Penulis: Nisa Alfiani
TVRINews, Jakarta
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui capaian universal health coverage (UHC) Indonesia masih belum optimal jika dibandingkan dengan banyak negara lain.
Hal itu tercermin dari laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2023 yang menempatkan Indonesia pada skor 57 dari 100, atau peringkat 66 dari sekitar 100 negara.
“Posisi kita masih sedikit di bawah rata-rata global,” ujar Budi dalam keterangan resmi yang dikutip, Sabtu (13/12/2025).
Menurut Budi, rendahnya nilai tersebut tidak bisa hanya dilihat dari jumlah kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia menilai, persoalan utama terletak pada pemahaman dan penerapan konsep UHC secara utuh sebagaimana didefinisikan WHO.
Ia menjelaskan, UHC bukan sekadar kepemilikan kartu jaminan kesehatan. Konsep tersebut menuntut seluruh masyarakat memperoleh layanan kesehatan yang lengkap, bermutu, tersedia kapan pun dan di mana pun, serta tidak menimbulkan beban biaya.
“Di situ ada tiga prasyarat utama: layanan harus bisa diakses, mutunya harus terjamin, dan masyarakat tidak terbebani secara finansial. Kalau salah satu tidak ada, UHC belum tercapai,” katanya.
Budi menyoroti kenyataan di lapangan, di mana banyak warga telah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, namun tidak mendapatkan layanan saat membutuhkan. Ketiadaan fasilitas, keterbatasan alat, hingga mutu layanan yang belum memadai masih menjadi hambatan.
“Ada yang punya jaminan kesehatan, tapi ketika sakit serius tidak tertangani karena fasilitasnya tidak tersedia atau tidak berfungsi,” ujarnya.
Kondisi tersebut, lanjut Budi, menjadi alasan mengapa capaian UHC Indonesia masih tertinggal. Namun ia menyebut laporan WHO terbaru pada 2025 menunjukkan tren perbaikan.
“Skornya meningkat menjadi 66. Kita sudah melewati rata-rata global, meski di kawasan ASEAN masih banyak negara yang berada di atas Indonesia,” katanya.
Untuk mempercepat peningkatan UHC, Budi menekankan perlunya pembenahan tata kelola sektor kesehatan, khususnya pemisahan peran antara pembuat kebijakan dan pelaksana.
Ia menegaskan, Kementerian Kesehatan berfungsi sebagai regulator yang menetapkan aturan dan arah kebijakan kesehatan nasional. Sementara BPJS Kesehatan menjalankan kebijakan tersebut di sisi pembiayaan. Adapun layanan farmasi, fasilitas primer, dan rumah sakit memiliki peran pelaksana masing-masing.
“Kalau perannya tumpang tindih dan tidak jelas, hasilnya tidak maksimal. Itu yang sedang kita luruskan sekarang,” tegasnya.
Budi memastikan, penataan ulang peran tersebut menjadi bagian penting dari upaya pemerintah untuk memperbaiki akses dan mutu layanan kesehatan, sehingga capaian UHC tidak hanya terlihat di atas kertas, tetapi benar-benar dirasakan masyarakat.
Editor: Redaktur TVRINews





