Orang senang memandang puncak-puncak kegemilangan seseorang. Namun, bagi Djoko Suyanto sebagai mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (2005-2006), Panglima TNI pertama dari matra udara (2006-2007), hingga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2009-2014), kesalahan, kegagalan, dan cobaan ditunjukkan sebagai teman tak terpisahkan.
Ketika menjabat sebagai Komandan Lanud Jayapura, Djoko pernah mengalami rasa malu. Waktu itu, ada kegiatan upacara 17-an di komando resor militer (korem) setempat. Namun, saat upacara dimulai, tidak ada satu pun anggota Lanud Jayapura yang tampak batang hidungnya. Mereka telat. Waktu itu, Djoko meminta maaf kepada komandan korem.
Sepulangnya di markas Lanud Jayapura, Djoko menanyai para prajuritnya. Djoko menyimpulkan, kesalahan tidak hanya pada para prajurit, namun juga ada andil pimpinan secara berjenjang, termasuk dari Djoko sebagai Komandan Lanud Jayapura. Sebagai pendisiplinan, semua prajurit termasuk Djoko menjalani konsekuensi kesalahan itu dengan cara lari, jongkok, dan push up.
"Saya menghukum diri sendiri bersama mereka karena saya merasa belum bisa menjadi pemimpin yang baik. Saya sedang berusaha belajar untuk menjadi pemimpin dalam kebersamaan yang menyadari kenyataan tentang pembinaan yang belum sempurna, dan untuk menerapkan proses character and leadership building melalui hati nurani dan kehormatan yang saya yakini," tutur Djoko.
Jangan harap, mentang-mentang senior, atau instruktur, lalu bebas dari hukuman.
Peristiwa itu merupakan satu dari pengalaman Djoko Suyanto yang dituliskan dalam buku "Just Another Brick in The Wall Marsekal Djoko Suyanto" yang diluncurkan pada Sabtu (13/12/2025). Buku yang ditulis Imelda Bachtiar dan Budhi Achmadi itu diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK).
Dalam buku itu, Djoko tidak segan menceritakan "kegagalannya". Ketika sedang mengikuti Flying Instructor Course di Royal Australian Air Force (RAAF), Djoko menuliskan bahwa pada tahapan Instrument Rating Test (IRT), dirinya gagal melakukan approach pendaratan karena koreksi terhadap crosswind yang tidak baik. Dari diskusi dengan para instruktur, esoknya Djoko bisa melakukan penerbangan ulang dengan lancar.
Lainnya, ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Operasi (Kadisops) Skuadron 14, Djoko pernah mengalami insiden hidung berdarah karena benturan ketika memeriksa ruang senjata di Pesawat F-5 Tiger. Akibatnya, lukanya perlu mendapatkan dua jahitan dan dia tidak jadi terbang.
Alih-alih dikasihani, sepulang dari rumah sakit, Djoko justru diberi hukuman push up oleh komandannya, Letkol Pnb Lambert Silooy. Meski mengaku perasaannya tidak enak karena dirinya adalah seorang instruktur dan Kadisops, Djoko tetap harus melaksanakan hukuman karena kesalahannya.
Saat itu sang komandan berkata, "Jangan harap, mentang-mentang senior, atau instruktur, lalu bebas dari hukuman".
Sebagai penerbang tempur F-5 Tiger, Djoko Suyanto dididik untuk siap menghadapi situasi darurat. Pada 23 September 1981, dalam tugas penerbangan rutin di atas Lanud Iswahjudi, Madiun, pesawat yang diawaki penerbang dengan call sign Beetle itu mengalami situasi berupa mesin pesawat mati. Dua indikator engine RPM turun sampai nol.
Secara refleks, Djoko mendorong tuas throttle ke posisi maximum after burner untuk menghidupkan mesin. Itu adalah prosedur untuk quick restart, sembari mendorong tongkat kemudi sedikit ke depan agar pesawat tidak banyak kehilangan kecepatan. Sambil menunggu mesin hidup, Djoko sempat mengatakan ke petugas di menara, "Yudi, power Eagle Two both engines quit," katanya.
Sampai ketinggian 1.500 kaki atau 400 meter di atas tanah, mesin tak kunjung hidup. Sementara pesawat semakin turun ke ketinggian 1.000 kaki atau 300 meter di atas tanah, mesin tidak juga kembali hidup. Akhirnya, Djoko mengambil keputusan untuk eject dengan kursi pelontar sesuai buku Emergency Fligth Manual," Eagle Two eject!".
Beberapa waktu kemudian, dilakukan penyelidikan terhadap kecelakaan itu. Djoko harus menghadapi beragam pertanyaan dan menjalani uji kesehatan dan psikologi yang detail dan lengkap. Sang istri, Ratna Sinar Sari, juga dihadapkan pada tim penyelidik.
Djoko menyadari bahwa tanggung jawab dan risiko profesi sebagai pilot tempur sangat besar. Di usia yang rata-rata masih muda, mereka menerbangkan alutsista seharga ratusan miliar rupiah. Mereka pun dituntut untuk tidak berbuat kesalahan sekecil apa pun karena dampaknya akan sangat besar.
Dan kejadian near miss atau nyaris celaka seperti itu dialami Djoko sebanyak tiga kali, yakni ketika mengikuti latihan Air Combat Manuevering Instrumentation (ACMI) di Korat AFB Thailand dan yang ketiga di Lanud Iswahjudi, Madiun.
