JAKARTA, KOMPAS - Pihak Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Mabes Polri menjelaskan terbitnya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur soal penempatan polisi di 17 kementerian/lembaga. Meski dikritik sejumlah kalangan karena dianggap melanggar putusan Mahkamah Konstitusi, Mabes Polri beranggapan terbitnya aturan dan penempatan polisi di instansi-instansi itu, sudah selaras dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dimaksud, putusan nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada 13 November 2025. Dalam putusannya, MK menegaskan larangan bagi anggota kepolisian aktif menduduki jabatan di luar institusi kepolisian. Polisi hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Adapun Peraturan Polri No 10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri diterbitkan pada 9 Desember 2025. Dalam peraturan yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo itu, terdapat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota kepolisian.
Instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Berikutnya, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, serta Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, penempatan anggota Polri ke kementerian/lembaga seperti tertuang dalam Peraturan Polri No 10/2025 didasarkan pada sejumlah regulasi.
Di antaranya, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. "Pada Pasal 28 ayat 3 beserta penjelasannya yang masih memiliki kekuatan hukum mengikat setelah amar putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/20025," kata Trunoyudo.
Pasal 28 ayat 3 UU Polri berbunyi, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Regulasi lain yang menjadi dasar adalah UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada Pasal 19 Ayat 2b disebutkan bahwa jabatan ASN dapat diisi dari anggota Polri.
Trunoyudo juga menyebut tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai dasar. Ia pun merinci pasal-pasal dalam PP yang memungkinkan anggota Polri menjabat posisi tertentu di kementerian/lembaga.
Pada Pasal 147, misalnya, disebutkan bahwa jabatan ASN tertentu di lingkungan instansi pusat tertentu dapat diisi oleh anggota Polri sesuai kompetensi. Kemudian, Pasal 148 mengatur bahwa Polri dapat menduduki jabatan ASN tertentu. Selanjutnya, Pasal 150 yang mengatur bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan ASN tidak dapat beralih status menjadi PNS.
Trunoyudo juga merujuk Pasal 153 di PP tersebut yang menyebut bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) instansi pusat ketika membutuhkan anggota Polri untuk menduduki jabatan tertentu pada instansi pusat mesti mengajukan kepada Kapolri dengan tembusan kepada Menteri dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BPN). Menteri dimaksud adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Secara internal, kata Trunoyudo, Polri mengatur mekanisme penempatan anggota Polri ke kementerian/lembaga melalui Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025. Ia menegaskan proses pengalihan jabatan anggota Polri di kementerian/lembaga tersebut berdasarkan permintaan PPK.
"Untuk menghindari adanya rangkap jabatan, Kapolri memutasikan anggota Polri yang mengisi jabatan di instansi pusat tertentu dimutasi dari jabatan sebelumnya, untuk dimutasi pada jabatan baru sebagai perwira menengah atau tinggi Polri dalam rangka penugasan pada kementerian/lembaga," tutur Trunoyudo.
Secara terpisah, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M Choirul Anam berpandangan, Peraturan Polri No 10/2025 memperlihatkan pemaknaan dari kepolisian terhadap Putusan MK 114 mengenai jabatan di luar kepolisian. Hal itu diperjelas dengan adanya 17 kementerian/lembaga yang disebutkan dalam Perpol 10/2025. Daftar tersebut memberikan kepastian bagi Polri.
"Persoalannya sederhana, harus dipastikan juga sebenarnya (polisi) di fungsi apa? Apakah masih ada sangkut pautnya dengan kepolisian? Jadi, tidak hanya soal (apa) kementeriannya, tapi di kementerian itu fungsinya (polisi) apa. Itu yang harus dipertegas," tutur Anam.
Ia juga mengingatkan, agar Polri mengutamakan kebutuhan internal sebelum menempatkan anggotanya di luar Polri. "Yang paling utama dan paling strategis dalam penempatan sumber daya manusia (SDM) kepolisian adalah menjawab kebutuhan internal kepolisian, walaupun ada permintaan dari lembaga-lembaga lain," ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah pakar hukum tata negara menyayangkan langkah Kapolri yang menerbitkan Peraturan Polri No 10/2025 untuk menindaklanjuti putusan MK. Pasalnya, putusan MK sudah tegas menyebutkan polisi harus mengundurkan diri jika menduduki jabatan di luar institusi kepolisian yang tak ada sangkut pautnya dengan tugas Polri.
”Bukan cuma bentuk constitutional disobedience, tapi cara berpikir Kapolri salah. Kementerian ESDM, Agraria, atau Kehutanan, misalnya, yang disebut dalam ketentuan pasal Peraturan Polri No 10/2025 itu, kan, enggak relate sama sekali dengan fungsi kepolisian. Kacau,” kata pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, saat dihubungi, Jumat.
Senada dengan Herdiansyah, pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menilai bahwa penerbitan Peraturan Polri No 10/2025 tidak elok dilakukan oleh Kapolri. Sebab, selain bertentangan dengan putusan MK, sikap kepolisian ini menjadi tidak sehat karena seperti bertentangan dengan semangat dan gagasan yang diinginkan Presiden untuk melakukan reformasi kepolisian.
”Peraturan Polri ini seperti memberikan perlindungan tersendiri yang pada dasarnya tidak elok bagi kepolisian jika kemudian pimpinannya yang tergabung ke dalam tim reformasi malah bertindak di luar jalur yang diharapkan Presiden yang ingin melakukan reformasi. Untuk melakukan reformasi itu seharusnya sesuai dengan putusan MK,” kata Feri.



