Usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD kembali mengemuka di tengah maraknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. Berulangnya operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi kerap dijadikan legitimasi untuk menilai pilkada langsung sebagai sumber persoalan, terutama karena tingginya biaya politik yang harus ditanggung oleh kandidat dalam proses kontestasi.
Begitu pula setelah operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) yang menjerat mantan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, Rabu (10/12/2025). Kepala daerah yang baru sekitar 10 bulan menjabat itu diduga menerima aliran dana Rp 5,75 miliar dari sejumlah rekanan penyedia barang dan jasa. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 5,25 miliar di antaranya diduga digunakan untuk melunasi pinjaman bank yang sebelumnya dipakai membiayai kampanye Pilkada 2024.
Ardito menjadi pimpinan daerah kelima hasil Pilkada 2024 yang tersandung kasus korupsi. Sebelumnya, KPK menangkap Gubernur Riau Abdul Wahid, Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko. Selain itu, Wakil Wali Kota Bandung Erwin pun ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Khusus Erwin, ditangani oleh penyidik Kejaksaan Negeri Kota Bandung.
Melihat banyaknya pimpinan daerah yang tersangkut kasus korupsi ketika belum genap menjabat setahun, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan akan melakukan evaluasi. Evaluasi salah satunya terkait mekanisme pilkada. Menurutnya, pilkada langsung tidak serta-merta dapat menjaring yang terbaik. Mantan Kapolri itu juga menyinggung pilkada lewat DPRD yang disebut tidak melanggar UUD 1945.
Pernyataan Tito ini hanya berselang sepekan dari usulan perubahan sistem pilkada yang disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Di hadapan Presiden Prabowo saat acara puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-61 Partai Golkar, Bahlil menyuarakan perubahan pilkada menjadi dipilih oleh DPRD dengan alasan pilkada langsung berbiaya tinggi. Presiden Prabowo pun merespons usulan ini dengan menyatakan akan mempertimbangkannya.
Namun, jika ditilik ke belakang, anggapan bahwa pilkada melalui DPRD dapat menekan biaya politik tidak sepenuhnya benar.
Seperti diketahui, sebelum pilkada langsung mulai diterapkan pada 2005, sistem pilkada oleh DPRD pernah diterapkan di era Orde Baru hingga awal Reformasi, persisnya sampai 2004. Pengalaman pada era pilkada melalui DPRD ini, biaya politik justru berpindah dari ruang publik ke transaksi tertutup di lingkaran elite parlemen daerah.
Merujuk dua artikel Kompas berjudul "Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Anggota Dewan, Kiri-Kanan Oke" (14 Maret 2000) dan "Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Kejarlah Calon Gubernur, Uang Kutangkap" (15 Maret 2000), politik uang terjadi saat pilkada melalui DPRD. Praktik politik uang berlangsung dengan pola yang relatif seragam, melibatkan kandidat, partai politik, serta anggota DPRD sebagai pengambil keputusan utama.
Dalam Pemilihan Bupati Sukoharjo pada Januari 2000, hampir seluruh bakal calon dilaporkan mengeluarkan dana besar untuk mengamankan dukungan fraksi. Sejumlah kandidat disebut menghabiskan hingga Rp 500 juta hanya untuk tahap pencalonan.
Fenomena serupa muncul di Boyolali pada Februari 2000, ketika suara fraksi mayoritas DPRD justru berpindah dalam pemungutan suara. Rumor yang beredar saat itu menyebutkan harga satu suara anggota DPRD berkisar Rp 50 juta hingga Rp 75 juta, disertai praktik “karantina” anggota dewan di rumah calon menjelang pemilihan.
Praktik transaksi politik lebih vulgar di Lampung Selatan. Dalam proses pemilihan bupati periode 2000–2005, tim sukses calon bupati mendatangi rumah anggota DPRD, menginapkan mereka di hotel, hingga memberikan uang tunai dengan nilai bervariasi. Sejumlah anggota DPRD mengaku menerima uang antara Rp 10 juta hingga Rp 25 juta, tergantung pada posisi mereka sebagai anggota atau pimpinan fraksi.
Namun, setelah kandidat yang didukung kalah, sebagian anggota DPRD diminta mengembalikan uang yang telah diterima. Total dana yang dikeluarkan kandidat dalam satu kontestasi pilkada di daerah ini dilaporkan mencapai sekitar Rp 2,1 miliar, termasuk biaya hotel dan tempat hiburan yang sebagian tidak dilunasi dan menimbulkan utang lebih dari Rp 150 juta.
Di Surabaya, pemilihan wali kota periode 2000–2005 juga dibayangi dugaan kuat politik uang. Sejumlah calon mengaku mengeluarkan dana ratusan juta rupiah selama proses penjaringan dan pemilihan.
Seorang calon wali kota menyebut telah menghabiskan hampir Rp 400 juta, termasuk pemberian yang disebut sebagai “uang Lebaran” kepada fraksi DPRD senilai Rp 10,5 juta. Tawaran kepada anggota DPRD tidak hanya berupa uang tunai, tetapi juga fasilitas menginap di hotel, kendaraan, hingga rumah.
