Jaga Ketahanan Mental untuk Hadapi Pengaruh Negatif Medsos

kompas.id
1 hari lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS - Konsumsi gawai yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental, termasuk bagi orang dewasa. Perbandingan sosial serta paparan konten negatif yang berulang bisa mengganggu emosi, fungsi kognitif, dan produktivitas orang dewasa, terutama bila digunakan sebagai pelarian stres atau sarana mencari validasi diri.

Dokter spesialis kedokteran jiwa dari Rumah Sakit Dr Radjiman Wediodiningrat, Malang, Budi Cahyono menjelaskan, kemudahan akses gawai membuat seseorang sangat rentan mengalami banjir informasi. Beragam informasi yang beredar tidak selalu benar tetapi terus masuk ke memori dan memengaruhi cara berpikir serta perasaan penggunanya. Hal ini diperparah oleh kecenderungan membandingkan diri dengan gambaran “kesempurnaan” versi media sosial.

Pengguna disarankan untuk mengurasi konten dengan memilih akun yang bermanfaat dan tidak ragu menghapus atau memblokir akun yang memicu stres.

Untuk mengatasi hal ini diperlukan ketahanan mental yang kuat dari penggunanya. Ketahanan mental adalah kemampuan individu untuk tetap stabil, tenang, dan rasional ketika menghadapi tekanan, termasuk di media sosial.

"Pemakaian media sosial yang tidak proporsional itu bisa mengganggu emosi, fungsi kognitif, termasuk bisa berujung ketergantungan," kata Budi dalam diskusi yang digelar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Minggu (14/12/2025).

Budi juga menyoroti sistem reward pada platform digital, seperti like, view, dan gift, yang dirancang untuk menciptakan ketergantungan. Akibatnya, banyak orang dewasa merasa tidak nyaman jika jauh dari ponsel atau tidak membuka media sosial dalam waktu tertentu.

"Efek reward itu yang menyebabkan kita jadi ketergantungan. Nggak nyaman kalau nggak pegang HP, nggak nyaman kalau tidak melihat media sosial," ucapnya.

Penggunaan media sosial yang tidak proporsional dapat menimbulkan kecemasan, overthinking, perasaan tidak cukup, mudah tersinggung, hingga gangguan produktivitas kerja dan relasi sosial. Media sosial juga memperkuat kecenderungan isolasi diri karena individu merasa lebih "nyaman" di dunia digital dibandingkan dunia nyata.

Baca JugaMedia Sosial Tak Selalu Berdampak Buruk pada Kesehatan Mental

Budi menekankan, langkah awal untuk mengantisipasi risiko konsumsi berlebihan pada gawai adalah menumbuhkan kesadaran diri. Seseorang bisa mengenali tingkat ketergantungan melalui evaluasi mandiri, misalnya dengan alat skrining sederhana seperti social media disorder scale (SMD).

Metode ini dilakukan dengan menanyakan sembilan pertanyaan tertutup (ya/tidak) kepada pasien tentang perilaku obsesif, penarikan diri, konflik, dan masalah yang timbul dari penggunaan media sosial berlebihan. Jika menjawab lima pertanyaan atau lebih dengan "ya", maka kemungkinan Anda memiliki gangguan media sosial.

"Kalau sudah seperti itu, kita perlu membangun ketahanan mental supaya itu tidak sampai terjadi atau kita perbaiki," ucap Budi.

Bukan dijauhi

Meski begitu, teknologi tidak harus dijauhi sepenuhnya, melainkan menggunakan gawai secara sadar dan terkontrol. Dokter jiwa sekaligus pengurus IDI Malang, Aziza Matinu Karima menambahkan, pengendalian diri itu bisa dilakukan dengan membatasi durasi penggunaan media sosial, mengatur notifikasi, serta melakukan jeda sadar dengan berhenti sejenak untuk mengevaluasi perasaan setelah berselancar di media sosial.

Baca JugaMedia ”Mainstream” Vs Media Sosial dalam Penembakan Kirk

Aziza menegaskan pentingnya berpikir sebelum berkomentar atau membagikan konten di media sosial, menjaga privasi digital, serta tidak ikut menyebarkan konten negatif. "Pikir dulu sebelum posting atau berkomentar. Jaga privasi dan jangan ikut menyebarkan konten negatif," kata Aziza.

Selain itu, pengguna disarankan untuk mengurasi konten dengan memilih akun yang bermanfaat dan tidak ragu menghapus atau memblokir akun yang memicu stres. Menulis jurnal emosional untuk membedakan antara fakta dan perasaan juga dinilai membantu meningkatkan kesadaran diri.

Aziza pun menyoroti tekanan di dunia digital yang muncul dalam bentuk cyberbullying (perundungan siber). Fenomena ini tidak hanya dialami remaja dan anak-anak, tetapi juga orang dewasa, dengan dampak serius terhadap kesehatan mental.

Baca JugaMedia Sosial Mengambil Alih Waktu Remaja untuk Membaca, Menggambar, dan Olahraga

Cyberbullying sangat berefek dengan gangguan mental. Bisa menimbulkan stres, depresi, gangguan kecemasan, gangguan tidur, bahkan muncul ide bunuh diri. Jika sudah dalam kondisi tak mampu mengendalikan diri, konsultasi dengan psikolog atau psikiater adalah langkah yang tepat dan tidak perlu di-stigmatisasi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Korlantas Gandeng Ojol Jadi Duta Keselamatan Lalu Lintas
• 10 jam lalujpnn.com
thumb
Tampil Solid, Jay Idzes Turunkan Paksa AC Milan dari Puncak Klasemen
• 16 jam lalufajar.co.id
thumb
BMKG: Gelombang 2,5 Meter Berpotensi Terjadi di Perairan Nias
• 17 jam lalutvonenews.com
thumb
Tanggal 15 Desember Diperingati sebagai Hari Apa? Berikut Sederet Peringatannya!
• 17 jam laluliputan6.com
thumb
Curhat Pemain Timnas kepada STY: Kami Mungkin Lolos ke Piala Dunia 2026 Andai Pelatih Tak Diganti
• 10 jam laluharianfajar
Berhasil disimpan.