PRAHARA di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki babak baru setelah Pleno PBNU pada 9-10 Desember 2025, di Hotel Sultan Jakarta, menetapkan KH. Zulfa Mustofa, sebelumnya Wakil Ketua Umum PBNU, sebagai Pejabat Sementara (PJS) Ketua Umum PBNU hingga Muktamar 2026.
Penetapan ini dinyatakan sebagai tindak lanjut Risalah Rais Aam PBNU tertanggal 20 November 2025, yang digelar di Hotel Aston Jakarta.
Keputusan tersebut segera memantik perdebatan luas. Bukan semata soal figur, melainkan tentang cara PBNU membaca konstitusi organisasi, menafsirkan keadaan darurat, dan memaknai adab sebagai fondasi etik kepemimpinan.
Pada titik ini, PBNU tidak hanya menghadapi persoalan struktural, tetapi juga ujian kebijaksanaan.
Pihak yang mendukung penetapan PJS berargumen bahwa langkah itu diperlukan demi kesinambungan organisasi.
Rujukan yang kerap dikemukakan adalah pandangan KH. Afifuddin Muhajir, Wakil Ketua Rais Aam PBNU, yang menilai bahwa dalam kondisi darurat, penyimpangan prosedural dapat dibenarkan.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Gus Yahya, zulfa mustofa, konflik pbnu, Miftahul Akhyar&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNC8wODA1MjAyMS9rZXRpa2Eta2VwZW1pbXBpbmFuLXBibnUtZGl1amktd2FrdHU=&q=Ketika Kepemimpinan PBNU Diuji Waktu§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Baca juga: Menjaga NU Tetap Teduh
Pandangan ini berakar pada kaidah ushul fiqh Adh-dharurat tubihul mahzarat, darurat membolehkan hal-hal yang semula terlarang.
Namun dalam tradisi ushul fiqh, kaidah darurat tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu dibatasi oleh kaidah Adh-dharuratu tuqaddaru bi qadariha, darurat harus diukur sebatas kebutuhannya.
Artinya, darurat bukan cek kosong untuk menanggalkan aturan, melainkan pengecualian yang bersifat sementara, proporsional, dan berorientasi mencegah kerusakan yang lebih besar.
Pertanyaan kuncinya kemudian: apakah penetapan PJS benar-benar membatasi mudarat, atau justru memperluasnya?
Di sisi lain, penolakan terhadap keputusan pleno berpijak pada argumen konstitusional yang tak kalah kuat.
Rais Aam dan Ketua Umum PBNU sama-sama dipilih melalui Muktamar, sehingga memiliki legitimasi setara.
Dalam kerangka ini, perubahan kepemimpinan tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh salah satu unsur. Karena itu, risalah dan seluruh produk turunannya, termasuk penetapan PJS dipandang melampaui kewenangan konstitusional.
Perdebatan menjadi semakin kompleks ketika hadir pandangan Nadirsyah Hosen, akademisi hukum Islam dan mantan Ketua PCINU Australia, yang mengingatkan bahwa NU bukan sekadar organisasi hukum, melainkan peradaban adab.
Ketaatan tekstual pada AD/ART tanpa kebijaksanaan berisiko mengeringkan ruh keulamaan. Catatan ini penting sebagai pengingat bahwa hukum organisasi memerlukan etika agar tetap manusiawi.




