jpnn.com - Lenny Damanik, ibu dari bocah berinisial MHS (15), siswa SMP di Medan yang meninggal diduga akibat penganiayaan oleh oknum anggota TNI Sersan Satu Riza Pahlivi (40) terus menyuarakan ketidakadilan yang terjadi atas kematian anaknya.
Lenny hadir dalam diskusi yang digelar Imparsial, KontraS, Centra Initiative, dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, bertajuk "Kekerasan Militer dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer", di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (13/12/2025).
BACA JUGA: Desak Reformasi Peradilan Militer, Koalisi Masyarakat Sipil: Hentikan Praktik Impunitas
Dalam diskusi itu Lenny menceritakan bahwa pada saat kejadian dirinya sedang berada di kampung halaman, sehingga MHS tinggal sendirian di rumah.
Saat itu, MHS berniat membeli makanan karena di rumah tidak tersedia makanan. Dia kemudian mengajak temannya untuk membeli makanan bersama. Teman MHS tersebut kebetulan berada di lokasi tawuran dan bersedia menemani, namun terlebih dahulu ingin melihat tawuran tersebut.
BACA JUGA: Alasan Mahfud MD Sebut Perpol 10/2025 Bertentangan dengan Putusan MK
Dalam situasi tersebut, mereka didatangi oleh anggota TNI dan ditangkap. MHS berusaha melarikan diri, tetapi ditendang hingga terjatuh. Setelah itu, MHS diperintahkan untuk bangun. Ketika bangkit, MHS kembali dibanting, lalu ditinggalkan begitu saja oleh pelaku.
MHS kemudian diantar pulang oleh teman-temannya dalam kondisi mengalami luka robek di bagian kening dan memar di sejumlah bagian tubuh. "Setibanya di rumah, teman-temannya memanggil tukang urut karena MHS terlihat sangat lemas," ujar Lenny, dikutip dari siaran pers Imparsial.
BACA JUGA: Chandra Sebut Perpol 10/2025 Bertolak Belakang dengan Semangat Reformasi Polri
Konon tukang urut tersebut menanyakan apakah MHS sudah makan, dan MHS menjawab belum. Setelah disuapi, MHS justru muntah dan menjerit kesakitan.
Lenny mengaku baru mendapatkan kabar ketika kakak MHS yang sedang berada di Thailand melakukan panggilan video bersama MHS dan Ibu Lenny, serta menyampaikan bahwa kondisi MHS sudah sangat lemah dan harus segera dibawa ke rumah sakit.
MHS kemudian dibawa ke rumah sakit, namun pihak rumah sakit menyatakan keterbatasan peralatan sehingga MHS dirujuk ke RS Madani.
Lenny menyaksikan proses tersebut melalui panggilan video. Pada dini hari, Lenny menerima kabar bahwa MHS telah meninggal dunia.
Selain itu, Lenny juga menyampaikan bahwa proses persidangan di peradilan militer berlangsung secara tertutup dan sangat ketat, sehingga keluarga korban mengalami kesulitan untuk masuk dan menyaksikan jalannya persidangan secara langsung.
Menurut Lenny, hukuman 10 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap pelaku dugaan penganiayaan yang mengakibatkan anaknya meninggal dunia, juga sangat ringan. "Itu bentuk ketidakadilan dalam peradilan militer," ucapnya.
Oleh karena itu, Lenny setuju dilakukan perubahan atau reformasi terhadap peradilan militer agar tidak ada kasus-kasus yang dialaminya lagi di masa datang, sehingga bila ada oknum militer yang terlibat kejahatan diadili dalam peradilan umum.
Dalam forum itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Muktiono menyinggung kasus-kasus pidana yang melibatkan oknum TNI, seperti pembakaran rumah wartawan di Tanah Karo, Rico Sempurna Pasaribu maupun kasus kematian MHS di Medan.
Menurut Muktiono, pembakaran rumah yang dialami keluarga Rico merupakan pelanggaran terhadap hak hidup yang bersifat non-derogable. Dalam peristiwa itu, hanya satu anggota keluarga korban yang selamat, yakni Eva Pasaribu yang kebetulan tidak tinggal di rumah ayahnya tersebut.
"Demikian pula dengan peristiwa yang dialami almarhum MHS, yang merupakan pelanggaran atas hak untuk bebas dari penyiksaan, sebagaimana dilindungi dalam Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi oleh Indonesia," kata Muktiono.
Dia menjelaskan bahwa kejahatan yang melibatkan entitas kuat seperti TNI kerap membentuk budaya impunitas, di mana pelaku tidak dihukum secara adil.
"Dalam kasus Eva Pasaribu yang ayahnya berprofesi sebagai jurnalis saja diperlakukan demikian, terlebih lagi terhadap masyarakat yang posisinya lebih lemah. Hukuman ringan yang dijatuhkan dalam kasus MHS juga dinilai bertentangan dengan semangat reformasi," tuturnya.
Muktiono menegaskan bahwa rezim yang sentralistik dan militeristik cenderung melahirkan pelanggaran HAM. Salah satu semangat reformasi TNI adalah menegaskan bahwa tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI seharusnya diadili di peradilan umum, guna mencegah impunitas dan memenuhi rasa keadilan bagi korban.
Menurutnya, pemisahan yurisdiksi peradilan berdasarkan status militer atau non-militer merupakan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana diatur dalam ICCPR maupun dalam Konstitusi Indonesia.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam




