Nanjung Sari, sebuah pasar di tengah wisata Pantai Barat Pangandaran, adalah pasar yang sepi dan banyak kios yang tutup. Di bagian depan pasar, hanya diisi oleh para pedagang baju dan pedagang aksesori seperti topi, gelang, dan macam-macam lainnya.
Di bagian belakang, terdapat satu kios, yaitu warung kopi sederhana yang masih memilih buka walaupun sepi pengunjung. Kios tersebut dijaga oleh seorang perempuan berwajah ramah, Ibu Sikar namanya. Rambut pendek bondol, anting emas yang menghiasi telinganya, serta pakaian sederhana berupa polo navy dan celana hitam bermotif kotak krem. Kesederhanaannya menunjukkan keteguhan seorang perempuan yang menggantungkan hidupnya pada warung kopi kecilnya.
Dahulu, perjalanan Ibu Sikar tak selamanya berada di posisi sunyi seperti sekarang. Ia bercerita, dirinya dan para pedagang lain berdagang di daerah pesisir pantai yang jauh lebih hidup dan ramai pengunjung yang menghampiri tempat Ibu Sikar berdagang. Namun, saat terjadi relokasi besar-besaran, Ibu Sikar bersama pedagang lain dipindahkan ke kios yang berada di Pasar Nanjung Sari. “Saya dialihkan ke sini karena relokasi,” tuturnya. “Banyak juga yang terdampak pada waktu itu.” Perpindahan dari pesisir pantai ke Pasar Nanjung Sari memberikan perubahan yang sangat drastis; yang dahulu ramai pengunjung kini mendadak sunyi, tak seorang pun menghampiri. Ibu Sikar kini hanya bisa duduk di samping warungnya, seakan-akan berharap suatu hari keramaian itu terjadi kembali.
Sebelum mendapatkan sebuah kios, Ibu Sikar menggunakan gerobak serta tenda untuk berjualan. Meski terlihat sederhana, tempat tersebut dapat memberinya kebebasan dan akses langsung kepada pengunjung pantai. Sekarang, meski Ibu Sikar mensyukuri kios permanen yang ia peroleh, letaknya yang berada di belakang pasar membuat warung Ibu Sikar tidak terjamah oleh pengunjung.
Tiga bulan terakhir, tepatnya sejak pertengahan Agustus hingga November, area Pasar Nanjung Sari sepi. Wisatawan memilih membawa bekal sendiri dan memakai area depan pasar hanya untuk parkir kendaraan, lalu hanya datang ke area Pasar Nanjung Sari untuk singgah ke kamar mandi yang ada. “Banyak yang cuma lewat, jarang beli,” keluhnya.
Dari semua kisah yang ia ceritakan, terdapat satu pengalaman unik yang membekas sekitar tahun 2010, pada saat ia masih berjualan di pesisir pantai. Kerap kali wisatawan asing mampir untuk membeli rokok dan menikmati pantai di sekitar warungnya. “Sekarang mah jarang ada bule lewat sini,” ucapnya sambil tersenyum kecil. “Bule mah sekarang lebih memilih Batu Karas yang banyak sekali pilihan kafe dan restorannya.”
Kini, tantangan terbesar yang dihadapinya adalah minimnya pembeli. Bahkan pada musim liburan akhir tahun pun, disaat jumlah pengunjung pantai ramai, tak membuat warung Ibu Sikar ramai pembeli. Namun, meski kondisi usaha yang tidak ideal itu, Ibu Sikar tetap bertahan. Kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan kebingungan untuk memulai usaha lain menjadi alasan kuat ia mempertahankan warung kecilnya. “Alasan bertahan ya ekonomi, terus ibu juga enggak tahu mau usaha lain apalagi,” ujarnya lirih.
Relokasi yang terjadi enam tahun lalu meninggalkan cerita tersendiri bagi para pedagang. Pembagian kios dilakukan melalui sistem undian yang berlangsung di Pondok Seni. Para pedagang yang dahulu berada di pesisir dikumpulkan, lalu mengambil kertas bertuliskan nomor kios dari sebuah toples. Nomor tersebut merujuk pada tiga pasar yang berada di pantai, seperti Nanjung Asri, Nanjung Sari, dan Nanjung Elok.
Dari ketiganya, Pasar Nanjung Sari adalah pasar yang memiliki kios paling banyak. Namun ironisnya, sekarang justru menjadi kawasan dengan kios terbengkalai paling banyak. Hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya daya tarik bagi pengunjung serta lokasi yang kurang strategis.
Hal yang membuat Ibu Sikar lebih merasa sedih adalah kondisi pasar yang semakin tidak terurus, tidak adanya pemeliharaan berkelanjutan untuk Pasar Nanjung Sari ini, atap bocor yang dibiarkan, lantai retak dan berlapiskan debu, serta kios telantar, yang membuat semakin jarang wisatawan yang datang ke pasar tersebut. Ia bertanya, “Siapa sih wisatawan yang mau datang ke tempat kayak gini?”
Di antara kios-kios yang kosong dan lantai pasar yang mulai menua, kehadiran Ibu Sikar menjadi penanda bahwa pasar ini belum sepenuhnya kehilangan denyutnya. Keteguhan seorang perempuan yang menggantungkan hidup pada warung kecilnya justru menghadirkan cerita tentang ketabahan bahwa di balik tempat-tempat yang tampak terlupakan, selalu ada manusia yang berjuang untuk tetap hidup. Dan selama Ibu Sikar masih duduk di bangku kecilnya sambil menyapa siapa pun yang lewat, Pasar Nanjung Sari masih memiliki alasan untuk tidak benar-benar hilang dari peta kehidupan Pangandaran.





