Penanganan pasien patah tulang sangat bergantung pada teknik operasi dan pemilihan bahan implan untuk menyatukan kembali tulang yang rusak. Implan menjadi penopang utama proses penyembuhan sehingga kualitas dan karakteristik bahannya berpengaruh langsung terhadap keselamatan serta keberhasilan pemulihan pasien.
Implan pasien patah tulang umumnya menggunakan bahan seperti stainless steel, titanium, atau cobalt-chromium yang dirancang kuat, tahan korosi, dan kompatibel dengan tubuh manusia. Namun, logam tersebut tidak bisa menyatu dengan tubuh sehingga setelah tulang sembuh, pasien harus kembali menjalani operasi untuk melepas implan tersebut.
Implan berbahan stainless steel, titanium, dan cobalt-chromium yang bersifat permanen juga memiliki kekakuan jauh di atas tulang manusia. Kondisi ini dapat memicu stress shielding, yaitu pelemahan tulang di sekitar implan akibat distribusi beban yang tidak merata.
Beberapa aspek lain yang kerap disoroti dalam penggunaan implan konvensional ialah mulai dari biokompatibilitas, risiko reaksi tubuh, hingga dampak ekonomi. Upaya mencari bahan yang tidak hanya kuat tetapi juga mampu beradaptasi lebih baik dengan jaringan tubuh terus menjadi bagian dalam inovasi layanan ortopedi modern.
Kondisi tersebut melatarbelakangi peneliti Pusat Riset Metalurgi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lutviasari Nuraini mengembangkan material implan tulang berbasis paduan magnesium. Magnesium dipilih sebagai alternatif bahan implan ortopedi karena lebih aman dan tidak memerlukan operasi pengangkatan.
”Kami mengembangkan magnesium untuk aplikasi implan yang bisa terurai di dalam tubuh. Magnesium dipilih sebagai salah satu paduan untuk implan karena memiliki densitas dan elastis modulus yang relatif dekat dengan tulang manusia. Ketika terdegradasi, magnesium ini berubah menjadi unsur yang bisa diserap tubuh,” ujarnya, Sabtu (13/12/2025).
Meski demikian, magnesium murni memiliki kelemahan berupa laju korosi yang terlalu cepat dan pembentukan gas hidrogen selama proses degradasi. Dalam proses implan, korosi yang cepat perlu dihindari dapat mengakibatkan komplikasi di area penanaman implan tulang.
Guna mengatasi kendala ini, Lutviasari dan tim mengembangkan paduan magnesium–zinc–neodymium (Mg–Zn–Nd). Penambahan zinc bertujuan memperkuat struktur material, sedangkan neodymium berfungsi memperbaiki mikrostruktur dan ketahanan korosi.
Neodymium juga merupakan salah satu unsur logam tanah jarang yang tersedia di Indonesia sehingga penggunaannya dapat mendukung pemanfaatan sumber daya lokal sebagai salah satu hilirisasi sumber daya alam.
Penggabungan magnesium–zinc–neodymium juga bertujuan untuk memperoleh paduan logam dengan laju terurai yang selaras dengan waktu penyembuhan tulang. Dengan demikian, implan tetap cukup kuat menopang jaringan pada tahap awal, lalu terdegradasi secara bertahap tanpa menimbulkan komplikasi di area penanaman implan.
Salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan implan berbasis magnesium ialah pengecoran logam. Magnesium cair sangat reaktif, mudah teroksidasi, dan dapat menimbulkan kebakaran jika terkena udara lembab atau percikan air. Hal ini menjadi alasan sulit menemukan industri pengecoran magnesium di Indonesia.
Menurut Lutviasari, pengecoran magnesium memerlukan keamanan tinggi dan penanganan yang ekstra hati-hati. Sebab, serbuk halus atau uap leburan magnesium mudah sekali terbakar jika bereaksi dengan oksigen atau uap air di udara. Oleh karena itu, setiap melakukan pengecoran, peneliti harus mempertimbangkan keamanan prosesnya.
