Ada tiga hal yang menjadi hambatan mengapa korupsi makin sulit dilawan. Ketiganya terkait komitmen regulasi dan kelembagaan yang melemah, perilaku elite yang abai pada korupsi, dan makin ”maklumnya” publik pada perilaku antirasuah ini. Integritas yang melemah menjadi benang merah ketiganya.
Ketiga hal yang menghambat agenda pemberantasan korupsi ini sudah berlangsung hampir tiga dekade pascareformasi. Poin pertama terkait komitmen kelembagaan dan regulasi terkait dengan direvisinya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Revisi ini ”melucuti” sejumlah kewenangan KPK yang sebelumnya justru menjadi senjata ampuh untuk memberantas korupsi.
Setelah UU KPK direvisi, peran lembaga cenderung melemah, apalagi ditambah dengan sejumlah sorotan publik yang menyangkut pelanggaran etika yang menjerat para penyidik dan pimpinan lembaga ini.
Hasil survei Litbang Kompas mencatat, setelah kiprah KPK cenderung melemah, citra lembaga ini cenderung menurun. Jika sebelumnya citra KPK sebelum UU-nya direvisi, rata-rata di atas 75 persen. Setelah perannya melemah pascarevisi, citra lembaga ini cenderung rata-rata turun di bawah 65 persen.
Jajak pendapat Litbang Kompas lainnya, yakni yang digelar pada Mei 2024, juga merekam bagaimana publik menilai apa yang terjadi di KPK setelah UU direvisi. Salah satu kelemahan yang banyak disebutkan responden saat itu adalah banyaknya intervensi dari pihak lain sehingga pemberantasan korupsi berjalan lambat.
Selain KPK yang peran dan kiprahnya melemah akibat kewenangannya dibatasi, sejumlah regulasi dalam perundang-undangan juga belum menunjukkan arah yang jelas pada komitmen pemberantasan korupsi. Sebut saja RUU Perampasan Aset, misalnya, yang sudah puluhan tahun digagas, sampai hari ini juga belum jelas ujungnya kapan akan diselesaikan.
Padahal, kehadiran RUU Perampasan Aset ini ditunggu oleh publik. Setidaknya ini terekam dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang digelar Mei 2025. Hasil jajak pendapat menyebutkan, mayoritas responden (92,5 persen) berharap RUU Perampasan Aset ini dapat segera dibahas dan disetujui oleh DPR dan pemerintah (Kompas, 16/6/2025).
Presiden Prabowo Subianto juga sudah menunjukkan komitmennya pada RUU Perampasan Aset ini. Hal ini pernah ia kemukakan dalam pidato peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2025. Di pidato tersebut, Presiden Prabowo menyinggung agar RUU Perampasan Aset segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Pada awal Juni 2025, Presiden Prabowo juga melakukan komunikasi dengan pimpinan partai politik agar mendukung pembahasan RUU Perampasan Aset (Kompas, 4/6/2025). Namun, sampai saat ini belum jelas ke mana arah RUU Perampasan Aset ini.
Hal ini makin menegaskan, faktor pertama, yakni kelembagaan KPK yang melemah dan regulasi yang kurang memberi ruang bagi penguatan pemberantasan korupsi, harus diakui menjadi tantangan yang tak mudah bagi upaya perlawanan pada praktik-praktik korupsi.
Tantangan kedua adalah masih maraknya perilaku elite politik yang abai pada perilaku korupsi. Sepanjang 2025, sudah ada lima kepala daerah yang terjerat korupsi.
Kepala daerah pertama yang terjerat korupsi adalah Abdul Azis, Bupati Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ia ditangkap KPK pada 7 Agustus 2025 atas dugaan suap proyek sebesar Rp 9 miliar.
Kepala daerah kedua yang tertangkap KPK adalah Gubernur Riau Abdul Wahid pada 5 November 2025 atas dugaan pemerasan proyek di Dinas PUPR Riau. Abdul Wahid diduga menerima uang sekitar Rp 7 miliar terkait proyek tersebut.
