Dalam dunia kerja modern, konflik tidak selalu ditandai dengan suara keras, rapat tegang, atau email bernada tinggi. Justru, di banyak organisasi, konflik bekerja dalam bentuk yang lebih halus: keheningan. Pesan yang tidak dibalas, tidak diundangnya seseorang ke rapat, atau tugas yang perlahan-lahan dialihkan tanpa penjelasan. Pola-pola ini terlihat sepele, namun dampaknya terhadap iklim kerja dan produktivitas sangat nyata.
Laporan Gallup Global Workplace 2024 menunjukkan bahwa engagement karyawan global berada pada titik terendah dalam satu dekade. Salah satu penyebabnya adalah gaya kepemimpinan yang dingin, tidak komunikatif, dan minim empati. Diam yang sering dianggap 'aman', ternyata bisa lebih menyakitkan daripada konflik terbuka.
Silent Treatment: 'Diam' yang Merusak Rasa AmanSilent treatment kerap disamarkan sebagai upaya 'mendinginkan suasana'. Padahal, penelitian psikologi kerja menunjukkan bahwa pengabaian sosial dapat menghasilkan rasa sakit emosional yang setara dengan rasa sakit fisik. Riset Williams dan Nida dari Purdue University menegaskan bahwa ostracism memicu aktivasi saraf di area otak yang sama dengan nyeri fisik.
Di kantor, silent treatment muncul dalam bentuk atasan yang menghindari komunikasi, rekan kerja yang tiba-tiba menjauh, atau manajer yang tidak memberikan arahan ketika karyawan justru membutuhkannya. Yang menjadi korban biasanya tidak tahu apa yang salah, tapi merasakan dampaknya: cemas, bingung, dan bekerja dalam ketidakpastian.
Studi McKinsey (2023) mencatat bahwa hilangnya kejelasan ekspektasi dan melemahnya hubungan interpersonal adalah pemicu utama munculnya quiet quitting, yakni kondisi ketika karyawan memilih bekerja sekadarnya tanpa inisiatif lebih. Diam melahirkan diam.
Quiet Firing: Cara Pelan-Pelan 'Membuat Tidak Betah'Jika silent treatment adalah pengabaian, quiet firing adalah eliminasi pelan-pelan. Harvard Business Review menyebutnya termination by erosion: pemecatan yang dilakukan dengan mengikis kondisi kerja hingga karyawan memilih keluar sendiri.
Ciri-cirinya mudah dikenali:
Tidak lagi dilibatkan dalam rapat penting
Diberi tugas yang tidak relevan dengan posisi
Hak akses sistem dicabut atau dibatasi
Target dinaikkan tanpa dukungan yang setara
Feedback berupa kritik tanpa rencana perbaikan
ResumeBuilder pada 2023 menemukan bahwa satu dari tiga manajer mengaku pernah menerapkan quiet firing karena dianggap lebih 'aman' secara hukum daripada PHK langsung.
Di Indonesia, fenomena ini makin terasa pascapandemi, ketika perusahaan menghadapi tekanan biaya dan harus menghindari risiko hukum ketenagakerjaan. Quiet firing menjadi pintu belakang untuk mengurangi karyawan tanpa drama.
Cooling Down: Jeda yang Sering DisalahpahamiKeheningan tidak selalu bernada negatif. Dalam beberapa situasi, atasan memang perlu mengambil waktu untuk meredam emosi agar tidak mengambil keputusan impulsif. Teknik ini, yang dikenal sebagai cooling down, terbukti efektif dalam manajemen konflik operasional.
Namun, masalah muncul saat cooling down dilakukan tanpa komunikasi. Tanpa penjelasan bahwa ini hanya jeda sementara, cooling down dapat disalahartikan sebagai silent treatment. Survei SHRM (2024) menemukan bahwa 58% karyawan tidak tahu apakah diamnya atasan adalah strategi profesional atau bentuk hukuman terselubung.
Perbedaannya sebenarnya jelas:
Cooling down → jeda terencana, bertujuan meredakan emosi.
Silent treatment → penghukuman sosial lewat pengabaian.
Quiet firing → strategi sistematis membuat karyawan tersingkir.
