Melawan Stigma Demi Kesehatan Mental

mediaindonesia.com
4 jam lalu
Cover Berita

STIGMA negatif dan anggapan keliru seputar gangguan mental masih menjadi hambatan utama yang dihadapi masyarakat modern. Perasaan tabu sering kali mendorong banyak orang memilih diam dan memendam masalah, padahal hal ini berisiko meningkatkan stres, kecemasan, dan depresi.

Menjawab tantangan tersebut, Rumah Sakit Izza menggelar seminar bertema It’s Okay Not to Be Okay. Acara yang merupakan bagian dari peringatan Ulang Tahun ke-13 RS Izza dan didukung Yayasan Astri Bakti Insani ini, berlangsung di Auditorium Al Izza Preschool, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (13/12).

Seminar ini secara khusus bertujuan menciptakan ruang dialog yang terbuka, inklusif, dan penuh empati untuk menghapus stigma dan meningkatkan pemahaman bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari kualitas hidup.

Direktur RS Izza Karawang, dr. Dik Adi Nugraha Sp.B., MM., menegaskan betapa besarnya masalah yang tersembunyi di balik stigma ini. 

MI/HO--Seminar bertema It’s Okay Not to Be Okay

“Terkait masalah kesehatan mental, kalau bicara data saat ini di Indonesia sendiri sebetulnya ada 1 berbanding 5 orang pernah mengalami masalah mental. Mungkin saat ini yang terlihat di lapangan itu seperti fenomena gunung es. Hanya di atasnya saja yang terlihat. Tetapi di bawah itu masalah sebenarnya luar biasa besar sekali. Maka dari itu kami bersama-sama bergabung, untuk mulai menggaungkan penanganan masalah kesehatan mental,” ujarnya.

Edukasi sebagai Kunci Melawan Anggapan Keliru

Dipandu oleh moderator Angelina Sondakh, para narasumber. mulai dari psikolog, psikiater, penyintas, hingga caregiver, membahas akar masalah tingginya stigma di masyarakat. 

Akar masalah tersebut antara lain kurangnya pemahaman, akses layanan yang terbatas, serta anggapan keliru bahwa gangguan mental adalah bentuk kelemahan. Padahal, setiap orang dapat mengalami masa sulit dan kerentanan emosional.

Psikolog Marissa S. Purba, M.Psi. menekankan pentingnya menciptakan rasa aman dan dukungan lingkungan. 

“Yang paling penting adalah mendengarkan, mengajak anak beraktivitas, dan menciptakan rasa aman. Melalui pemahaman yang tepat, dukungan lingkungan, dan keberanian untuk mencari bantuan profesional, kesehatan mental diharapkan tidak lagi menjadi isu yang disembunyikan,” tuturnya.

Sementara itu, psikiater dr. P. Beta Ayu Natalia, Sp.KJ, secara tegas mendorong masyarakat untuk mencari bantuan ahli segera. 

“Di sinilah butuh seorang ahli atau profesional. Jadi jangan sampai sudah pada taraf merasa tidak nyaman baru datang ke psikiater atau psikolog,” tegasnya.

Kekuatan Kisah Nyata dan Dukungan Keluarga

Upaya melawan stigma diperkuat melalui kisah penyintas, Faqih N Umam, yang membagikan pengalaman melewati masa krisis. 

Kisah Faqih mengajak peserta memahami bahwa proses pemulihan sangat dipengaruhi oleh penerimaan diri dan lingkungan yang memberikan rasa aman tanpa stigma.

Perspektif caregiver atau pendamping keluarga, Hindrawati dan Bagus Utomo, juga menyoroti pentingnya komunikasi yang empatik dan menciptakan lingkungan keluarga yang suportif sebagai fondasi pemulihan.

Ketua Yayasan Astri Bakti Insani, Bagus Jatmiko, menutup diskusi dengan mengingatkan peran fundamental keluarga dalam pencegahan stigma. 

”Keluarga adalah lini pertama, bagaimana membentuk karakter anak dan karakter manusia... Kita harus memperbaiki pola hidup, pola pikir sehingga jiwa kita agar tertata dengan baik,” pungkasnya. (Z-1)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pernyataan Mengejutkan Anies Baswedan Usai Lihat Langsung Lokasi Bencana Sumatera
• 19 jam lalurctiplus.com
thumb
Karya Bakti Serentak Jaga Waduk Baobab dari Sampah
• 20 jam laludetik.com
thumb
Pria di Garut Bobol TK, Gasak Snack Ultah dan Duit Buat Judi Online
• 1 jam laludetik.com
thumb
Menkomdigi Umumkan T3 Jadi Arah Baru Pembangunan Indonesia Digital
• 18 jam laluidntimes.com
thumb
Trump Klaim Thailand dan Kamboja Sepakat Hentikan Pertempuran
• 20 jam lalusuarasurabaya.net
Berhasil disimpan.