JAKARTA — Pemerintah memastikan perjanjian tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat tetap berlanjut, meski sempat tersiar kabar pembatalan. Pemerintah Indonesia bahkan bersiap mengirimkan delegasi ke Amerika Serikat pada pekan depan untuk memfinalisasi dokumen hukum kerja sama perdagangan kedua negara sebelum pergantian tahun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah telah berkomunikasi langsung dengan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) terkait kelanjutan perundingan tarif antara Indonesia dan AS. Pembahasan itu dilakukan bersama Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer.
Airlangga menegaskan, perjanjian tarif resiprokal Indonesia-AS akan terus dilanjutkan sesuai dengan kesepakatan awal kedua negara. Pemerintah menargetkan seluruh hasil pembahasan tersebut dapat dituangkan ke dalam dokumen resmi sebelum akhir tahun ini.
“Harapannya sampai dengan akhir tahun ini, apa yang sudah diperjanjikan oleh kedua pemimpin, Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump, bisa dituangkan dalam draft agreement,” ujar Airlangga di Jakarta, Jumat (12/12/2025).
Menurut Airlangga, hasil diskusi terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan perkembangan yang positif. Ia menyebut Indonesia menjadi negara ketiga yang telah mencapai kesepakatan dengan kebijakan tarif Amerika Serikat.
Pada kesempatan itu, Airlangga juga membantah kabar yang menyebutkan kesepakatan tarif Indonesia-AS terancam gagal akibat pemerintah Indonesia menarik kembali sejumlah komitmen yang telah disepakati pada Juli 2025. Ia menegaskan bahwa isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan Indonesia.
“Itu perjanjian yang bukan dengan Indonesia, jadi berbeda. Itu akan kita finalkan minggu depan,” kata Airlangga tanpa memerinci lebih lanjut.
Ia menambahkan bahwa dinamika dalam pembahasan perjanjian perdagangan merupakan hal yang lazim. Airlangga mencontohkan perundingan perjanjian dagang Indonesia dengan Uni Eropa yang memakan waktu hingga satu dekade. “Dengan Amerika Serikat belum setahun,” ujarnya.
Airlangga mengatakan dirinya bersama tim delegasi Indonesia akan bertolak ke AS pada pekan depan untuk menyelesaikan proses finalisasi dokumen kerja sama tersebut. Kunjungan itu ditujukan untuk merampungkan proses legal drafting.
Airlangga menyebut proses penyusunan dokumen hukum ditargetkan selesai pada Desember 2025, sesuai dengan joint statement yang telah disepakati kedua negara pada 22 Juli 2025.
Ia menjelaskan, kesepakatan tersebut diharapkan menjadi payung hukum baru bagi hubungan dagang Indonesia dan AS ke depan. Kesepakatan di tingkat kepala negara, menurut Airlangga, telah rampung dan tidak memerlukan negosiasi ulang.
“Itu sudah menjadi bagian dari joint statement kemarin. Harapannya kita bisa menyelesaikan perundingan legal drafting-nya pada bulan Desember ini,” kata Airlangga.
Keyakinan Airlangga soal tenggat waktu perampungan perundingan muncul usai ia melakukan pertemuan virtual dengan Utusan Dagang AS, Jamieson Greer, pada Kamis (11/12/2025) malam. Pembicaraan dalam pertemuan itu membahas kelanjutan kebijakan tarif resiprokal kedua negara.
Sebelumnya, kesepakatan dagang Indonesia-AS yang diumumkan pada Juli 2025 sempat dikabarkan berisiko batal. Kabar itu mencuat setelah muncul informasi bahwa Indonesia disebut menarik kembali sejumlah komitmen yang sebelumnya telah disepakati.
Dilansir dari kanal Youtube Atlantic Council, Minggu (14/12/2025), dalam sebuah acara yang digelar Atlantic Council, Greer mengatakan pihaknya segera membahas kesepakatan perdagangan dengan Indonesia, setelah muncul pernyataan yang menyatakan kesepakatan Juli tersebut berada dalam kondisi berisiko.
Greer menolak mengungkapkan secara rinci perkembangan perundingan karena terikat perjanjian kerahasiaan. Namun, ia menegaskan minat kuat AS untuk menuntaskan kesepakatan perdagangan dengan Indonesia.
“Kami selalu siap untuk bergerak maju, dan untuk bergerak maju dengan cepat, dan saya akan melakukan percakapan dengan mitra saya di Indonesia besok pagi untuk membicarakan kemajuan,” ujarnya.
Greer menambahkan bahwa penyelesaian kesepakatan tersebut dinilai penting bagi kedua negara. “Saya ingin sekali melihat kesepakatan itu selesai dan tuntas. Saya pikir itu demi kepentingan mereka dan kita,” ujarnya.
