KABUPATEN Nagekeo, NTT belum ditetapkan sebagai daerah KLB (kejadian luar biasa) kasus kekerasan pada anak dan perempuan walaupun jumlah telah mencapai ratusan kasus dalm 5 tahun terakhir. Dalam rentang tahun 2020 hingga 2025 jumlahnya sudah mencapai 132 kasus kekerasan dan dalam 3 tahun terakhir terus mengalami peningkatan.
Data dari UPTD PPA Kabupaten Nagekeo hingga periode desember 2025 ini terdapat 33 kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Pada tahun 2023 terdapat 11 kasus, dan tahun 2024 ada 26 kasus. Pada tahun ini meningkat lagi dengan sekitar 20 kasusnya adalah kekerasan seksual, namun belum ditetapkan sebagai KLB.
Data yang diperoleh Media Indonesia, terdapat 8 Indikator penetapan KLB kekerasan anak dan perempuan di antaranya peningkatan jumlah kasus secara tiba-tiba, pola kekerasan yang semakin berat, kasus viral dan berdampak sosial luas,tidak memadainya kapasitas layanan, kondisi darurat bagi korban, dan lingkungan yang tidak aman.
Menurut Kepala Dinas PMD-PPA, Sales Ujang Dekresano, (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa- Perlindungan Perempuan dan Anak) jumlah kasus cenderung meningkat karena masifnya sosialiasasi dan pendampingan inisiatif oleh tim UPTD PPA sehingga para korban mulai berani melaporkan tindak kekerasanya yang dialaminya. Namun walaupun demikian masih ada kemungkinan banyak kasus yang tidak mau dilaporkan oleh korban atau keluarganya karena kasus kekerasan anak dan perempuan sangat kompleks terkait salah satunya soal budaya patriarki yang masih melekat kuat serta faktor ekonomi .
“Karena terus sosialisasi, sekarang ini mulai banyak korban berani lapor. Namun mungkin masih ada yang belum mau, mungkin karena aib, namun kita terus memberi pengertian supaya jangan ada korban lain dan pelaku terus berkeliaran,” ujar Sales.
Menurut Sales, dengan meningkatnya kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Nagekeo, kabupaten ini seharusnya telah menjadi darurat sehingga perlu untuk menetapkan sebagai kejadian luar biasa. Selain itu dengan kejadian luar biasa akan ada satuan tugas (satgas) agar bisa bersinergi bersama semua pihak untuk memberikan perlindungan pada anak dan perempuan di Nagekeo. Sales juga berharap para korban bisa melapor langsung ke tim UPTD PPA dengan nomor kontak 082336881367.
UPAYA PEMBUNGKAMAN TERHADAP KORBAN
Menurut pemerhati anak Nagekeo, Maria Anjelina Seke Wea, selama ini dalam kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, keluarga-keluarga di Nagekeo masih lebih mementingkan nama baik keluarga ketimbang masa depan anak sehingga sebagian besar kasus banyak yang tidak terungkap atau disembunyikan. Bagi Jen, selalu ada ancaman kepadanya hingga ancaman pembunuhan ketika ia dan teman-temannya berusaha untuk membantu korban kekerasan seksual pada anak.
Selain itu ada informasi yang keliru bahwa bahwa setelah ada upacara budaya atau pemulihan nama baik kasus hukum harus dihentikan padahal sesuai dengan undang-undang yang berlaku proses hukum harus tetap berjalan agar tidak terjadi pembiaran dan muncul korban berikutnya. Ia dan teman-temannya tidak menghalangi upacara budaya namun hukumnya harus tetap diproses.
“Banyak kendala seperti ada pembungkaman soal kekerasan anak dan perempuan sehingga anak-anak yang hamil masih disembunyikan. Kemudian ada intimidasi terhadap ibu korban sehingga kasus didiamkan, juga kalau ada kasus tidak ada yang mau jadi saksi walaupun mereka tau, ditambah dengan pemeriksaan di faskes terhadap korban namun tidak diilaporkan pada UPT PPA,” ungkap Jen
Jen mengungkapkan seharusnya dalam perlindungan anak dan perempuan tidak bisa hanya kerja beberapa orang namun membutuhkan peran serta banyak pihak. Selama ini yang terjadi kerja berdasarkan inisiatif dan masing-masing orang bergerak sendiri belum ada pola kerja sama yang bersinergi dalam pemberatasan kekerasan anak dan perempuan. Sosialisasi di tingkat desa seperti seremonial belaka.
