Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) khususnya untuk desa-desa telah digagas pemerintah lebih dari 15 tahun lalu. Namun, Climate Program Manager FPCI Kiara Putri Mulia menyebut masih banyak proyek PLTS yang berakhir mangkrak.
“Karena penggunaan energinya tidak produktif atau tidak sesuai dengan demand profile lokasi tersebut,” kata Kiara, dalam diskusi ‘Menakar Kelayakan PLTS 100 GW: Analisis Teknis, Finansial, dan Institusional’ di Jakarta, Jumat (12/12).
Kiara memberi contoh penggunaan tak produktif, yang hanya berkutat pada kebutuhan domestik seperti mengisi ulang daya gawai atau untuk menyalakan televisi. Sementara, PLTS yang masih optimal usai beberapa tahun beroperasi adalah PLTS yang tersambung dengan mata pencaharian warga.
“Misalnya di desa nelayan, PLTS digunakan untuk menyalurkan energi untuk cold storage,” tambahnya.
Oleh karena itu menurutnya, mengetahui demand profile suatu daerah sangat diperlukan sebelum mengembangkan proyek PLTS. Ini karena setiap daerah memiliki demand atau permintaan yang berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata.
Kerusakan Dipicu Masalah Pemeliharaan
Dalam laporan Yayasan CERAH pada November lalu, disebutkan beberapa persoalan lain yang memicu mangkraknya proyek PLTS di Indonesia, khususnya yang ditanamkan di desa-desa.
PLTS dengan kepemilikan komunal seringkali mangkrak karena alasan pemeliharaan. Kerusakan baterai, komponen vital sistem offgrid, paling umum menyebabkan kematian total.
Selain itu, masyarakat yang menerima bantuan PLTS sering terpentok masalah biaya pemeliharaan untuk jangka panjang. Biasanya, masalah ini muncul pada proyek PLTS yang dibangun dengan dana hibah. Ketika dana hibahnya berakhir, tak ada dana back up yang bisa menyelamatkannya.
“Tidak adanya kesepakatan untuk iuran rutin dari awal, arus kas lokal lemah, institusi pengelola yang dibentuk tidak mampu bertahan,” tulis laporan tersebut dikutip Jumat (12/12).
Masalah lainnya adalah tidak ada model pendapatan yang pasti. Listrik yang dibagikan gratis tanpa iuran akan menyulitkan pengelolaan saat ada komponen rusak. Siklus cenderung berulang hingga sistem pengelolaan berhenti dan menyebabkan hilangnya akses listrik.