Liputan Kompas juga mencatat praktik serupa terjadi di pemilihan gubernur. Dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Barat pada Februari 2000, isu politik uang mencuat setelah beredarnya informasi penjualan suara fraksi di DPRD. Sejumlah anggota DPRD mengaku menerima uang dari bakal calon gubernur, dengan nominal mulai dari Rp 2 juta. Bahkan, suara dukungan untuk satu fraksi bisa mencapai Rp 500 juta. Seorang pimpinan partai daerah disebut menjual dukungan tiga suara dengan nilai Rp 1,5 miliar, meski tudingan tersebut dibantah oleh pihak terkait.
Di Padangpariaman, praktik “karantina” anggota DPRD menjelang pemilihan bupati memicu kecaman publik. Sejumlah anggota dewan dikumpulkan di satu lokasi untuk memastikan arah dukungan, sebuah praktik yang oleh masyarakat setempat dipandang tak terpisahkan dari transaksi politik.
Fenomena jual suara juga mencuat di Depok, ketika pemilihan wali kota melalui DPRD pada Februari 2000 memperlihatkan adanya anggota DPRD yang tidak mendukung calon dari partainya sendiri, melainkan mengalihkan suara ke calon dari partai lain.
Adapun dalam Pemilihan Wali Kota Bukittinggi, pasangan calon yang unggul di lima dari enam putaran pemilihan, justru kalah di putaran akhir setelah terjadi perubahan suara abstain. Perubahan tersebut memicu dugaan bahwa suara abstain telah diperdagangkan untuk mengubah hasil akhir pemilihan. Pola manipulasi prosedural juga muncul di Pemilihan Bupati Agam ketika tujuh suara sah dibatalkan dan terjadi pelanggaran tata tertib oleh pimpinan DPRD yang juga menjadi calon kepala daerah.
Dugaan politik uang turut mengemuka dalam Pemilihan Wali Kota Semarang. Sejumlah calon disebut memberikan uang tunai kepada anggota DPRD dengan nilai Rp 25 juta hingga Rp 30 juta per suara, disertai bingkisan dan fasilitas lain menjelang pemilihan. Pascapemilihan, perubahan gaya hidup sebagian anggota DPRD menjadi sorotan masyarakat.
Sementara di Karawang, praktik lobi terhadap anggota DPRD dilaporkan berlangsung terbuka, dengan pemberian uang saku sekitar Rp 500.000 dalam pertemuan informal antara calon dan anggota dewan.
Praktik paling ekstrem tercatat dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah. Sejumlah anggota DPRD disebut aktif “menguber” kandidat dan mematok biaya untuk sekadar masuk bursa pencalonan. Untuk calon gubernur, biaya awal disebut mencapai Rp 25 juta, sedangkan total dana yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp 5 miliar. Seorang anggota DPRD bahkan dilaporkan menerima hingga Rp 700 juta selama proses pemilihan, meski praktik tersebut nyaris mustahil dibuktikan secara hukum karena tidak pernah disertai bukti tertulis.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, menuturkan bahwa wacana mengembalikan pilkada melalui DPRD bukanlah hal baru. Sejak 2019, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah melempar gagasan untuk mengubah kembali sistem pilkada langsung menjadi pemilihan melalui DPRD.
Saat itu, Kemendagri menyusun kajian mengenai pilkada asimetris. Melalui skema tersebut, daerah yang dinilai memenuhi syarat tetap dapat menyelenggarakan pilkada langsung. Sementara daerah lain yang dianggap tidak cocok dengan sistem pemilihan langsung, diarahkan menggunakan mekanisme pilkada melalui DPRD.
Sejumlah lembaga sempat diajak bekerja sama untuk melakukan kajian mengenai pilkada asimetris itu, termasuk Puskapol UI.
“Namun kami menolak dan justru menawarkan untuk memeriksa kembali apa yang sebenarnya menjadi persoalan pilkada di Indonesia serta bagaimana evaluasinya, tanpa memaksakan upaya untuk menjustifikasi keinginan pemerintah,” ujar Hurriyah saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (12/12/2025).
Hurriyah menilai, argumen biaya politik yang kerap digunakan untuk mendorong perubahan sistem pilkada cenderung menyederhanakan persoalan. Berbagai riset kepemiluan justru menunjukkan bahwa tingginya ongkos politik tidak bersumber dari mekanisme pemilihan langsung, melainkan dari praktik politik yang berlangsung sebelum dan selama proses kandidasi.
Biaya terbesar, lanjutnya, muncul pada tahap pra-pemilu. Pada fase ini, bakal calon kepala daerah kerap menyewa jasa lembaga survei untuk membuktikan tingkat popularitas dan elektabilitas sebagai modal tawar kepada partai politik (parpol).
