SAAT menonton film dengan adegan kekerasan, sering kali penonton ikut merasakan sakit atau secara naluriah membuat meringis. Ternyata respon tubuh tersebut memiliki alasan ilmiah. Para scientists dari University of Reading, Free University Amsterdam, dan Minnesota, Amerika Serikat, telah menemukan petunjuk penting alasan mengapa hal itu terjadi.
Para ilmuan menemukan bahwa bagian otak yang awalnya dianggap hanya memproses penglihatan ternyata dapat memicu gema sensasi sentuhan.
Dikutip dari laman dikutip dari laman University of Reading, studi yang diterbitkan pada Rabu, 26 November di jurnal Nature menunjukkan bahwa menonton film dapat mengaktifkan area pemrosesan sentuhan di otak dengan cara yang sangat terorganisir. Singkatnya, otak tidak hanya menonton, tetapi juga mensimulasikan apa yang dilihatnya.
"Ketika melihat seseorang digelitik atau terluka, area otak yang memproses sentuhan akan menyala dalam pola yang sesuai dengan bagian tubuh yang terlibat," kata Penulis utama dari Pusat Neurosains Integratif dan Neurodinamika di University of Reading, Dr. Nicholas Hedger dikutip pada Sabtu (13/12).
Otak manusia memetakan apa yang dilihat ke tubuh, dan tubuh akan mensimulasikan sensasi sentuhan meskipun tidak ada hal fisik yang terjadi.
“Interaksi silang ini juga berlaku sebaliknya. Misalnya, ketika seseorang menuju kamar mandi dalam gelap, sensasi sentuhan membantu sistem visual menciptakan peta internal tentang letak berbagai hal, bahkan dengan masukan visual yang sangat minimal. Ini mencerminkan kerja sama berbagai indera manusia untuk menghasilkan gambaran dunia yang jelas," ujar dia.
Untuk menunjukkan bagaimana mungkin indra peraba diaktifkan murni oleh informasi visual, para peneliti mengembangkan metode baru untuk menganalisis aktivitas otak. Para peneliti melibatkan 174 orang untuk menonton film The Social Network dan Inception.
Secara mengejutkan, wilayah otak yang secara tradisional dianggap memproses informasi visual murni menunjukkan pola yang mencerminkan sensasi pada tubuh penonton, bukan hanya apa yang muncul di layar.
"Penemuan ini dapat mengubah cara kita memahami kondisi seperti autisme. Banyak teori menunjukkan bahwa simulasi internal terhadap apa yang kita lihat membantu kita memahami pengalaman orang lain, dan proses ini mungkin bekerja secara berbeda pada orang autis," ujar dr Hedger.
Tes sensorik tradisional sangat melelahkan, terutama untuk anak-anak atau orang dengan kondisi klinis. (H-2)





:strip_icc()/kly-media-production/medias/5443279/original/032970500_1765652127-1000100970.jpg)