provinsi Sumatera Barat setiap tahun membuat bagaimana lonjakan angka deforestasi di Sumatera Barat.
“Hal ini tidak bisa kita biarkan secara terus menerus tanpa adanya evaluasi secara menyeluruh karena jika ini dilakukan pembiaran maka akan lebih banyak lagi rakyat yang akan menjadi korbannya,” kata Adrizal.
Ia juga mengatakan Kejahatan yang tersistematis dalam bencana ekologis Sumatra dapat dilihat ketika pemerintah memberikan izin kepada pemilik modal secara ugal-ugalan dan tidak ada konsekuensi yang dihadirkan jika ditemukan pelanggaran.
“Sehingga akibat adanya pengabaian ini ratusan jiwa meninggal dunia, ratusan fasilitas umum terdampak, ribuah masyarakat luka-luka, dan ratusan rumah hancur, dan masih banyak warga terdampak lainnya, namun hingga hari ini pemerintah belum mampu memenuhi hak dasar para penyintas, mulai dari bantuan darurat, pendataan yang akurat, hingga pemulihan yang layak,” katanya.
Tim Advokasi Keadilan Ekologis juga menyoroti berbagai peristiwa hukum yang menggambarkan lemahnya penegakan hukum terhadap penjahat lingkungan. Mereka menyoroti sejumlah kasus seperti penembakan antar anggota kepolisian yang berkaitan dengan pembekingan tambang ilegal di Solok Selatan, kasus tambang ilegal di Lubuak Matuang yang kembali beroperasi hanya dua minggu setelah ditutup oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat.
Aktivitas tambang ilegal di Desa Sungai Abu Solok yang telah dilaporkan oleh masyarakat sejak 2017/2018 yang tidak pernah ditindaklanjuti oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat sehingga mengakibatkan belasan orang tewas akibat longsor seharusnya menjadi alarm merah untuk menguatnya penegakan hukum.
“Lempar tanggung jawab antara daerah dan pusat tidak hanya tidak etis, tetapi memperbesar risiko bagi warga. Keselamatan publik tidak boleh dikalkulasi dengan logika ekonomi semata. Pembangunan harus tunduk pada batas ekologis. Tanpa itu, kita hanya mengulang siklus bencana dan korban setiap tahun,” kata Adrizal.
Gugatan ini diajukan setelah pengabaian 10 hari seruan publik melalui YLBHI-LBH di Sumatra agar pemerintah menetapkan status bencana nasional, yang dianggap tidak pernah direspons secara serius.
Tim Advokasi Keadilan Ekologis menegaskan bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena alam akibat curah hujan ekstrem yang tercatat BMKG mencapai 154 mm/hari, tetapi merupakan sebuah kelalain yang tersistematis yang mengakibatkan terjadinya bencana ekologis yang dapat kita lihat dari pembiaran proses illegal logging dan meaning, salah urus izin, deforestasi, dan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berlangsung bertahun-tahun.
Temuan pemetaan tim GIS LBH Padang mengonfirmasi bahwa banyak titik bencana berada di area yang telah berubah fungsi lahan, zona rawan yang dialihfungsikan, atau wilayah DAS yang dijadikan pemukiman maupun aktivitas berizin.
Tim Advokasi Keadilan Ekologis menyatakan kerusakan ekologis ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum terhadap illegal logging dan illegal mining, termasuk beberapa kasus yang menunjukkan indikasi kuat pembekingan aparat seperti Tambang emas ilegal di Nagari Simanau, Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok, Tambang ilegal di Sulik Aie, Kabupaten Solok, Illegal logging di kawasan hulu DAS Kota Padang, aktivitas ilegal di Kawasan Taman Wisata Alam (WTA) Megamendung, Aktivitas illegal logging di kawasan Cagar Alam Maninjau seluas 3.043 hektare.
Mereka juga menyoroti deforestasi mencapai lebih dari 28.000 hektare sepanjang tahun 2025, dan total kehilangan tutupan hutan 2020–2024 mencapai 48.174 hektare, sebagaimana data Dinas Kehutanan Sumbar. Kondisi ini yang dianggap memperburuk kerentanan hidrologis dan mempercepat terjadinya banjir bandang besar pada November 2025.