Disusul kemudian pada 7 November 2025 KPK menangkap Bupati Ponorogo, Jawa Timur, Sugiri Sancoko. Sugiri ditangkap atas dugaan kasus suap dan gratifikasi terkait jual beli jabatan. Ia diduga menerima uang sebesar Rp 900 juta dan Rp 1,4 miliar dari fee proyek.
Sebulan kemudian, tepatnya 10 Desember 2025, dua kepala daerah juga terjerat kasus dugaan korupsi. Keduanya adalah Bupati Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Ardito Wijaya yang diduga terlibat kasus suap proyek.
Hal yang sama juga dialami Wakil Wali Kota Bandung Erwin Affandi yang ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Negeri Bandung atas dugaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa di wilayah pemerintahan Kota Bandung.
Rentetan lima kepala daerah yang ditangkap akibat terlibat dugaan kasus korupsi ini makin menegaskan, seberapa isu korupsi gencar menjadi musuh bersama tidak kemudian menyurutkan niat dan tindakan elite untuk terlibat dalam kasus suap, gratifikasi, dan pemberian fee proyek-proyek pemerintah. Belum lagi dengan modus-modus jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan yang melibatkan kepala daerah.
Salah satu faktor yang mendorong masih terbukanya perilaku elite melakukan tindakan korup adalah tak lepas dari masih tingginya biaya politik yang harus dihabiskan oleh para kepala daerah tersebut keluarkan saat kontestasi di pilkada.
Hal ini juga dikuatkan dengan hasil kajian Indonesia Corruption Watch yang menyebutkan, mayoritas kepala daerah terjerat korupsi setelah dilakukannya pilkada langsung.
Hal yang sama juga menjadi temuan dari penelitian Mietzner (2015) serta riset yang dilakukan Aspinall dan Berenschot (2019) yang menyimpulkan bahwa pilkada menciptakan high cost democracy.
Tak heran, jika kemudian dengan biaya politik yang mahal, ketika kepala daerah sudah berkuasa, cenderung memanfaatkan pengaruh dan kedudukannya untuk mencari keuntungan ekonomi.
Faktor ketiga yang memengaruhi pemberantasan korupsi yang akhir-akhir ini cenderung melemah adalah munculnya gejala masyarakat yang kian permisif terhadap agenda ini. Hasil Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kecenderungan kesadaran publik makin menurun terhadap kesadaran perilaku antikorupsi.
IPA merupakan indeks yang mengukur sikap dan pengalaman masyarakat terhadap perilaku antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari. Hasil IPAK 2024 mencatat, angka indeks perilaku antikorupsi di masyarakat berada di angka 3,85.
Angka ini menurun jika dibandingkan IPAK 2023 yang mencapai 3,92. Penurunan angka indeks ini menunjukkan makin melemahnya pemahaman dan penilaian masyarakat terkait perilaku antikorupsi.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas juga merekam terkait sikap publik pada kasus-kasus korupsi yang menjerat sejumlah kepala daerah sepanjang tahun 2025 ini.
Sebanyak 69,9 persen responden menyatakan biasa saja atau tidak kaget ketika ada kepala daerah terjerat kasus korupsi. Kerapnya isu korupsi yang identik dengan kepala daerah, boleh jadi semakin membuat publik tak memandang lagi kasus korupsi sebagai hal baru yang mengagetkan.
Tiga faktor yang menjadi tantangan agenda pemberantasan korupsi ini juga makin kuat dengan data dari KPK terkait Survei Penilaian Integritas (SPI).
Sepanjang lima tahun terakhir sejak survei ini dilakukan, hasilnya angka indeksnya masih konsisten berada di kategori integritas yang rentan. Kondisi integritas yang masih rentan ini membuka lebar peluang terjadinya praktik korupsi. (Litbang Kompas)
Serial Artikel
Pemerintah Berganti, Korupsi Tak Terganti
Praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah ternyata tetap saja terjadi di tengah harapan masyarakat akan adanya perubahan di era pemerintahan yang baru.