Tak hanya itu, mereka harus mengeluarkan mahar agar memeroleh tiket pencalonan dari parpol. Mahar yang dikeluarkan tidak hanya untuk pengurus parpol di daerah tetapi hingga ke pusat. Beban biaya akan semakin membengkak ketika kandidat harus mendekati lebih dari satu parpol agar tiket pencalonan memenuhi syarat Undang-Undang Pilkada.
Sementara pada tahap kampanye, kata Hurriyah, waktu sosialisasi cenderung singkat. Di daerah dengan wilayah luas, keterbatasan waktu membuat kampanye menjangkau seluruh pemilih menjadi sulit. Dalam situasi tersebut, kandidat kerap memilih cara instan melalui praktik politik uang untuk mempengaruhi pemilih.
Oleh karena itu, Hurriyah menilai akar persoalan politik berbiaya tinggi sejatinya bersumber dari parpol. Seluruh tahapan yang harus dilalui kandidat, mulai dari kandidasi hingga kampanye, menuntut biaya besar, ditambah dengan kecenderungan pragmatis kandidat yang mencari jalan pintas untuk menggalang suara.
“Saya sepakat politiknya berbiaya tinggi, tetapi yang tidak diungkap adalah sumbernya. Ini disinformasi untuk melegitimasi keinginan mengembalikan pilkada tidak langsung,” kata Hurriyah.
Menurutnya, wacana mengembalikan pilkada ke DPRD pun tidak menjamin hilangnya politik berbiaya tinggi. Pengalaman masa lalu justru menunjukkan bahwa pilkada tidak langsung sarat dengan praktik transaksi politik. Pada periode ketika kepala daerah dipilih DPRD pun, sejumlah kasus suap dan korupsi melibatkan kepala daerah sekaligus anggota DPRD, terutama dalam proses pemilihan dan pengesahan anggaran.
Hurriyah menilai, pilkada tidak langsung pernah ditinggalkan karena praktik jual-beli suara di DPRD yang sulit dikontrol. Biaya politik tetap tinggi, hanya bergeser dari pemilih ke elite partai dan anggota DPRD. Kandidat harus mengamankan dukungan fraksi-fraksi di parlemen daerah yang pada praktiknya kerap berujung pada suap serta pengembalian modal melalui penyalahgunaan anggaran daerah.
“Biaya politiknya tidak hilang, tetapi berpindah aktor. Dari masyarakat ke elite politik,” katanya.
Pengalaman tersebut, lanjut Hurriyah, menjadi dasar pilkada langsung diterapkan. Sistem pemilihan langsung diharapkan dapat memutus ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD sekaligus mengurangi transaksi politik tertutup di parlemen daerah.
Maka, alih-alih mengubah sistem, pembenahan yang lebih penting dan mendesak justru harus dilakukan pada parpol. Proses kandidasi calon kepala daerah perlu dijalankan secara transparan dan tanpa biaya tinggi. Di sisi lain, penguatan pendidikan politik bagi pemilih juga diperlukan agar praktik politik berbiaya tinggi dapat ditekan.
"Tanpa menyentuh akar persoalan tersebut, perubahan sistem pemilihan berisiko hanya mengulang persoalan lama dengan wajah berbeda," ucap Hurriyah.
Meski Bahlil telah menggulirkan usulan pilkada oleh DPRD, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menilai, anggapan bahwa pilkada melalui DPRD otomatis menurunkan biaya politik masih perlu dikaji secara mendalam. Menurut dia, belum tentu motivasi korupsi kepala daerah semata-mata didorong oleh mahalnya biaya politik, tetapi juga berkaitan dengan faktor integritas dan proses seleksi kepemimpinan di internal partai.
“Yang harus dicari tahu adalah apakah politik biaya tinggi itu memang disebabkan oleh sistem pilkadanya atau oleh faktor lain. Apakah kalau kembali ke DPRD biayanya lebih murah atau tidak, itu yang sedang kami kaji,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Eddy Soeparno, menilai, tingginya ongkos politik dan maraknya praktik politik uang tidak serta-merta dapat diselesaikan hanya dengan mengubah mekanisme pilkada. Menurut dia, persoalan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan banyak faktor dalam sistem politik dan tata kelola demokrasi.
Ia mengakui bahwa demokrasi langsung membawa berbagai manfaat, terutama dalam memperkuat legitimasi kepemimpinan. Namun, sistem tersebut juga memiliki dampak negatif yang perlu dievaluasi secara serius. Akan tetapi, wacana pilkada oleh DPRD tidak bisa diposisikan sebagai solusi instan tanpa kajian yang mendalam dan komprehensif.
“Aspek-aspek itu yang sedang kami kaji. Apakah pemilihan melalui DPRD akan membuat biaya politik lebih rendah atau tidak, itu belum bisa disimpulkan begitu saja,” ujar Eddy.
Pengalaman masa lalu memperlihatkan bahwa perubahan mekanisme pilkada tidak serta-merta menghilangkan politik uang. Tanpa pembenahan pada sumber politik berbiaya tinggi, pilkada melalui DPRD berpotensi mengulang persoalan lama dalam bentuk yang berbeda.





