Di usia muda, seharusnya kami sibuk bermimpi dan merencanakan masa depan. Namun kenyataannya, yang sering datang justru rasa cemas. Bukan hanya tentang lulus tepat waktu, tetapi tentang satu pertanyaan besar yang terus menghantui: “Setelah lulus, aku akan bekerja di mana?”
Pengangguran di kalangan anak muda bukan lagi sekadar data statistik. Ia adalah keresahan yang nyata, dirasakan di ruang kelas, di grup percakapan mahasiswa, dan di kepala kami masing-masing. Lowongan kerja terasa sedikit, sementara lulusan terus bertambah. Persaingan semakin ketat, syarat semakin tinggi, dan masa depan terasa semakin tidak pasti.
Banyak dari kami yang kuliah dengan harapan sederhana: agar hidup bisa sedikit lebih baik dari orang tua. Namun hari ini, harapan itu sering dibarengi dengan ketakutan. Takut tidak terserap dunia kerja. Takut menjadi pengangguran. Takut disebut gagal sebelum benar-benar diberi kesempatan.
Realitas ini membuat anak muda seperti berjalan di antara mimpi dan kekhawatiran. Di satu sisi, kami diminta terus bermimpi setinggi mungkin. Di sisi lain, kami harus siap menghadapi kemungkinan pahit ketika mimpi itu belum sempat diwujudkan.
Lebih menyakitkan lagi, tidak semua anak muda berangkat dari titik yang sama. Ada yang memiliki relasi, modal, dan akses yang luas. Ada pula yang hanya mengandalkan tekad dan doa. Ketika lapangan pekerjaan terbatas, mereka yang berada di posisi paling lemah adalah yang pertama kali tersingkir.
Namun, di tengah kecemasan itu, kami tetap bertahan. Kami mengikuti pelatihan, magang, lomba, organisasi, apa pun yang bisa menambah nilai diri. Bukan karena kami ambisius berlebihan, tetapi karena kami takut tertinggal. Takut tidak punya tempat di negeri sendiri.
Pengangguran bukan hanya persoalan individu, tetapi juga persoalan bersama. Negara membutuhkan anak mudanya untuk bergerak, berkarya, dan bekerja. Anak muda juga membutuhkan negara yang hadir membuka ruang, bukan hanya memberi tuntutan.
Hari ini, anak muda Indonesia tidak kekurangan mimpi. Yang sering kurang adalah kesempatan. Maka semoga, suatu hari nanti, kekhawatiran ini tidak lagi menjadi cerita yang terus berulang. Semoga kami bisa lulus tanpa rasa takut, melangkah tanpa cemas, dan bekerja tanpa harus merasa dunia terlalu sempit bagi kami.
Karena sejatinya, kami tidak meminta jalan yang mudah. Kami hanya berharap diberi ruang untuk bertumbuh.



