Bisnis.com, JAKARTA — Program penjaminan polis berpotensi mencakup 90% polis di Tanah Air dan bisa menjadi katalis kebangkitan industri asuransi. Meskipun begitu, bukan berarti program tersebut bebas dari risiko moral alias moral hazard.
Pengamat asuransi Dedy Kristianto mengingatkan ada empat hal yang perlu diperjelas atau diperhatikan agar program penjaminan polis (PPP) bisa berjalan efektif tanpa moral hazard. Keempat hal itu meliputi kriteria perusahaan yang layak dijamin, standar fraud control dan solvency audit, formula iuran berbasis risiko, dan mekanisme resolusi ketika perusahaan memasuki zona gagal bayar.
“Keempat aspek ini penting untuk memastikan PPP berjalan efektif, adil, dan menjaga disiplin pasar,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (13/12/2025).
Tidak hanya menyoroti empat hal itu, dia turut mengingatkan agar batas penjaminan setiap produk dibedakan. Menurutnya, ini sangat perlu karena setiap risiko produk sangatlah berbeda. Jika tidak ada diferensiasi batas penjaminan, akan ada potensi moral hazard.
“Skema yang ideal adalah batas penjaminan berbasis kategori produk, dengan perlindungan lebih besar pada proteksi murni, penyesuaian pada kesehatan, dan batasan khusus pada produk berunsur investasi,” jelas Dedy.
Lebih lanjut, anggota Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) ini menilai bahwa batas penjaminan yang diperkirakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp500 juta—700 juta adalah titik awal yang cukup rasional.
Baca Juga
- AAUI: Batas Penjaminan Polis Rp500 Juta-700 Juta Titik Awal yang Konstruktif
- LPS Siap Tancap Gas, Program Penjaminan Polis Berpotensi Dipercepat ke 2027
Dia sependapat dengan LPS yang menyebut rentang ini mencakup sekitar 90% dari rata-rata nilai polis di Indonesia. Bagi Dedy, rentang seperti itu memang mencakup mayoritas polis.
Kendati demikian, dia menegaskan bahwa idealitasnya batas penjaminan itu tetap bergantung pada profil risiko, kecukupan dana penjaminan, dan dinamika produk.
“Angka tersebut layak dijadikan baseline, tetapi perlu dievaluasi secara berkala agar tetap proporsional dan menjaga keberlanjutan sistem penjaminan,” saran Dedy.
Lebih jauh, pengamat asuransi ini turut menilai percepatan implementasi PPP ke 2027 memungkinkan dilakukan. Hal ini karena, sebagian perusahaan sudah cukup siap dari sisi tata kelola risiko dan solvabilitas.
“Percepatan ke 2027 memungkinkan, tetapi industri perlu penguatan governance, fraud control, dan harmonisasi data agar kesiapan berjalan merata dan tidak menimbulkan risiko sistemik,” tegasnya.
Untuk diketahui, LPS menegaskan kesiapan penuh untuk menerapkan PPP lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan Undang-Undang P2SK. UU ini mengamanatkan program mulai berjalan pada 2028, tetapi LPS menyatakan siap jika pemerintah mempercepat pelaksanaannya menjadi tahun 2027.
Langkah ini diyakini menjadi titik balik bagi industri asuransi yang selama hampir satu dekade tertekan kasus gagal bayar dan rendahnya kepercayaan masyarakat.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Polis LPS Ferdinan D. Purba mengatakan bahwa percepatan implementasi PPP dapat mempercepat pemulihan kepercayaan publik.
Menurutnya, penjaminan polis merupakan bagian penting dari recovery & resolution framework sebagaimana penjaminan simpanan di sektor perbankan. Jika di perbankan keberadaan LPS mampu mendorong pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), maka mekanisme serupa diyakini mampu mendongkrak premi asuransi.
“Jika dipercepat 2027, LPS telah siap menerapkan,” katanya kepada awak media di Bandung, Sabtu (6/12/2025).



