Dalam dunia yang kian cepat berubah, istilah “geopolitik” terdengar sangat jauh dari dapur, ruang tamu, dan meja makan keluarga. Ia seolah milik para diplomat, tentara, atau kepala negara yang sibuk membaca peta dunia dan mengatur strategi.
Sementara “ketahanan keluarga” lebih akrab dengan bagaimana orang tua membesarkan anak, mengelola keuangan rumah tangga, serta menjaga kehangatan psikologis dalam relasi suami-istri. Tetapi keduanya sebenarnya saling terhubung, bahkan dapat saling menentukan.
Ketika sebuah negara kuat dalam geopolitik, ketahanan sosial dan mental warganya juga bergantung pada stabilitas unit terkecil, yakni keluarga. Begitu pula sebaliknya, keluarga yang rapuh dapat membuat bangsa mudah goyah menghadapi tekanan global, baik berupa konflik ideologis, ekonomi, maupun informasi digital yang menghantam tanpa ampun.
Maka, membaca geopolitik bukan hanya soal batas negara dan peta kekuasaan, tetapi juga bagaimana kita menjaga rumah sebagai titik awal pembentukan ketahanan kolektif.
Memperluas Makna Geopolitik dan Ketahanan KeluargaDalam pengertian klasik, geopolitik adalah kajian tentang bagaimana letak geografis sebuah wilayah berpengaruh terhadap politik, ekonomi, dan pertahanan negara. Hal ini disampaikan oleh Rudolf Kjellén, ilmuwan Swedia yang pertama kali memperkenalkan istilah geopolitik pada awal abad ke-20.
Geopolitik menjadi alat negara untuk bertahan dan memperluas pengaruhnya. Namun, dalam konteks hari ini, geopolitik tidak hanya soal perbatasan darat dan laut, tetapi juga tentang informasi, teknologi, dan nilai-nilai kehidupan.
Ambil contoh, konflik geopolitik di Timur Tengah yang berkepanjangan bukan hanya memengaruhi stabilitas kawasan, tetapi juga berdampak pada diaspora, ekonomi minyak global, hingga pola migrasi penduduk. Negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, juga merasakan dampaknya melalui fluktuasi harga pangan dan energi.
Namun, ada yang sering luput dari pembacaan geopolitik—bagaimana masyarakat di tingkat akar harus memiliki ketahanan agar tidak mudah terbawa arus ideologi destruktif, radikalisme, atau polarisasi politik. Di sinilah keluarga memegang peran sentral.
Ketahanan keluarga (family resilience) sering didefinisikan sebagai kemampuan keluarga untuk bertahan, beradaptasi, dan bangkit dari tekanan hidup. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pernah menyebut tiga poin ketahanan keluarga: ketahanan fisik-ekonomi, ketahanan sosial-psikologis, dan ketahanan nilai-kebudayaan.
Pakar psikolog perkembangan, Urie Bronfenbrenner, menjelaskan bahwa perkembangan individu tidak pernah terlepas dari konteks ekosistem sosial yang paling dekat, yakni keluarga. Dari keluarga kita belajar nilai, rasa aman, cara menyelesaikan konflik, serta kemampuan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Jika keluarga gagal memberikan fondasi itu, maka individu akan mudah terombang-ambing dalam tekanan sosial dan ideologis yang datang dari luar.
Ketika tekanan global meningkat, seperti krisis ekonomi, pandemi, konflik geopolitik, atau disrupsi digital, keluarga yang rapuh akan mengalami guncangan lebih berat. Mereka lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, radikalisasi, atau stres sosial yang berujung pada masalah kesehatan mental.
Perempuan, Narasi Media dan Ancaman Ketahanan NilaiDalam era digital, geopolitik juga hadir dalam bentuk perang informasi. Tidak ada lagi batas tegas antara ruang privat dan publik. Gawai yang kita pegang membuka gerbang dunia, sekaligus membiarkan penetrasi budaya dan nilai dari luar masuk tanpa filter.
Studi dari Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa 62% anak dan remaja mendapatkan wawasan politik dari media sosial, bukan dari sekolah, buku, atau keluarga. Kita tidak lagi hanya mengonsumsi berita, tetapi juga opini, agitasi, dan propaganda. Keluarga yang tidak memiliki kemampuan dialog kritis dapat menjadi ruang yang rentan terhadap konflik dan perpecahan.
Mubadalah mengajarkan pentingnya relasi bermitra (mutuality) dalam keluarga. Suami-istri bukan rival, tetapi rekan sejalan dalam merawat kehidupan. Nilai ini penting dalam menghadapi arus informasi global yang bisa mengikis rasa saling percaya. Ketahanan keluarga dapat dibangun ketika ruang dialog dibuka, saling mendengar diutamakan, dan keputusan diambil bersama, bukan dengan dominasi.
Dalam konteks geopolitik, perempuan sering berada di titik paling rentan, tetapi juga paling strategis. Organisasi PBB untuk Perempuan (UN Women) menemukan bahwa perempuan berperan penting dalam menjaga stabilitas komunitas pasca-konflik, karena mereka memiliki kedekatan langsung dengan jaringan sosial rumah tangga dan komunitas.
Di Indonesia, perempuan sering menjadi “arsitek batin keluarga”. Mereka memastikan anak-anak tetap merasa aman, suami tetap terarah, dan rumah tetap menjadi tempat pulang. Namun, ini bukan berarti perempuan harus memikul beban sendirian.
Pendekatan Mubadalah justru menekankan bahwa relasi dalam keluarga harus berbasis kesalingan: suami dan istri bekerja sama, saling menopang, saling menguatkan. Ketika pembagian peran dilakukan secara adil, ketahanan keluarga meningkat, dan dampaknya akan terasa pada ketahanan sosial bangsa.
Menghubungkan Rumah dan NegaraMenjaga ketahanan keluarga adalah sebuah tindakan politik, dalam arti paling dasar yakni upaya merawat kehidupan bersama. Ketika keluarga menjadi ruang yang aman, sehat, dan adil, anak-anak tumbuh dengan karakter kuat. Mereka menjadi warga yang mampu berpikir kritis, berempati, dan berkontribusi bagi masyarakat.
Di sinilah hubungan antara dapur rumah dan peta dunia menjadi nyata. Geopolitik boleh memetakan kekuatan negara, tetapi kekuatan itu tidak akan berarti jika unit terkecilnya rapuh. Sebaliknya, keluarga yang resilien adalah pondasi bangsa yang kokoh menghadapi tekanan global.
Kita sering membayangkan geopolitik sebagai sesuatu yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, sesungguhnya ia dimulai dari ruang-ruang kecil: obrolan di meja makan, cara kita merespons perbedaan pendapat, bagaimana kita mendidik anak, serta bagaimana keluarga menjadi ruang aman untuk kembali.
Bangsa yang kuat bukan hanya memiliki angkatan bersenjata yang siap perang, tetapi juga keluarga yang mampu merawat kasih sayang, membangun keadilan relasional, dan menumbuhkan keberanian menghadapi dunia. Dari rumah, kita membangun negara. Dari keluarga, kita menyusun masa depan.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5442047/original/047029300_1765524766-PHOTO-2025-12-12-13-30-38.jpg)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5441161/original/017121600_1765455514-Richie.jpg)