Dalam pengumuman kesepakatan pada Juli 2025, Indonesia dan Amerika Serikat menyatakan Indonesia sepakat menghapus tarif atas lebih dari 99 persen barang asal AS serta menghilangkan berbagai hambatan non-tarif bagi perusahaan AS.
Sebagai imbalannya, AS sepakat membatalkan rencana kenaikan tarif atas produk Indonesia dan menurunkannya menjadi 19 persen dari sebelumnya 32 persen.
Dihubungi Minggu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai pemerintah perlu melakukan langkah maksimal agar risiko batalnya kesepakatan tarif resiprokal tersebut tidak menjadi kenyataan. Menurut dia, dampak ekonomi akan signifikan jika tarif ekspor Indonesia ke AS kembali ke level 32 persen.
Wijayanto mengatakan Amerika Serikat memiliki posisi strategis dalam perdagangan Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS menyumbang sekitar 10 persen dari total ekspor nasional dan hampir 50 persen dari total surplus perdagangan Indonesia.
“Selain penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, surplus tersebut juga menjadi sumber aliran devisa yang krusial. Apalagi neraca pembayaran kita memburuk dalam beberapa waktu terakhir,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika Indonesia menghadapi tarif 32 persen sementara negara pesaing seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina menikmati tarif sekitar 20 persen, risiko trade diversion dan investment diversion akan sangat besar.
“Ekonomi kita bisa sangat terpukul. Perhitungan awal saya, pertumbuhan ekonomi berpotensi tergerus 0,1 persen hingga 0,2 persen,” kata Wijayanto.
Selain pertumbuhan ekonomi, tekanan juga diperkirakan akan terjadi pada nilai tukar rupiah. “Dalam satu tahun ini rupiah sudah melemah terhadap 84,5 persen mata uang dunia,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono menilai potensi kegagalan kesepakatan sebenarnya telah terprediksi sejak awal. Menurut dia, skeptisisme muncul karena struktur proteksi perdagangan Indonesia sangat bergantung pada kebijakan non-tarif (NTM).
NTM merupakan kebijakan selain tarif bea masuk yang diterapkan pemerintah untuk mengatur, membatasi, atau mengawasi arus perdagangan internasional suatu barang dan jasa. Berbeda dengan tarif yang berupa pungutan pajak, NTM bekerja melalui aturan, standar, dan persyaratan administratif.
“Titik masalahnya ada pada negosiasi regulasi NTM, termasuk produk digital. Tarif impor Indonesia untuk produk AS sebenarnya sudah relatif rendah,” kata Riandy.
Ia menjelaskan bahwa dokumen USTR berulang kali kali menyoroti rezim non-tarif Indonesia yang dinilai terlalu menyeluruh. Hambatan tersebut mencakup mayoritas pos tarif, mulai dari perizinan impor produk pertanian, kuota impor, hingga kewajiban tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Menurut Riandy, ketergantungan Indonesia pada kebijakan non-tarif membedakannya dengan Malaysia dan Kamboja yang telah lebih dahulu mencapai kesepakatan dengan AS. Kedua negara tersebut dinilai memiliki ruang negosiasi lebih luas karena tidak terlalu mengandalkan sebagai instrumen proteksi industri.
“Kita ini negara ASEAN dengan NTM paling exhaustive. Terlalu banyak yang harus diubah jika ingin memenuhi standar Amerika Serikat,” ujarnya.
Riandy menambahkan, tuntutan penghapusan NTM memiliki konsekuensi teknis dan politis yang berat. Reformasi regulasi non-tarif sulit diterapkan hanya untuk satu mitra dagang karena umumnya berlaku universal.
“Satu kali regulasi non-tarif direformasi, itu harus berlaku untuk semua mitra dagang. Risikonya, negara lain menjadi free rider, menikmati relaksasi pasar tanpa memberi insentif tambahan kepada Indonesia,” katanya.
Kondisi tersebut membuat posisi tawar Indonesia menjadi terjepit. Manfaat yang diperoleh dari kesepakatan dengan AS dinilai belum sebanding dengan biaya reformasi kebijakan yang harus ditanggung.
Selain itu, Riandy menilai kesepakatan awal di tingkat kepala negara belum sepenuhnya memperhitungkan konsekuensi teknis tersebut. Manfaat utama dari AS sebatas penghindaran tarif tinggi, bukan penurunan tarif hingga nol persen sebagaimana dalam perjanjian perdagangan bebas yang komprehensif.
“Secara politik, reformasi NTM juga sulit karena banyak sektor domestik yang selama ini terlindungi, seperti pertanian dan otomotif,” ujar Riandy.