“Kalau bicara kasus maka sama seperti kita kejar bis dari belakang. Maka penting untuk pencegahan. Selama ini pihak desa tidak secara jujur bila kasus kekerasan terjadi di daerah mereka namun kalau terjadi di desa lain atau keluarga lain mereka lantang bersuara. Bahkan cenderung aparat dan kepala desa ikut membela pelaku, “ ungkap Jen.
Jen berharap harus dilakukan segera untuk menetapkan Nagekeo sebagai daerah KLB kekerasan pada anak dan perempuan agar bisa melibatkan banyak pihak dengan kerja yang lebih terstruktur dan terorganisir agar bisa mengentaskan kasus kekerasan pada anak dan perempuan hingga Nagekeo menjadi daerah yang ramah anak dan perempuan.
NAGEKEO TIDAK PUNYA RUMAH AMAN
Kabupaten Nagekeo telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) nomor 2 tahun 2016 tentang penyelenggaraan perlindungan anak dimana dalam penjabarannya tertera perlu adanya rumah aman sebagai tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standar operasional yang ditentukan serta rumah perlindungan atau Trauma Center yang memberikan layanan perlindungan awal pemulihan psikososial serta pemulihan kondisi traumatis yang dialami oleh korban tindak kekerasan. Sayangnya walaupun telah ditetapkan 9 tahun lalu, hingga kini Kabupaten Nagekeo belum memiliki rumah aman dan trauma center.
Sales Ujang Dekresano mengakui bahwa selama ini pihak dinas harus berinisiatif menitipkan korban pada rumah dari stafnya tim UPTD PPA yang dirasa aman untuk bisa menampung para korban kekerasan pada anak dan perempuan untuk proses rehabilitasi atau pemeriksaan kepolisian.
“Semua staf yang terlibat saat ini hanya berangkat dari kepedulian terhadap korban, makanya kita butuh rumah aman dan trauma center yang menjadi prioritas. Selama ini kewalahan karena tidak ada makanya harus dititipkan pada rumah dari para staf,” keluh Ujang.
Jen Seke juga mengungkapkan bahwa Nagekeo sangat butuh rumah aman karena selama ini banyak korban harus dititipkan pada rumah-rumah pemerhati yang belum tentu aman buat anak korban sendiri hingga dititipkan pada susteran.
“Kalau ibu hamil ada rumah tunggu kenapa anak yang jadi korban kekerasan tidak ada rumah aman buat mereka, makanya penting harus ada rumah aman, “ ujar Jen.
DOKTER UNTUK VISUM BELUM PAHAM
Sebelumnya mengemuka dalam pertemuan dengan para jurnalis peduli anak dan perempuan yang di fasilitasi oleh Yayasan Plan Indonesia, Kamis (11/12) dalam tajuk perlindungan anak dan perempuan, tim UPTD PPA mengungkapkan beberapa dokter di Rumah Sakit Aeramo ada yang belum paham soal Undang-Undang Perlindungan Anak dan Perempuan. Para korban pernah mengalami kejadian traumatis karena ulah segelintir dokter yang harus menanyakan kepada korban pelecehan atau korban kekerasan dengan pertanyaan yang menggangu psikologis anak. Selain itu tim UPTD PPA
menyesalkan bahwa ketika menerima surat dari kepolisian untuk melakukan visum, dokter kerap bertanya seperti seorang penyidik yang membuat anak menjadi trauma.
“Ketika mau masuk visum, terus pertanyaannya gini, kamu hamil dengan siapa? Pertanyaan itu tidak boleh. Terus pertanyaan berikutnya muncul lagi begini. Ini kan pacar kamu, kamu tidak kasihan kalau dia di penjara? Ngeri kan? Ada korban anak SD yang stres karena bertanya berulang. Seharusnya si dokter sudah tau ini jenis kasus apa ketika membaca surat dari kepolisian,” keluh salah satu anggota tim UPTD PPA.
Selain itu sering terjadi saat melakukan visum et repertum psikiatrikum pada korban kekerasan seksual harus memakan waktu hingga 2 minggu sehingga harus tim terpaksa harus melakukan visum di rumah sakit di Ende dengan maksimal waktu 3 hari. Semakin lama waktu visum psikiatrikum keluar akan semakin lama proses penangkapan pelaku yang bisa membuat pelaku dapat melarikan diri.
“Kami pernah ditolak sampai 2 kali karena berbagi macam alasan seperti ada operasi dan lainnya, sehingga kami harus ditolong oleh dokter obgin lain ketika dibantu oleh pihak manajemen rumah sakit itu sendiri,” keluhnya.
Jen Seke, menambahkan bahwa bila visum et repertum psikiatrikum harus dilakukan di Ende maka akan sangat memakan banyak biaya karena harus ada biaya untuk keluarga, pendamping, polisi jadi perlu untuk fasilitas kesehatan di kabupaten terdekat juga mendukung ini bila terjadi kasus kekerasan.
Sedangkan menurut pihak Rumah Sakit Aeramo sebenarnya pihaknya tetap melayani untuk melakukan visum buat korban kekerasan anak dan perempuan namun sedikit kendala karena tidak ada pembiayaan untuk itu. Selain itu untuk dokternya pihak manajemen rumah sakit juga sudah membantu mengkomunikasikan dengan dokter bersangkutan agar mau melakukan visum.
“Visum itu berbayar karena dokter setiap keahliannya harus dibayar, namun bila tidak ada biaya jadi itu kendalanya,” kata Frumen Ndona KTU Rumah Sakit Aeramo.
Sedangkan Polres nagekeo, melalui kasat reskrim Iptu Fajar Cahyono mengatakan, kasus kekekrasan sesksual pada anak di nagekeo mengalami peningkatan pada tahun ini. Rata-rata pelakunya adalah orang terdekat korban. Korban kekerasan biasanya terlambat untuk melaporkan tindak kekerasan yang terjadi sehingga sangat terkendala ketika mengambil hasil visum. Pihak polres tidak bisa langsung menahan terduga pelaku bila tidak cukup bukti serta keterangan saksi.
“Selama ini korban terlambat melaporkan tunggu 3 bulan baru melaporkan. Selain itu korban tidak kooperatif, susah untuk berbicara,” kata fajar.
Fajar menyampaikan agar pihak pemda juga menyiapkan rumah aman buat korban karena selama ini korban selalu dititipkan pada pada pemerhati anak selain itu perlu peran serta pemda untuk sosialisai hingga ke sekolah-sekolah buat pencegahan kekerasan pada anak dan perempuan.
SURAT GEMBALA ADVEN 2025
Dalam mendukung perlindungan anak dan perempuan di Nagekeo pihak gereja dalam hal ini gereja katolik telah mengeluarkan surat gembala yang keluarkan oleh Uskup Agung Ende, Mgr. Paul Budi Kleden, yang dibacakan oleh Rd, Paulus Bongo pada misa minggu adven (25/11) lalu di Gereja Santa Maria Penginanga, menyatakan gereja mempunyai himbauan dalam 4 langkah dan perjuangan diantaranya bergerak bersama menjadi keluarga yang ramah anak, bergerak bersama menjadi keluarga yang peduli ibu hamil.
Rd. Paulus Bongo, pastor gereja katolik Santa Maria Penginanga mengatakan bahwa surat gembala itu juga ditegaskan kembali pada sidang lintas pastoral di Mataloko, yang diikuti seluruh imam dimana gereja punya sikap dan kepedulian terhadap anak dan perempuan sangat tinggi dalam konteks keluarga. Selama ini gereja juga telah berperan aktif dari tahun 2024 lewat kelompok umat basis ramah anak, peduli ibu hamil.
“Dalam sidang lintas pastoral juga ditegaskan untuk tahun pastoral tahun 2026 menjadi prioritas sangat tinggi gereja dalam konteks keluarga, untuk perlindungan buat anak, dan perempuan,” pungkas Rd. Paulus.



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5443227/original/049305100_1765636080-WhatsApp_Image_2025-12-13_at_21.14.01__2_.jpeg)