Ketiga istilah ini sering bercampur dalam praktik, dan kerancuan inilah yang membuat iklim kerja menjadi toksik.
Ketika Diam Berubah Menjadi Budaya OrganisasiDi banyak perusahaan, keheningan berkembang menjadi budaya, bukan lagi insiden. Penyebabnya beragam:
Atasan takut dianggap keras jika menegur langsung
Karyawan takut bicara karena khawatir dicap melawan
HR memilih diam demi kenyamanan politik
Rekan kerja enggan terlibat konflik
Penelitian MIT Sloan Management Review (2023) menegaskan bahwa budaya toksik, salah satunya budaya 'dana-diam' atau withheld communication, merupakan prediktor terbesar turnover karyawan, bahkan lima kali lebih kuat daripada faktor gaji rendah.
Diam bukan lagi strategi; ia berubah menjadi penyakit organisasi.
Dampaknya Akut: Produktivitas Turun Tanpa TerlihatKerusakan akibat keheningan mungkin tidak langsung terlihat. Karyawan tetap hadir, tetap menyelesaikan pekerjaan. Namun, mereka bekerja dalam mode “bertahan hidup”.
Beberapa dampak yang sering muncul:
Kreativitas merosot karena karyawan takut salah langkah
Kecepatan kerja turun akibat minimnya arahan jelas
Rasa memiliki menurun karena karyawan merasa tidak lagi dianggap
Koordinasi melemah akibat fragmentasi informasi
WHO (2022) memperkirakan stres kerja, termasuk yang disebabkan pola manajerial buruk, menimbulkan kerugian ekonomi global lebih dari USD 1 triliun per tahun.
Pada titik ini, keheningan bukan lagi pilihan aman, melainkan sumber biaya tak terlihat yang semakin membesar.
Mengubah Keheningan Menjadi Dialog: Apa yang Bisa Dilakukan?Fenomena silent treatment dan quiet firing dapat diatasi, asalkan perusahaan berani membangun budaya komunikasi yang sehat. Beberapa langkah kunci:
1. Membangun sistem komunikasi dua arah yang wajib dipatuhiManajer perlu SOP jelas tentang kapan harus bicara, kapan harus jeda, dan bagaimana memberi teguran tanpa merendahkan. Gallup menunjukkan bahwa 70% varians engagement ditentukan oleh kualitas atasan langsung.
2. Menjadikan cooling down sebagai teknik resmiCooling down harus disampaikan secara eksplisit:
Ada durasi waktu (misalnya 12–24 jam)
Ada pesan verbal: 'Kita jeda dulu, kita lanjutkan besok'
Ada tujuan jelas: meredakan situasi, bukan menghukum
Tanpa itu, cooling down akan tampak seperti silent treatment.
3. Menerapkan metode feedback terstrukturModel SBI (Situation–Behavior–Impact) dapat membantu atasan mengkomunikasikan masalah dengan spesifik tanpa merusak hubungan.
4. Melatih manajer dalam conflict coachingRiset Deloitte (2024) menunjukkan pelatihan kepemimpinan berbasis empati mampu menurunkan turnover hingga 40%. Atasan yang terlatih tidak akan mengandalkan diam sebagai senjata.
5. Membangun budaya speak-up yang amanKaryawan harus merasa memungkinkan menyampaikan ketidaknyamanan tanpa ancaman. Perusahaan dengan budaya speak-up terbukti memiliki tingkat konflik lebih rendah dan retensi lebih baik.
Keheningan Tidak Pernah Benar-Benar NetralDalam organisasi, diam bukan sekadar tidak berbicara. Diam bisa menjadi cara mengontrol, menghukum, atau menghindar. Jika tidak dikelola dengan bijak, silent treatment dan quiet firing akan menjadi bagian identitas perusahaan, dan merusak produktivitas dari dalam.
Pada akhirnya, yang membuat organisasi bertahan bukanlah siapa yang paling keras atau paling diam, tetapi siapa yang mampu menciptakan ruang dialog yang manusiawi. Produktivitas lahir dari komunikasi yang terbuka, jujur, dan adil, bukan dari keheningan yang mendidih.





