JAKARTA, KOMPAS.com - Tangis pelan dan samar terdengar di sebuah ruang kelas Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 Jakarta Selatan, Sabtu (13/12/2025) siang.
Sejumlah siswa duduk bersila, memejamkan mata, mengatur napas, dan perlahan membuka kembali ingatan yang selama ini mereka simpan rapat.
Di hadapan kertas kosong, luka-luka lama kembali muncul, tentang rumah, tentang kegagalan, tentang ejekan, dan tentang rasa takut yang tak kunjung reda.
Kelas itu bukan pelajaran biasa, melainkan terapi mindfulness yang menjadi bagian dari program rutin setiap minggu.
Baca juga: Mensos: 3 Sekolah Rakyat di Aceh Terdampak Banjir Sumatera
Program ini dirancang untuk membantu siswa menghadapi beban psikologis yang mereka bawa sebelum dan selama bersekolah di asrama.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=bullying, perundungan, Sekolah Rakyat, siswa sekolah rakyat, terapi mindfulness&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xMy8xNjUyMzYxMS9jZXJpdGEtc2lzd2Etc2Vrb2xhaC1yYWt5YXQtYmVyanVhbmctbGVwYXMtZGFyaS1qZXJhdC10cmF1bWEtYnVsbHlpbmc=&q=Cerita Siswa Sekolah Rakyat Berjuang Lepas dari Jerat Trauma Bullying§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Wali asrama SRMA 10 Jakarta Selatan, Erika Aritonang menjelaskan, terapi ini lahir dari hasil asesmen mendalam terhadap para siswa.
“Hampir semua anak membawa luka. Ada yang ringan, sedang, sampai berat,” kata Erika.
“Luka itu bisa berasal dari keluarga, lingkungan, atau pengalaman dibully sejak lama,” lanjut Erika.
Menurut dia, luka batin yang tak tertangani sering kali muncul dalam bentuk pelanggaran disiplin, emosi yang meledak, atau tangisan tiba-tiba.
Baca juga: 6 Bulan di Sekolah Rakyat: Dari Tak Lancar Baca Jadi Mampu sampai Belajar Desain Grafis
Namun di sekolah ini, perilaku tersebut tidak langsung diberi label kenakalan.
“Kami tidak mengenal konsep anak nakal. Kalau ada pelanggaran, artinya ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja pada anak itu,” ujar Erika.
Setiap wali asuh di SRMA 10 hanya mendampingi sepuluh siswa. Pola ini memungkinkan pendekatan personal dan pemantauan emosional yang lebih dekat.
Dari hasil asesmen para wali asuh inilah, sekolah kemudian merancang terapi kelompok dan konseling individu, terutama bagi siswa dengan trauma berat.
Baca juga: Menag Yakin Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda Tingkatkan Kesejahteraan Guru
Salah satu siswa yang mengikuti terapi hari itu sebut saja namanya Zahra (17) (nama samaran). Saat sesi mindfulness berlangsung, air matanya tak terbendung.
“Tiba-tiba ingat masa kecil, orang tua, dan kegagalan aku. Aku juga ingat nenek dan kakek yang dulu nemenin aku waktu lagi berat,” ujar Zahra pelan.