Tantangan tersebut kemudian coba diatasi oleh tim Pusat Riset Metalurgi BRIN dengan membentuk kelompok kerja khusus untuk mengembangkan proses pengecoran magnesium. Uji coba pengecoran magnesium–zinc telah berhasil dilakukan di laboratorium dan menjadi dasar untuk tahap berikutnya dalam pengembangan paduan magnesium–zinc–neodymium.
Selain tahap pengecoran, material juga harus melalui proses lanjutan, seperti perlakuan panas untuk memperbaiki ukuran butir dan distribusi fasa, serta proses mekanik seperti rolling untuk meningkatkan sifat mekaniknya. Seluruh tahapan ini diperlukan sebelum material dapat diproses lebih lanjut menjadi bentuk implan ortopedi.
Setelah proses manufaktur, paduan magnesium diuji dalam larutan simulasi tubuh pada suhu 37 derajat celsius dan pH 7,4. Pengujian menggunakan metode evolusi hidrogen untuk mengukur volume gas hidrogen yang dihasilkan, serta uji elektrokimia seperti potential dynamic polarization (PDP) dan electrochemical impedance spectroscopy (EIS).
Dari hasil perendaman, Lutviasari dan tim mengamati produk korosi pada permukaan dan penampang melintang untuk memahami mekanisme degradasi material. Informasi ini diperlukan untuk memastikan bahwa laju terurai paduan sesuai dengan kebutuhan klinis.
Selain uji korosi, kemudian dilakukan uji antibakteri dan uji sitotoksisitas melalui kerja sama dengan Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN. ”Kami ingin memastikan material ini aman pada tingkat sel sebelum melangkah ke tahap uji lanjut,” kata Lutviasari.
Saat ini, bentuk material yang dihasilkan dari pengembangan ini masih berupa ingot atau batang silindris (rod) hasil pengecoran. Ke depan, setelah komposisi paduan dan karakteristiknya stabil, tim menargetkan pembuatan prototipe seperti skerup atau pelat, serta uji lanjutan pada hewan uji sebelum menuju proses validasi klinis.
Beberapa negara seperti Jerman, Korea Selatan, dan negara Eropa lainnya diketahui telah mengembangkan implan magnesium hingga tahap komersial. Namun, paduan logam yang digunakan berbeda-beda, tergantung pada strategi negara masing-masing.
Selain berfokus pada proses pengecoran dan uji material, Lutviasari juga menjajaki kolaborasi dengan berbagai pusat riset di BRIN serta institusi luar, termasuk bidang kedokteran. Ia menyebut, riset jangka panjang ini sejalan dengan upaya membangun ekosistem riset hingga hilirisasi produk.
”Kami memang baru sampai pada tahap awal, tapi jika semua tahapan, mulai dari pengolahan, karakterisasi, uji korosi, hingga uji biologi, bisa dikuasai, peluang untuk menghasilkan implan magnesium dari Indonesia akan semakin besar,” katanya.
Riset dan inovasi mengenai pengembangan implan tulang berbasis magnesium ini turut mengantarkan Lutvia menjadi salah satu penerima Penghargaan L’Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS) Indonesia 2025. Penghargaan ini diserahkan dalam acara di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, November lalu.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie mengatakan, bukti ilmiah menunjukkan perempuan memiliki kemampuan sama dengan laki-laki dalam sains dan matematika. Namun, kesenjangan masih terjadi dalam kesempatan kerja, perbedaan gaji, dan representasi di bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM).
Oleh karena itu, upaya meningkatkan jumlah partisipasi perempuan dalam bidang sains bukan hanya masalah kesetaraan, melainkan juga persoalan ekonomi. Negara akan merugi jika tidak memanfaatkan potensi individu terbaik di bidangnya.




