EtIndonesia. Kisah Septiana Huta Barat menjadi cerminan keputusasaan warga yang terperangkap isolasi pasca bencana banjir dan longsor di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Rela berjalan kaki selama tiga hari, ia menembus daerah yang terisolasi total demi mencari kabar kedua orang tuanya di Kota Sibolga.
Bencana tersebut telah memutus akses jalan dan membuat jalur komunikasi menjadi sangat terbatas. Septiana, bersama puluhan warga lainnya, terpaksa harus melewati medan curam dan berlumpur dalam perjalanannya dari Tarutung ke Sibolga.
“Jalanlah kami dari rimba-rimba ini kayak gila kami jalan menuju hulu bukit lagi,” tuturnya, menggambarkan kerasnya perjuangan.
Septiana berangkat dari Tarutung hanya berbekal makanan seadanya. Dalam perjalanan yang memakan waktu hampir empat hari—dihitung sejak hari Kamis hingga hari Minggu—ia dan warga lain terkadang mendapat makan saat melintas desa dan mencari tumpangan untuk singgah bermalam.
Mereka bahkan menginap di tempat orang, yang berbaik hati memberikan mereka makan dan baju. Beruntung, sebelum tiba di Sibolga, Septiana berhasil berjumpa dengan adiknya, yang mengabarkan bahwa kedua orang tuanya selamat, sehat, dan memiliki cukup bekal untuk beberapa hari ke depan.
Krisis Logistik dan Skema Penanganan yang BerubahLongsor di ruas jalan Tapanuli Utara menuju Sibolga merupakan longsor paling panjang dan berat di area yang terisolasi tersebut. Akibatnya, sejumlah warga yang masih bertahan mulai kekurangan stok kebutuhan pokok.
Sejak hari pertama bencana, tim SAR terus berupaya membuka jalur. Kini, penanganan yang melibatkan TNI Angkatan Darat (khususnya Kodam 1 Bukit Barisan sebagai pengendali wilayah), BNPB, Angkatan Laut (dengan kapal yang mulai masuk ke wilayah Sibolga), dan Angkatan Udara, menunjukkan pergeseran strategi.
Skema penanganan sudah mulai sedikit berubah. Jika sebelumnya fokus adalah distribusi logistik melalui airdrop menggunakan Hercules atau heli, atau dorongan logistik ke Lanut Swondo dan pangkalan lain, kini penanganan sudah mulai mengarah pada pendekatan yang lebih “humanis”.
Rencana terbaru mencakup distribusi logistik non-sembako. Pembahasan mengenai rencana distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah mulai dipaparkan, mengingat pasokan sebelumnya sempat terhambat karena adanya genangan yang cukup tinggi di sekitar daerah Belawan. Komunikasi juga mulai bertahap pulih setelah distribusi starting diberikan di posko atau titik lain.
Pertarungan Melawan Lumpur dan BatuPemulihan akses jalan terus dilakukan, baik siang, sore, maupun malam. Ini merupakan kunci agar pendistribusian bantuan tidak hanya mengandalkan metode airdrop yang mahal dan terbatas.
Namun, upaya pembersihan dan pembangunan jalan menghadapi kendala serius. Kendala tersebut tidak hanya cuaca, tetapi juga medan berat berupa jalan terputus, batu besar, dan lumpur tebal. Kecepatan untuk menyelesaikan pembersihan melambat ketika medan semakin berat.
Batalion Zen Tempur 1 Kota Bukit Barisan terus melaksanakan pembersihan dan recovery. Mereka menggunakan alat berat untuk memindahkan batu dan memastikan bahwa jalan tersebut aman. Meskipun jalan umum dari Tapanuli menuju Sibulani belum sepenuhnya bisa menembus sampai Sibolga, akses tersebut terus dibuka secara perlahan.
Hari demi hari, distribusi logistik baik melalui door lock maupun airdrop terus dilakukan, dengan harapan titik-titik yang belum tersentuh akan segera terlayani, sehingga distribusi menjadi semakin merata bagi masyarakat terdampak. Pemetaan wilayah yang luas ini terus dilakukan oleh TNI/POLRI untuk menentukan area mana yang membutuhkan rekonstruksi jalan atau distribusi logistik.
Upaya pemulihan di Tapanuli Utara ini ibarat membuka pintu lemari besi yang tertutup lumpur dan batu besar. Distribusi bantuan melalui airdrop adalah seperti menyelipkan surat atau makanan kecil melalui celah-celah pintu yang sempit, sementara Batalion Zen Tempur yang bekerja siang malam adalah kunci utama yang perlahan tapi pasti, meski dihambat oleh kerasnya material, sedang memutar mekanisme untuk membuka pintu akses utama agar bantuan besar bisa masuk. (Yud)