"Bagi saya, dan saya yakin semua pilot tempur juga berpikiran sama, saat menuju pesawat untuk terbang, kejadian apa pun yang dialami sebelumnya harus dilupakan. Tugas dan profesi menuntut konsentrasi penuh dan fokus pada penerbangan sampai nanti mendarat kembali," ujarnya.
Selain pengalaman sebagai prajurit, buku tersebut juga menceritakan pengalaman personal keluarga Djoko Suyanto bersama orang-orang yang terdekat dicintai. Terdapat satu bab khusus berjudul Tahun-tahun Penuh Cobaan.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, buku "Just Another Brick in The Wall" mengingatkannya pada lagu band asal Inggris, Pink Floyd. Kalimat itu menyiratkan falsafah kerendahan hati ibarat bagian kecil dari suatu hal yang besar.
Menurut Yudhoyono, pengabdian utama Djoko Suyanto adalah sebagai penerbang tempur. Dengan pengalaman panjang mengemban tugas berisiko tinggi, hal itu membentuk karakternya sebagai pribadi yang pemikirannya penuh akal sehat, logika, dan jauh dari sifat grusa-grusu.
"Gaya bicaranya tidak meledak-ledak, seolah ingin dicitrakan sebagai pemimpin yang gagah berani dan tegas. Menghadapi masalah apa pun tetap tenang, tetapi sangat serius dalam mencari solusi," tutur Yudhoyono.
Yudhoyono mengaku memiliki kenangan yang indah dengan Djoko Suyanto dalam Pemilihan Presiden 2009. Sebab, ternyata mereka berdua memiliki idealisme, nilai-nilai, dan etika dalam dunia politik. Saat itu, Yudhoyono memerlukan Djoko karena satu hati, satu visi, serta menghormati tatanan demokrasi dan kehidupan bernegara yang bertumpu pada konstitusi.
Dalam pidato yang juga sekaligus pengantar buku tersebut, Yudhoyono berpesan kepada khalayak bahwa jika ingin menang dalam kompetisi politik, maka harus kerja keras. Yudhoyono juga mengingatkan agar dalam meraih kekuasaan dilakukan dengan cara yang benar.
"Jangan berselingkuh terhadap konstitusi. Jangan menyalahgunakan kekuasaan. Jangan melibatkan TNI, Polri, penegak hukum lainnya dan juga BIN untuk mendukung partai politik dan capres tertentu," tegasnya.
Meski ada kepentingan untuk meraih kekuasaan politik, menurut SBY, prinsip dan nilai-nilai baik tidak boleh dikesampingkan. Jika ada konflik kepentingan antara partai politik dengan negara, maka negaralah yang harus diutamakan. Itulah yang dilakukannya bersama dengan Djoko Suyanto. "Country first. Jangan dibalik," katanya.
Sebagai sosok yang pernah memimpin Indonesia, Yudhoyono berpesan kepada para lulusan militer dan kepolisian agar tetap menjadi bagian dalam kehidupan bernegara sesuai amanat konstitusi, sistem ketatanegaraan, dan nilai demokrasi. Yudhoyono mengingatkan, Indonesia pernah mengoreksi peran militer dan hal itu mestinya tetap dijaga.
Secara lugas, Yudhoyono juga meminta agar para politisi tidak menarik-narik petinggi militer ke dalam politik. Mungkin dalam jangka pendek hal itu akan menguntungkan partai politik, namun tidak ke depan. Sebaliknya, Yudhoyono juga berpesan kepada para militer aktif untuk untuk tidak tergoda dan kemudian mengingkari khittahnya.
"Kalau (militer) ingin masuk dunia politik gampang, resign, lalu masuk ke dunia politik. Insya Allah berhasil karena banyak yang demikian," pesan Yudhoyono.
Di acara tersebut, beberapa tokoh juga memberikan pandangan dan kisahnya. Imelda Bachtiar mengaku apa yang dituturkan Djoko Suyanto dalam buku itu merupakan peristiwa yang humanis. Ada beberapa kisah yang sangat menyentuh, termasuk ketika Djoko nyaris kehilangan nyawa setelah mesin pesawatnya mati.
"Pak Djoko tentu tidak tiba-tiba (jenderal) bintang empat. Dari nol. Buku ini sangat humanis untuk melihat tokoh Pak Djoko yang punya banyak makna dan bisa dicontoh. Indonesia butuh itu," kata Imelda.
Menurut Marsekal Muda Budhi Achmadi, Djoko Suyanto selalu menolak jika diminta untuk menuliskan buku tentang pengalamannya. Beberapa ajaran baik yang diingat dari Djoko yang pernah menjadi atasannya di Lanud Iswahjudi adalah bagaimana menjadi prajurit yang egaliter.
"Beliau (Djoko Suyanto) selalu menilai beliau sendiri sebagai just another brick in the wall," ujar Budhi.
Dalam sambutannya, Djoko Suyanto mengaku sebagai satu batu bata yang tersembunyi dari jutaan lainnya dalam sebuah arsitektur kehidupan. Dia menyebut sebagai yang kecil, sederhana, lapuk, tak sempurna, namun bersama dengan batu-batu lainnya bisa membentuk mosaik bangunan yang indah.
Ketika yang kecil itu tidak ada dan pergi, tembok batu bata itu tetap kokoh dan abadi. Namun begitu, tetap ada secuil ruang kosong yang meninggalkan kisah tentang perjumpaan, perjuangan, kejatuhan, kegagalan, dan kesedihan.
"Tentang kehidupan yang tidak selalu indah dan megah, akan tetapi sungguh itu nyata. Tentang menjadi bagian dari sesuatu yang besar, tanpa kita harus kehilangan jati diri," kata Djoko.




